Di samping karena pola kehidupan sosial yang terwarisi dari para leluhur masih sangat kuat juga karena mereka memiliki waktu yang sangat longgar.
Jalinan kehidupan sosial yang erat itu bisa pula disebabkan oleh mainset atau pola pikir mereka yang sederhana.
Hidup "salumrahe" tidak perlu "neka-neka", yang penting cukup papan-pangan-sandhang (rumah-pakaian-makan), maka hidup ini rasanya sudah lengkap.
Seiring dengan perkembangan zaman, maka dinding kehidupan sosial seperti itu nampaknya semakin terkikis oleh pola kehidupan yang baru.Â
Pola pikir yang individualistis dan pragmatis semakin nampak jelas teraktualisasikan dalam kehidupan bermasyarakat.Â
Baca juga : Jenang Asli Buatan Orang Jawa
Lahirlah kemudian gaya hidup yang konsumtif dan hedonistis ialah hidup yang lebih banyak mengandalkan uang, harta dan kesenangan.
Di tengah gelombang model kehidupan yang seperti itulah, maka tiba-tiba saja konsep dan penerapan "sedulur sinorowedi" itu bagaikan hilang dari tata pergaulan masyarakat kita.
Mengapa bisa begitu? Tidak lain karena konsep sinorowedi yang penulis gambarkan di atas masih tergantung sekali pada wujud fisik manusia.
Masih didasari oleh sikap dan pandangan orang lain di mana sikap orang lain itu mudah sekali terhempas oleh perkembangan situasi dan kondisi lingkungannya.
Di bawah ini ada lagi satu konsep sedulur sinorowedi yang lebih didasarkan pada pandangan spiritualisme, ialah apa yang orang tempoe doeloe sering menyebutnya sebagai "kakang kawah, adhi ari-ari."