"Lalu apa yang harus aku lakukan paman?" bertanya Kartamarmo menegaskan.
Tapi Patih Astina itu tidak segera menyahut. Di pandanginya wajah-wajah para pemuda yang beberapa hari lalu memang ia yang mengundangnya itu.
"Begini, janganlah terjadi permusuhan di antara kalian, "berkata orang tua itu kemudian, "Aku mengharap pada kalian yang kami undang bisa menempatkan diri sebagai tamu terhormat."
"Meskipun demikian aku berharap juga bahwa Kartamarmo dapat menjadi tuan rumah yang baik pula. Dengan begitu kalian semua tidak terlibat dalam persoalan yang menurutku tidak perlu."
"Tetapi semua ini telah terjadi," potong pemuda itu. "Kami merasa mendapat hinaan pada diri kami. Baik dari perempuan yang ternyata hanya seorang emban itu maupun dari keponakanmu Kartamarmo."
"Justru itulah yang ingin aku atasi sekarang," berkata Sengkuni lagi "Permusuhan kalian dengan Kartamarmo harus dianggap tidak pernah ada. Begitu pula Kartamarmo harus beranggapan yang sama pula,"
"Tetapi pemuda-pemuda yang tak tahu diri ini telah menghina seorang wanita di keraton sini," Kartamarmo yang kemudian memotong kata-kata pamannya.
"Persoalan mereka dengan emban itu bukanlah urusan kita, Kartamarmo."
"He!?" Kartamarmo terperangah, "kenapa? Kenapa bukan urusan kita paman?"
Sekali lagi orang tua yang licik itu menarik nafas dalam-dalam walau tidak segera mengucapkan kata-kata pula.Â
Tetapi adik Duryudana itu justru yang menjadi kian tegang. Rasanya dia ingin mendengar lagi kata-kata pamannya baru saja diucapkan tadi.