Tetapi sebenarnyalah, bahwa Sri Aji yang merasa bahwa lawannya benar-benar akan membunuhnya itu telah kehilangan kesabaran. Sehingga dengan demikian, nampaklah warna hatinya yang sebenarnya. Seperti seekor harimau yang lapar, maka ia pun kemudian menjadi liar dan buas.
Demikian si raksasa itu mencoba untuk tegak berdiri, maka tiba-tiba sebuah hantaman yang keras telah mengenai tengkuknya. Sri Aji tidak saja memukul lawannya dengan tangannya, tetapi sebuah loncatan mendatar, dengan kaki terjulur lurus telah mengenai tengkuk lawannya itu, sehingga sekali lagi ia terhuyung-huyung dan kehilangan keseimbangan.Â
Betapa pun kuatnya ketahanan tubuhnya, namun ia pun terjatuh pula menelungkup.Tetapi orang bertubuh besar itu segera berhasil menyadari keadaan dirinya. Karena itu, dengan serta-merta ia pun berusaha untuk tegak berdiri. Dengan didorong oleh kekuatan kedua tangannya, maka ia pun segera bangkit.
Namun ternyata bahwa Sri Aji yang marah itu, bagaikan telah menjadi gila. Ia pun segera meloncat mendekat. Dengan kemarahan yang memuncak ia langsung menggenggam rambut yang tinggal beberapa helai di kepala orang bertubuh raksasa yang botak itu. Ketika kepalanya dihentakkan oleh tarikan pada rambut yang tersisa itu, sebuah pukulan yang keras menghantam bagian belakang kepalanya.
Yang terdengar adalah sebuah keluhan tertahan. Tetapi kemudian keluhan itu terputus karena lutut Sri Aji menghantam wajahnya. Beberapa orang yang menyaksikan perkelahian itu bagaikan menjadi beku.Â
Mereka melihat bagaimana Sri Aji membenturkan kepala lawannya pada lututnya yang diangkat ke depan. Beberapa kali, sehingga lututnya menjadi merah oleh darah yang mengalir dari mulut lawannya yang bertubuh besar itu.
Namun agaknya Sri Aji masih belum puas. Ia ingin menunjukkan bahwa ia pun dapat berbuat sebuas para penjahat itu.
Tetapi pemuda raksasa itu tidak menyerah. Ia memang mempunyai ketahanan tubuh yang tidak terduga-duga. Meskipun wajahnya telah merah oleh darah.Â
Namun tiba-tiba ia masih mengerahkan sisa kekuatannya. Dengan serta-merta ia merenggut kepalanya meskipun lembaran-lembaran rambutnya seolah-olah telah tercabut dari kepalanya yang sedang berbenturan berkali-kali dengan lutut lawannya itu.
Dengan serta-merta ia pun kemudian, mendekap lambung Sri Aji sedemikian kuatnya sehingga keduanya terdorong beberapa langkah dan jatuh di atas pasir.
Sejenak mereka berguling-guling sekali lagi. Kemarahan Sri Aji benar-benar tidak terkekang. Dengan garangnya ia berusaha untuk memukuli lawannya yang mendekapnya erat-erat. Semakin lama semakin erat, sehingga seakan-akan Sri Aji tidak dapat bernafas lagi.
Beberapa saat Sri Aji tertegun, bagaimana mengatasi lawannya yang bagaikan melekat pada tubuhnya yang berguling-guling di pasir tepian itu, bahkan telah menyesakkan nafasnya.
Namun kemudian dengan kekuatan yang ada padanya, ia mendorong mata sipit yang melekat di tubuhnya itu.Â
Bersambung