Semua orang yang ada di situ terkejut mendengar ancaman Kartamarmo.
"He?" pemuda pengganggu itu membelalakkan matanya. "Jadi benarkah kau menghendaki pertengkaran ini? Ayo, kami semua tentu tidak akan keberatan."
Hampir saja Kartamarmo berteriak menjawab tantangan itu, tetapi paman Sengkuni mendahuluinya, "Cukup aku katakan, cukuup ! Â Jangan lagi bermain-main dengan kesalahpahaman."Â
"Cepat sarungkan senjata kalian. Yang terluka segeralah diobati. Setiap saat kalian tentu akan diterkam oleh bahaya. Apalagi Baratayuda ini akan dimulai tak lama lagi."
"He kau Patih Sengkuni, ingat bukankah kau sendiri bersama Dursasana yang datang pada kami. Jadi di sini kami adalah tamu yang harus dihormati," berkata pemuda liar itu "Jadi kalau terjadi benturan antara Kurawa dengan Pandawa, kalian ingin menyalahkan kami karena kami menggoda emban cantik itu?"
"Bukan itu soalnya. Maksudku peristiwa ini dapat menjadi penyebab, meledaknya kemelut antara kita sendiri."
"Lalu bagaimana maksudmu? Apakah kami harus menunda perhitunganku dengan keponakanmu si Kartamarmo yang yang sombong itu?"
"Tidak. Aku tidak menghendaki persoalan ini berlarut-larut. Seharusnya Kartamarmo menyadari kedudukannya, dan tidak membuat persoalan-persoalan baru dengan pihak lain."
Raden Kartamarmo terkejut mendengar kata-kata pamannya, sehingga dengan serta-merta ia berpaling.
"Apakah maksud paman?"
Sengkuni menarik nafas dalam-dalam. Terasa mulutnya terlampau berat untuk mengucapkannya. Bahkan perasaannya pun seolah-olah ikut mengekangnya.Â
Tetapi ia mencoba mempergunakan pikirannya. Ia harus memperhitungkan semua keadaan dengan nalar, dan tidak dengan perasaan.