Mohon tunggu...
Rusman
Rusman Mohon Tunggu... Guru - Libang Pepadi Kab. Tuban - Pemerhati budaya - Praktisi SambangPramitra
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

"Hidupmu terasa LEBIH INDAH jika kau hiasi dengan BUAH KARYA untuk sesama". Penulis juga aktif sebagai litbang Pepadi Kab. Tuban dan aktivis SambangPramitra.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rusman: Wayang, Kemelut di Keraton Astina (3)

18 Februari 2019   22:28 Diperbarui: 1 Maret 2019   21:40 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

"Lalu apa yang harus aku lakukan paman?" bertanya Kartamarmo menegaskan.

Tapi Patih Astina itu tidak segera menyahut. Di pandanginya wajah-wajah para pemuda yang beberapa hari lalu memang ia yang mengundangnya itu.

"Begini, janganlah terjadi permusuhan di antara kalian, "berkata orang tua itu kemudian, "Aku mengharap pada kalian yang kami undang bisa menempatkan diri sebagai tamu terhormat."

"Meskipun demikian aku berharap juga bahwa Kartamarmo dapat menjadi tuan rumah yang baik pula. Dengan begitu kalian semua tidak terlibat dalam persoalan yang menurutku tidak perlu."

"Tetapi semua ini telah terjadi," potong pemuda itu. "Kami merasa mendapat hinaan pada diri kami. Baik dari perempuan yang ternyata hanya seorang emban itu maupun dari keponakanmu Kartamarmo."

"Justru itulah yang ingin aku atasi sekarang," berkata Sengkuni lagi "Permusuhan kalian dengan Kartamarmo harus dianggap tidak pernah ada. Begitu pula Kartamarmo harus beranggapan yang sama pula,"

"Tetapi pemuda-pemuda yang tak tahu diri ini telah menghina seorang wanita di keraton sini," Kartamarmo yang kemudian memotong kata-kata pamannya.

"Persoalan mereka dengan emban itu bukanlah urusan kita, Kartamarmo."

"He!?" Kartamarmo terperangah, "kenapa? Kenapa bukan urusan kita paman?"

Sekali lagi orang tua yang licik itu menarik nafas dalam-dalam walau tidak segera mengucapkan kata-kata pula. 

Tetapi adik Duryudana itu justru yang menjadi kian tegang. Rasanya dia ingin mendengar lagi kata-kata pamannya baru saja diucapkan tadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun