Jadi menurutku andai suatu saat nanti terjadi lagi di luar sepengetahuanmu, hal itu di luar tanggung jawabmu, ngger. Dengan begitu kita tidak membuat permusuhan dengan mereka yang datang karena undangan kita."
"Ah," Kartamarmo berdesah. Nampaknya dia sangat kesal.
Namun sebelum ia berkata pamannya mendahului lagi, "Adalah kebetulan saja bahwa yang menjadi korban saat ini adalah emban istana. Yah, apa boleh buat, perjuangan yang besar memang tak bisa lepas dari pengorbanan."
"Ma'af gusti patih," emban itu tiba-tiba menyahut, "gusti dapat berkata begitu karena gusti tidak bersangkutan dengan aku. Tapi bagaimana mungkin gusti dapat membiarkan hal itu terjadi, andai hal itu menimpa keluarga gusti sendiri?"
Patih Sengmuni tersenyum. "Kau memang aneh, kau sudah berani mengantar makan dan masuk ke asrama para pria. Kalau kau masih terkaget-kaget dengan resikonya, maka kau harus menolak tugas semacam itu. Mengapa kau sekarang masih juga bertanya tentang seandainya-seandainya?"
Terasa goresan tajam di jantung wanita itu. Kata-kata pembesar negeri Astina itu tepat mengenai sasarannya. Sekilas dipandanginya wajah Raden Kartamarmo, sementara dia sendiri terbungkam. Perempuan yang sudah mengabdi puluhan tahun di keraton para Kurawa ini masih belum dapat menemukan jawaban yang tepat atas ocehan Ki patih tua itu.
Sekarang suasana hening mencengkam setiap hati orang yang ada di tempat itu. Hanya pandangan mata mereka sajalah yang saling bergerak hinggap dari satu orang ke orang lainnya. Dalam keadaan diam itulah orang-orang mendengar suara Ki patih lagi.
"Baiklah, mulai sekarang kita mesti saling berusaha memelihara hubungan yang sudah baik ini. Kalian kini sudah tahu bahwa emban di sini bukanlah wanita yang mudah digoda, sehingga kalian tidak boleh berbuat terhadapnya di hadapan keponakanku Kartamarmo."
Urat nadi Kartamarmo dan si emban itu serasa akan pecah, namun mereka hanya dapat diam.***