Mohon tunggu...
Rusman
Rusman Mohon Tunggu... Guru - Libang Pepadi Kab. Tuban - Pemerhati budaya - Praktisi SambangPramitra
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

"Hidupmu terasa LEBIH INDAH jika kau hiasi dengan BUAH KARYA untuk sesama". Penulis juga aktif sebagai litbang Pepadi Kab. Tuban dan aktivis SambangPramitra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rusman: Wayang, Kemelut di Keraton Astina (2)

18 Februari 2019   14:46 Diperbarui: 1 Maret 2019   21:40 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Semua orang yang ada di situ terkejut mendengar ancaman Kartamarmo.

"He?" pemuda pengganggu itu membelalakkan matanya. "Jadi benarkah kau menghendaki pertengkaran ini? Ayo, kami semua tentu tidak akan keberatan."

Hampir saja Kartamarmo berteriak menjawab tantangan itu, tetapi paman Sengkuni mendahuluinya, "Cukup aku katakan, cukuup !  Jangan lagi bermain-main dengan kesalahpahaman." 

"Cepat sarungkan senjata kalian. Yang terluka segeralah diobati. Setiap saat kalian tentu akan diterkam oleh bahaya. Apalagi Baratayuda ini akan dimulai tak lama lagi."

"He kau Patih Sengkuni, ingat bukankah kau sendiri bersama Dursasana yang datang pada kami. Jadi di sini kami adalah tamu yang harus dihormati," berkata pemuda liar itu "Jadi kalau terjadi benturan antara Kurawa dengan Pandawa, kalian ingin menyalahkan kami karena kami menggoda emban cantik itu?"

"Bukan itu soalnya. Maksudku peristiwa ini dapat menjadi penyebab, meledaknya kemelut antara kita sendiri."

"Lalu bagaimana maksudmu? Apakah kami harus menunda perhitunganku dengan keponakanmu si Kartamarmo yang yang sombong itu?"

"Tidak. Aku tidak menghendaki persoalan ini berlarut-larut. Seharusnya Kartamarmo menyadari kedudukannya, dan tidak membuat persoalan-persoalan baru dengan pihak lain."

Raden Kartamarmo terkejut mendengar kata-kata pamannya, sehingga dengan serta-merta ia berpaling.

"Apakah maksud paman?"

Sengkuni menarik nafas dalam-dalam. Terasa mulutnya terlampau berat untuk mengucapkannya. Bahkan perasaannya pun seolah-olah ikut mengekangnya. 

Tetapi ia mencoba mempergunakan pikirannya. Ia harus memperhitungkan semua keadaan dengan nalar, dan tidak dengan perasaan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun