Mohon tunggu...
Rusmie Hamdanie
Rusmie Hamdanie Mohon Tunggu... -

Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Malang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kondisi Psikologis Korban Pasca Mengalami Tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga

10 Maret 2014   08:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:06 1113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Latar Belakang

Tindak kekerasan dalam masyarakat sebenarnya bukan satu hal yang baru. Tindak kekerasan dapat menimpa siapa saja, baik laki- laki maupun perempuan, dari anak– anak sampai dewasa. Namun, yang menarik perhatian publik adalah kekerasan yang menimpa kaum perempuan (istri). Apalagi kalau kekerasan tersebut terjadi dalam ruang lingkup rumah tangga. Seringkali tindak kekerasan ini disebut hidden crime (kejahatan yang tersembunyi). Disebut demikian, karena pelaku maupun korban berusaha untuk merahasiakan perbuatan tersebut dari pandangan publik. Dalam istilah lain juga disebut domestic violence (kekerasan domestik), karena terjadinya kekerasan di ranah domestik. (Moerti, 2010 : 1)

Rumah tangga seharusnya adalah tempat berlindung bagi seluruh anggota keluarga. Akan tetapi, pada kenyataannya justru banyak rumah tangga menjadi tempat penderitaan dan penyiksaan karena terjadi tindakan kekerasan.

Kekerasan dalam rumah tangga, menurut pasal 1 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan pada seseorang, terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan / atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. (Undang- Undang RI No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga : 2)

Di Indonesia khusunya Kota Malang, telah banyak terjadi tindak kekerasan dalam rumah tangga, menurut data Unit PPA (Pelayanan Perempuan dan Anak) di POLRES Malang Kota, pada Juni 2010 sampai Juli 2013 telah terjadi 193 kasus tindak kekerasan dalam rumah tangga (Data PPA POLRES Malang Kota). Hal ini sangat memprihatinkan, terutama di pihak korban.

Tidak dapat dipungkiri dalam setiap tindak pidana korban mengalami kerugian berupa kerugian materiil dan immaterial. Kerugian materiil berupa kehilangan barang- barang yang menjadi milik korban. Kerugian ini lebih bersifat ekonomis/ mempunyai nilai ekonomis, sedangkan kerugian immaterial bersifat psikis atau mental. Hal ini berkaitan dengan kondisi kejiwaan korban. jika korban tidak dapat segera melupakan perbuatan pidana yang menimpanya, akan menyebabkan tekanan psikis, dimana untuk menyembuhkannya membutuhkan waktu yang cukup lama.

Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti ingin meneliti tentang bagaimana kebermaknaan hidup korban tindak kekerasan dalam rumah tangga.

Kajian Teori

Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga

Pengertian kekerasan dalam rumah tangga menurut Pasal 1 Undang- Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga sebenarnya adalah :

Setiap perbuatan pada seseorang, terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan / atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. (Undang- Undang RI No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga : 2)

Teori Lingkaran Kekerasan dalam Rumah Tangga

Terdapat teori lingkaran kekerasan untuk memahami mengapa korban kekerasan dalam rumah tangga tetap bertahan atau berupaya mempertahankan perkawinannya. Teori lingkaran kekerasan terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap munculnya ketegangan, tahap pemukulan akut, dan tahap bulan madu.

Pada tahap munculnya ketegangan yang mungkin disebabkan percekcokan terus- menerus atau tidak saling memperhatikan atau kombinasi keduanya dan kadang- kadang disertai dengan kekerasan kecil. Namun, semua ini biasanya dianggap sebagai “bumbu” perkawinan. Kemudian pada tahap kedua, kekerasan mulai muncul berupa meninju, menendang, menampar, mendorong, mencekiki, atau bahkan menyerang dengan senjata. Kekerasaan ini dapat berhenti kalau si perempuan pergi dari rumah atau si laki- laki sadar apa yang dia lakukan, atau salah seorang perlu dibawa ke rumah sakit.

Pada tahap bulan madu, laki- laki sering menyesali tindakannya. Penyesalannya biasanya berupa rayuan dan berjanji tidak akan meakukannya lagi. Bahkan tidak jarang laki- laki sepenuhnya menunjukkan sikap mesra dan menghadiahkan sesuatu. Kalau sudah begitu, biasanya perempuan menjadi luluh dan memaafkannya karena ia masih berharap hal tersebut tidak akan terjadi lagi. Itulah sebabnya mengapa perempuan tetap memilih bertahan meski menjadi korban kekerasan karena pada tahap bulan madu ini perempuan merasakan cinta yang paling penuh. Namun, kemudian tahap ini pudar dan ketegangan muncul lagi, terjadi tahap kedua munculnya ketegangan dan kekerasan, selanjutnya terjadi bulan madu kembali. Demikian seterusnya lingkatran kekerasan ini berputar jalin- menjalin sepanjang waktu. (Rika, 2006 : 32)

Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga

Dari berbagai kasus yang terjadi di Indonesia, bentuk-bentuk KDRT dapat dikelompokkan menjadi berikut ini :

a.Kekerasan Fisik

1.Pembunuhan

2.Penganiayaan

3.Perkosaan

b.Kekerasan Nonfisik/Psikis/Emosional, seperti :

1.Kekerasan Seksual

2.Kekerasan Ekonomi

Selanjutnya kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan sebab terjadinya dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu sebagai berikut.

a.Kekerasan dalam rumah tangga sebagai perwujudan ekspresi ledakan emosional bertahap. Kekerasan jenis ini pertama berawal dari kekerasan nonfisik, mulai dari sikap dan perilaku yang tidak dikehendaki, maupun lontaran-lontaran ucapan yang menyakitkan dan ditujukan pada anggota keluarga terhadap anggota keluarga yang lain. Proses yang terjadi berlanjut dari waktu ke waktu, sehingga terjadi penimbunan kekecewaan, kekesalan, dan kemarahan yang pada akhirnya menjurus pada kekerasan fisik. Hal ini dapat terjadi sebagai akibat ledakan timbunan emosional yang sudah tidak dapat dikendalikan lagi. Perwujudan tindakan kekerasan tersebut bisa berupa penganiayaan ringan, penganiayaan berat, dan pembunuhan. Tindakan lain yang mengiringi terkadang terjadi pengrusakan bahkan bunuh diri. Puncak perbuatan tersebut dilakukan sebagai jalan pintas untuk mengatasi persoalannya, karena cara lain dianggap tidak mampu menyelesaikannya. Perbuatan bunuh diri dapat dikategorikan tindakan kekerasan terhadap diri sendiri, karena dirinya tidak mampu untuk mengatasi persoalannya.

b.Kekerasan dalam rumah tangga sebagai perwujudan ekspresi ledakan emosional spontan adalah bentuk kekerasan yang dilakukan tanpa ada perencanaan terlebih dahulu, terjadi secara seketika (spontan) tanpa didukung oleh latar belakang peristiwa yang lengkap. Namun fakta di depan mata dirasa menyinggung harga diri dan martabat si pelaku, berupa suatu situasi yang tidak diinginkan oleh pelaku. Ledakan emosi yang timbul begitu cepat, sehingga kekuatan akal pikiran untuk mengendalikan diri dikalahkan oleh nafsu/emosi yang memuncak. Kemudian yang bersangkutan memberikan reaksi keras dengan melakukan perbuatan dalam bentuk tindak pidana lain berupa penganiayaan atau pembunuhan terhadap anggota lainnya.

Dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa tindak kekerasan psikis merupakan awal dari terjadinya kekerasan fisik karena dalam kenyataannya dapat terjadi kekerasan psikis dan fisik, terjadi bersama-sama. (Moerti, 2010 : 80)

Faktor-faktor Pendorong Adanya Kekerasan dalam Rumah Tangga

Menurut LKBHUWK, sebuah lembaga bantuan hukum untuk perempuan dan keluarga, penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga dapat digolongkan menjadi 2 (dua) faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal menyangkut kepribadian dari pelaku kekerasan yang menyebabkan ia mudah sekali melakukan tindak kekerasan bila menghadapi situasi yang menimbulkan kemarahan atau frustasi. Kepribadian yang agresif biasanya dibentuk melalui interaksi dalam keluarga atau lingkungan sosial di masa kanak- kanak. Tidaklah mengherankan bila kekerasan biasanya bersifat turun- temurun, sebab anak- anak akan belajar tentang bagaimana akan berhadapan dengan lingkungan dari orang tuanya. Apabila tindak kekerasan mewarnai kehidupan sebuah keluarga, kemungkinan besr anak- anak mereka akan mengalami hal yang sama setelah mereka menikah nanti. Hal ini disebabkan mereka menganggap bahwa kekerasan merupakan hal yang wajar atau mereka dianggap gagal kalau tidak mengulang pola kekerasan tersebut. Perasaaan kesal dan marah terhadap orang tua yang selama ini berusaha ditahan, akhirnya akan muncul menjadi tindak kekerasan terhadap istri, suami atau anak- anak.

Faktor eksternal adalah faktor- faktor diluar diri si pelaku kekerasan. Mereka yang tidak tergolong memilikitingkah laku agresif dapat melakukan tindak kekerasan bila berhadapan dengan situasi yang menimbulkan frustasi misalnya kesulitan ekonomi yang berkepanjangan, penyelewengan suami atau istri, keterlibatan anak dalam kenakalan remaja atau penyalahgunaan obat terlarang dan sebagainya. Faktor lingkungan lain seperti stereotipe bahwa laki- laki adalah tokoh yang dominan, tegar dan agresif. Adapun perempuan harus bertindak pasif, lemah lembut dan mengalah. Hal ini menyebabkan banyaknya kasus tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami. Kebanyakan istri berusaha menyembunyikan masalah kekerasan dalam keluarganya karena merasa malu pada lingkungan sosial dan tidak ingin dianggap gagal dalam berumah tangga.

Adanya perubahan pada tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan yang dimiliki oleh perempuan, khususiunya di kota- kota besar juga menambah beban kaum laki- laki.Kini banyak perempuan yang bekerja diluar rumah dan memiliki penghasolan sendiri yang baik. Tidak jarang penghasilan mereka lebih besar daripada penghasilan suami. Padahal secara normatif, laki- laki adalah kepala keluarga yang seharusnya memberi nafkah kepada keluarga dan memiliki hak yang lebih daripada istri. Keadaan ini menimbulkan perasaan “tersaingi” dan tertekan pada kaum laki- laki yang dapat menimbulkan munculnya tindak kekerasan dalam rumah tangga. (Moerti, 2010 : 76)

Metode

Study kasus

Metode study kasus adalah sebuah metode penelitian yang secara khusus menyelidiki fenomena kontemporer yang terdapat dalam konteks kehidupa nyata yang dilaksanakan ketika batasan-batasan antara fenomena dan konteksnya dengan jelas, dengan menggunakan sumber data.

Metode interview (wawancara)

Metode wawancara pada penelitian ini yaitu dengan menggunakan metode wawancara tidak terstruktur atau bebas (Non structure interview), yaitu wawancara bebas dengan arah pembicaraan tergantung peneliti, tidak terbimbing kesuatu pokok tema.

Data wawancara dituangkan dalam bentuk transkrip, yang kemudian dideskripsikan secara jelas sebagai bagian dari hasil penelitian. Wawancara ini bertujuan untuk mengungkap hal-hal seperti latar belakang keluarga, sosial, dan pandangan hidup .

Subyek

Dalam penelitian ini, subyek yang digunakan adalah subyek tunggal. Subyek adalah korban kasus kekerasan dalam rumah tangga yang pernah melapor ke PPA POLRES Malang Kota.

Hasil

Dari hasil wawancara yang telah dilakukan kepada subyek, dapat diketahui bahwa subyek cenderung menekan perasaannya dalam menghadapi kekerasan yang dilakukan oleh suami subyek kepadanya. Subyek membutuhkan tempat berbagi untuk meringankan masalahnya. Hal ini terihat dari kenyamanan subyek bercerita kapada interviewer, ia banyak bercerita dan seakan tidak mau memutuskan ceritanya. Kemungkinan subyek selama ini terlalu menutupi dirinya untuk menceritakan hal- hal tentang dirinya.

Subyek memiliki permasalahan dengankeluarganya, ia kurang dekat dengan keluarga, namun subyek berusaha berhubungan baik dengan orang lain. Subyek mengalami hambatan kontak dengan lingkungan sosial, selain dikarenakan oleh subyek sendiri yang cenderung introvert, juga karena kehidupan subyek yang hanya berkisar di area tempat tinggalnya saja. Hal ini terlihat dari sekolah subyek yang hanya berkisar daerah yang tidak jauh. Subyek asli dari daerah tersebut, setelah menikah juga tetap berdomisili di tempat tinggalnya tersebut. Sehingga subyek kurang mengenal lingkungan diluar area tempat tinggalnya.

Dari hasil interpretasi tes Grafis, dapat diketahui bahwa subyek merupakan seorang yang cenderung introvert, dan hidupnya banyak dipengaruhi masa lau. Subyek cenderung ragu- ragu dalam melakukan sesautu hal ini terlihat dari lamanya ia menggorres garis dalam gambarnya seperti penuh pertimbangan. Subyek cenderung cemas dalam melakukan sesuatu dan tidak tenang bila pekerjaannya tidak terselesaikan.

Dalam keluarga, subyek cenderung tertutup dan kurang berperan. Subyek cenderung dekat dengan ayah yang dipandang sebagai sosok yang dominan dan kedudukannya tertinggi dalam keluarga. Namun, subyek menggambar pohon tidak lengkap, hal ini mengindikasikan bahwa peran ayah kabur.

Dalam hubungan sosial, subyek mengalami hambatan kontak sosial, dikarenakan subyek yang memiiki kecenderungan introvert dan suka memendam perasaan. Subyek sebenarnya dalam keadaan tertekan, namun ia berfantasi agar nampak kuat.

Kesimpulan

Dari hasil wawancara dan interpretasi tes, dapat disimpulkan bahwa subyek adalah orang yang cenderung tertutup. Subyek memilih untuk memendam masalahnya, dan bersikap seolah tidak terjadi apa- apa. Semenjak ia mengalami kekerasan dalam rumah tangga, ia menjadi cenderung cemas terutama untuk keamanan anaknya.

Subyek memilih mencabut kembali perkara kekerasan suaminya yang ia adukan ke Kepolisian karena ia merasa lebih baik mempertahankan hubungannya. Subyek masih berharap suaminya dapat berubah.

DAFTAR PUSTAKA

Hadiati Soeroso, Moerti. 2010. Kekerasan dalam Rumah Tangga Dalam PerspektifYuridis- Viktimologis. Jakarta : Sinar Grafika

Saraswati, Rika. 2006.Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Bandung : PT Citra Aditya Bakti

Undang - Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tamgga. Jakarta: Sinar Grafika

Prayudi, Guse. 2008. Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga. Yogyakarta : Merkid Press

Arief Mansur, Dikdik & Gultom Elisatris. 2007. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun