Mohon tunggu...
Fajrin Al Khomsa
Fajrin Al Khomsa Mohon Tunggu... -

Seorang Indonesia yang menolak dijajah dalam bentuk apapun

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Uang Para Caleg

21 November 2018   15:43 Diperbarui: 21 November 2018   16:02 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://orangindonesiabahagia.blogspot.com/2018/11/politik-uang-para-caleg.html

Pemilihan umum tidak terasa sudah di depan mata, masa kampanye sudah dimulai dan semua calon sudah bergerilya agar bisa terpilih (lagi). Anehnya, saya tidak pernah lagi bertemu dengan anggota legislatif yang saya pilih untuk mewakili saya setelah di bilik suara namanya saya coblos di kertas pemilihan calon anggota legislatif. 

Jangan salah, saya memilihnya bukan karena saya dibombardir uang, tetapi beliau aktif bersilaturahmi dan menjelaskan panjang lebar mengenai visinya tentang Jakarta di daerah saya. Belakangan saya baru tahu setelah bertanya kepada beberapa warga kenapa sang dewan tidak pernah lagi bersilaturahmi, ternyata waktu itu sekali datang berkampanye uang digelontorkan dan pada hari pemilihan serangan fajar dijalankan. Saya dan sebagian warga lainnya tertipu. 

Boro-boro menagih janji yang sudah diucapkan, menyampaikan keluhan atau saran saja tidak jelas harus kemana. Setelah terpilih sang dewan menghilang, ia seolah berubah menjadi hantu jika tidak bisa disebut setan!

Saya tinggal di Jakarta dan satu kali pun saya tidak pernah bertemu dengan anggota DPRD DKI Jakarta yang saya pilih untuk mewakili saya, baik itu untuk sekedar silaturahmi atau bahkan yang lebih penting menjabarkan kinerjanya dan apa-apa saja yang sudah dilakukan untuk memperjuangkan orang-orang yang memberikan suara dan menitipkan amanah dan kepercayaan kepada dirinya. 

Seolah keberadaan dan peran (calon) anggota legislatif hanya sebatas di masa kampanye dan berakhir saat namanya dicoblos di bilik suara. Padahal transaksi yang dilakukan oleh rakyat sebagai pemilih dengan aktor politik yang dipilih untuk mewakilinya tidak selesai di kotak suara, tapi lebih dari itu transaksi yang sesungguhnya baru terlihat ketika si pemilih melihat jagoan yang dipilihnya bersuara, beraksi, berlaga demi membela kepentingannya. 

Entah bagaimana nasib saudara-saudara yang tinggal di daerah yang lebih luas cakupannya dengan akses lebih sulit, di Jakarta yang serba dekat dan serba mudah ternyata untuk bertemu dengan orang yang kita pilih untuk mewakili kita, untuk memperjuangkan nasib kita, untuk bersuara lantang membela kita, seperti bertemu dengan hantu. 

Kita tau mereka ada, tapi kita tidak bisa melihat wujudnya, tidak mendengar suaranya dan tidak bisa menyaksikan dirinya beraksi. Pertanyaannya, kenapa perilaku wakil rakyat seperti ini bisa terjadi? Bagaimana perilaku-perilaku ini memperburuk demokrasi dan merugikan kedaulatan rakyat sebagai pemilik suara tertinggi?

Dulu saya berasumsi bahwa seiring dengan berjalannya waktu akan mengiringi peningkatan dalam kualitas demokrasi, kontestasi politik dan  aktor-aktor yang berkecimpung dan terlibat di dalamnya ke arah yang lebih baik. Apalagi di era keterbukaan dan kemudahan akses informasi, perilaku aktor politik akan lebih baik dan praktek-praktek kotor akan ditinggalkan. 

ernyata yang terjadi perilaku aktor politik masih sama, gencar turun bertemu rakyat dan manis saat berkampanye namun tidak pernah nampak batang hidungnya saat ditanya kinerja dan perjuangannya untuk rakyat. Praktek-praktek kotor macam politik uang juga masih subur dan masif dilakukan, suara digadaikan sejumlah uang yang hanya cukup untuk rokok dan kopi namun nasib 5 tahun digadaikan pada ketidakjelasan yang dampaknya akan dirasakan oleh anak-anak dan cucu-cucunya sendiri di masa yang akan datang. 

Padahal jika kita tidak bisa mewarisi kebaikan pada generasi mendatang, bukankah lebih baik jika tidak meneruskan kebodohan dan menurunkan keburukan? Merujuk Shefter (1994: 283), perilaku ini merupakan bentuk pola patronase dan klientalisme cenderung transaksional (jual-beli suara). Patronase digambarkan sebagai sebuah pembagian keuntungan di antara politisi untuk mendistribusikan sesuatu secara individual kepada pemilih, para pekerja atau pegiat kampanye, dalam rangka mendapatkan dukungan politik dari mereka. 

Sementara klientalisme adalah sebuah posisi dimana rakyat atau individu dipandang lebih rendah karena dukungan dan suaranya dapat dibeli sehingga dirinya hanya dianggap berharga sampai di kotak suara kemudian setelahnya tidak memiliki posisi untuk menggugat nasibnya karena sudah digadaikan di bilik suara. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun