Tiga tahun lamanya aku menaruh rasa,
tanpa janji, tanpa kepastian.
Di ruangan itu-ruangan yang menjadi saksi paling jujur dari rasa yang tak pernah sampai padamu.
Aku ada... tapi tak pernah benar-benar terlihat.
Dan entah bagaimana, aku tetap bertahan di balik ketidakpastian.
Meski cinta ini tak berbalas, bayangan indah tentangmu membuatku terus hidup.
Tiga tahun lebih aku menyimpan semuanya sendirian,
Tiga tahun lebih aku berdamai dengan harapan yang ku gantung tinggi di langit imajinasi.
Tiga tahun lebih aku menahan diri agar tak runtuh,
setiap kali kamu berjalan melewati ku... tanpa suara, seolah aku tak pernah ada.
Namun hari ini, aku memilih untuk berhenti.
Bukan karena aku lelah mencintaimu,
tapi karena aku akhirnya mengerti---
bahwa mencintai tak selalu berarti memiliki.
Cinta bukan tentang menggenggam seseorang yang tak ingin digenggam.
Terkadang, cinta menjadi luka bukan karena orang yang kita cinta menyakiti,
melainkan karena kita sendiri yang memeliharanya terlalu lama,
dengan harapan yang perlahan membusuk oleh waktu.
Wahai Tuhan...
Maafkan diriku yang dulu terlalu takut kehilangan,
hingga tak pernah berani membiarkannya bahagia dalam cerita orang lain.
Dan kini, aku membiarkan semuanya pergi,
meski namanya tetap hidup di dalamku.
Bukan lagi sebagai cinta,
melainkan sebagai luka yang pernah kupeluk dengan penuh kasih.
Sebagai kenangan dari seseorang yang pernah kucintai dengan seluruh jiwaku,
meski tak pernah bisa ku genggam dalam kenyataan.
Biarlah ruangan itu menjadi saksi terakhir---
ruangan di mana pertama kali aku jatuh cinta dan diam-diam menunggunya.
Dan di tempat yang sama... aku belajar melepaskan, dengan tenang.
Karena kini aku tahu,
tidak semua cinta harus dimiliki.
Beberapa hanya perlu dirasakan,
kemudian ditinggalkan... dengan hormat.
Wahai engkau yang pernah aku kagumi...