Langit di ufuk timur kian memerah dan suasana di Padang Kuruksetra masih sepi. Namun tidak menunggu lama tempat itu pasti akan kembali menjadi ramai, akan hiruk pikuk oleh teriakkan para prajurit. Ada suara sangkakala perang saudara antara Kurawa dan Pandhawa. Serta akan riuh dengan suara sesumbar, denting pedang dan bahkan rintihan serta tangisan.Â
Sementara itu di Keraton Astina, Prabu Duryudana nampak sedang menyendiri. Kemudian seperti orang terbangun dari rasa gelisahnya, ia melihat adiknya Si Dursasana yang tinggi besar itu melangkah geloyoran sambil memegang kendhi berisi toak yang telah ia gunakan berpesta pora semalam.Â
"Pergilah!" tiba-tiba Duryudono menggeram. "Sebentar lagi fajar akan menyingsing. Kau harus segera bersiap menghadapi tugasmu. Katakan kepada musuh-musuhmu, bahwa kau adalah adik seorang raja besar yang kini menguasai Astina."
"Baiklah, Kakanda."
"Ingat, jangan membunuh diri dengan kebodohan dan kesalahan yang tidak perlu."
Dursasana menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia pun kemudian sadar, bahwa ia sudah berada di dalam lingkungan yang amat keras. Saumpama orang yang menyeberangi sungai, ia sudah terlanjur basah. Karena itu, ia tidak akan dapat ingkar lagi.
Adik Duryudana itu menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba ia berkata kepada diri sendiri, "Aku adalah seorang prajurit. Sejak aku memasuki lingkungan ini, aku sudah mengerti, bahwa aku akan bermain-main dengan nyawaku. Jika permainanku kali ini dapat mendatangkan kesenangan, kenapa aku harus menepi dan bahkan lari?"
Dengan demikian, ksatriya Kurawa yang masih merasakan pening itu tidak lagi menjadi gelisah. Ia sudah berdiri ditempatnya dengan tenang, bahkan kemudian dengan sepenuh hati.
Sejenak kemudian ia sudah meninggalkan Keraton Astina. Ia tidak menampakkan dirinya lagi di antara adik-adiknya yang masih bersuka ria itu.
Karena itu, ia dengan diam-diam berhasil meninggalkan halaman kedaton untuk nanti pada saatnya ia harus tampil di alun-alun dengan pakaian kebesarannya.
Namun, ksatria Kurawa ini sungguh tidak tahu kalau di seberang sana nasib tragis sedang menantinya. Betapa malangnya ia nanti saat di Padang Kuruksetra, sebab Kuku Pancanaka sang Panengah Pandhawa telah siap menunggunya. Bima sang Panengah Pandhawa yang luar biasa tu Nampak sedang mengasah kukunya.
Kini dengan raut muka yang mengerikan, laki-laki itu siap membalaskan dendam Kakak Iparnya, yaitu Dewi Drupadi. Konon wanita istri Puntadewa ini pernah menerima perlakukan memalukan dari si laknat Dursasana, saat keasyikan mereka bermain dadu.Â
Dan ternyata benar, hari itu adalah saat-saat terakhir Dursasana memandangi wajah dunia, karena di sore harinya Bima berhasil membenamkan kuku Pancanaka ke lambung Dursasana. Bahkan meminum darahnya, menyisakan sebagian guna keramas Kakak Iparnya, serta menyayat kulitnya pula untuk selempang tubuh Dewi Drupadi.***
Tasikmadu, 01102018