Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pembentukan Karakter Positif dengan Kekerasan? Mana Bisa...

29 Agustus 2015   19:25 Diperbarui: 29 Agustus 2015   19:31 2147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

" Biar sajalah, buat membentuk karakter... "

EH? Membentuk karakter? Dengan kekerasan?

Hmmm.. Aku tak mengatakan apa- apa. Aku tak ingin berdebat dengan seseorang yang baru saja kutemui dan tak kukenal. Tapi jelas, aku tak sepakat dengan apa yang dikatakannya...

Hari itu, suatu hari di akhir minggu. Aku, suamiku dan si bungsu baru saja tiba di kota dimana kedua anak kami yang sulung dan tengah kuliah.

Anak tengah kami, baru tahun ini diterima di perguruan tinggi di kota tersebut. Dan pagi itu, tanpa sengaja saat melintas di sekitar suatu lapangan olah raga, kulihat para mahasiswa baru sedang berada disana. Hari itu, rangkaian kegiatan Orientasi Studi bagi para mahasiswa baru memang sedang dilakukan. Menurut jadwal, itu hari ketiga dan hari terakhir kegiatan tersebut.


Aku memantau sejak awal, apa saja kegiatan dalam Orientasi Studi ini. Tak terlalu khawatir sejak mula, sebab sudah memiliki bayangan ketika si sulung dulu mengikuti acara serupa beberapa tahun yang lalu. Itu juga terkonfirmasi dari apa yang diceritakan anakku, bocah lanang yang baru menjadi mahasiswa itu.

Ada talk show, katanya dalam pesan pendek di Whatsapp yang dikirimkannya padaku. Diisi oleh para alumni yang kini sudah menduduki posisi penting dalam pekerjaannya.

Lalu ada beberapa sesi motivasi bagi para mahasiswa baru yang dipandu oleh para Profesor di kampus tersebut ( sesi motivasi ini yang oleh anakku dikomentari sebagai "menarik banget" ). Lalu ada perkenalan unit- unit mahasiswa, kegiatan ekstra kurikuler. Kemudian juga ada tugas- tugas membuat essay.

Semacam itulah kira- kira. Kalaupun ada kegiatan fisik, itu sekedar senam pagi atau wira- wiri dari kampus ke lapangan olah raga.

Mereka juga dibagi dalam kelompok, yang ada mentornya. Mentor ini terdiri dari para mahasiswa senior yang berbagi pengalaman, menceritakan kiat- kiat agar para mahasiswa itu bisa mengenal dan membayangkan kegiatan di kampus, baik akademik maupun ekstra kurikuler, temasuk menjawab pertanyaan adik- adik angkatannya tentang apa yang diajarkan di mata kuliah tertentu saat tingkat pertama, dan bagaimana agar bisa lulus dengan baik.

Orientasi studi yang baik, dan bisa diterima akal sehat.

Maka aku tenang- tenang saja, tak mengkhawatirkan apapun. 

Tapi, lho... yang kusaksikan pagi itu ketika aku mampir tanpa rencana itu, koq diluar bayanganku ?

Dari kejauhan saja, suara bentakan- bentakan sudah terdengar. Lalu omelan tentang ketidak disiplinan, perpindahan lokasi yang berjalan lambat, ketidak kompakan, dan sebagainya. Lalu ancaman hukuman push up.

Hmmm, ada yang tidak beres ini, pikirku sambil berjalan mendekati lapangan.

***

" D... ingat tidak ? "

Aku berusaha mengumpulkan ingatanku. Aku tidak ingat mulanya, tapi sebab kawanku, kawan dari masa kuliah dulu, menceritakan peristiwa itu, kepingan- kepingan gambar mulai muncul di kepalaku. 

" Kamu dulu melawan senior, saat sedang Orientasi.. " itu yang dikatakan kawanku.

" Oh ya? " aku memberikan gambar emoticon tawa lebar dalam percakapan di group kawan- kawan kuliahku itu, " Apa yang aku lakukan ? "

Percakapan tentang Orientasi Studi itu muncul beberapa saat yang lalu, menjelang tahun ajaran baru. Kami masing- masing memberikan pendapat kami. Mayoritas dari kami tak setuju mengenai masa Orientasi dengan kekerasan yang sayangnya, masih kami alami saat kami baru saja menjadi mahasiswa dulu.

Bentakan, makian, masih muncul dalam acara itu. Para senior marah- marah tanpa alasan, mencari- cari kesalahan, dan ada suatu saat dimana suasana dibuat begitu menekan, para mahasiswa baru lelaki didorong ke sebuah sudut dan mahasiswi baru dibentak- bentak di sisi lain. Konon juga, saat itu beberapa mahasiswi mulai menangis, sementara aku... ha ha, menurut temanku, saat itu aku malah berdiri melawan dan membentak balik senior sok galak itu... hahaha.

" Serius? " kataku bertanya, masih dengan ditambah emoticon tawa lebar. Keping kenangan makin jelas bermunculan di kepalaku. Bisa terbayang olehku di ruang mana kejadian itu terjadi. Walau jika tak diingatkan dan diceritai ulang oleh kawanku, tadinya aku tak ingat, deep inside aku berpikir, bisa saja memang apa yang diceritakan itu betul pernah terjadi...

Pada dasarnya, aku memang tak setuju tindakan kekerasan dalam masa Orientasi. Logikaku juga tak bisa menerima, mengapa para senior merasa berhak memaki, membully, membentak dan memberikan hukuman fisik yang seringkali berlebihan pada para juniornya. Apa urusannya? Selama ini para senior itu bukan bagian dari hidup para junior, mungkin saling mengenalpun tidak, dan jelas jika begitu adanya, mereka tak memberikan kontribusi apapun pada proses tumbuh kembang dan pencapaian dalam hidup para junior. Lalu koq enak saja, bisa- bisanya merasa berhak menekan dan menginjak- injak begitu?

Aku tersenyum dalam hati. Agak menggeleng- gelengkan kepala, membayangkan aku remaja di usia tujuh belasan, berdiri melawan senior sotoy yang kasar.

***

Masih tak habis pikir, aku berjalan makin dekat ke lapangan dimana sekitar tiga ribuan mahasiswa baru, salah satunya anakku, sedang dikumpulkan. Mereka, dengan jaket almamater berwarna biru-nya, dan para senior yang menggunakan t-shirt seragam.

Suara bentakan- bentakan masih terdengar.

" Mau jadi apa kalian, dengan ketidak disiplinan kalian? "

" Hukuman apa yang sesuai ? Push up? Sejumlah mahasiswa baru di angkatan ini ? "

Aku menggerutu dalam hati. Tak masuk akal. Push up sebanyak tiga ribu kali? Mengada- ada.

Kuamati apa yang terjadi.

Dan lalu salah seorang senior mengatakan, " Kami minta dua orang dari mahasiswa baru angkatan 2015 naik ke panggung untuk mempertanggung jawabkan apa yang terjadi pada angkatan kalian ini. "

Kulihat bukan hanya dua, tapi beberapa belas orang, berlari menaiki panggung.

Reaksiku, antara khawatir dan senang. Duh, pikirku, jika panas- panasan begini, bisa berantem ujungnya. Itu di satu sisi. Tapi di sisi lain, di dalam hatiku aku juga berkata, " Iya, lawan saja. Ngapain mau aja dibentak- bentak begitu. Ayo lawan ! "

Situasi yang terjadi, masih tak logis bagiku. Mengapa, pikirku, setelah dua hari berjalan dengan baik dan dengan kegiatan yang memotivasi, pagi ini koq seperti ini ujungnya? Ini ada yang tak beres, atau...

***

Kulihat sebuah helikopter mendekat dan terbang merendah, menuju lapangan dimana para mahasiswa baru itu berada. Hijau warnanya. Lalu tak lama, tali- tali terjulur dari dalam helikopter. Dan beberapa orang tentara turun meluncur.

Bentakan- bentakan masih terdengar. Salah satunya mengatakan bahwa sebab para mahasiswa baru itu tidak disiplin, maka Masa Orientasi akan diperpanjang tiga hari, dengan sistem semi militer dan pelaksanaannya akan dipindah ke lokasi dimana para tentara biasa dilatih.

" Kegiatan ini sudah disetujui oleh para orang tua, " begitu salah seorang senior mengatakan di atas panggung, " Kami sudah menerima formulir persetujuan yang ditanda tangani orang tua kalian. "

Lalu, " Saat kegiatan itu semua alat komunikasi dan jam tangan tidak boleh digunakan. Semua mahasiswa lelaki rambutnya harus dipotong dengan panjang maksimal dua senti. Para mahasiswi yang tak mengenakan jilbab, rambutnya harus diikat dengan karet gelang berwarna merah. "

Lho, koq begitu?

Aku yakin sekali, tak ada formulir tentang Masa Orientasi semi militer yang pernah kami terima, apalagi kami tanda tangani. Aku rasa, jikapun formulir itu ada, aku maupun suamiku tak mungkin akan menandatanganinya begitu saja tanpa memperoleh detail penjelasan yang memuaskan sebelumnya.

Bahkan pada anakku, kukatakan bahwa dia bisa mengikuti Masa Orientasi sepanjang kegiatannya logis dan manusiawi. Kukatakan sejak jauh- jauh hari, jika dia merasa bahwa pada Masa Orientasi ada kekerasan dan bullying yang keterlaluan dan tak bisa diterimanya, dia boleh stop mengikuti kegiatan itu setiap saat.

Walau aku tak mengharapkan adanya kekerasan terjadi, sebab aku yakin pihak perguruan tinggi akan berhati- hati, aku tetap merasa perlu membekali anakku dengan pesan itu. Sebab aku pernah mendengar cerita, di perguruan tinggi negeri ternama lain, pada Masa Orientasi tingkat universitas, kekerasan tak terjadi, tapi saat Orientasi di jurusan, ada mahasiswa baru yang sempat dipukul di bagian perut.

Sang mahasiswa itu tak mau membuat orang tuanya khawatir dan tak pernah menceritakan hal tersebut sampai bertahun- tahun kemudian, setelah dia lulus kuliah. Aku tak mau itu terjadi pada anakku. Maka kuwanti- wanti dia, at any point, entah itu di level universitas, jurusan atau di unit kegiatan, jangan pernah mau menerima tindakan kekerasan.

Jika itu terjadi, stop saja, tak perlu dilajutkan ikut, kataku, tidak apa- apa. Ingatlah bahwa kau datang ke perguruan tinggi ini untuk belajar, bukan untuk dibully, direndahkan atau disiksa.

***

Saat kudengar pengumuman tentang formulir Masa Orientasi semi militer yang sudah disetujui dan ditanda tangani oleh orang tua itulah aku menoleh pada seorang ibu yang juga berada di tepi lapangan. Kutanyakan padanya apakah anak ibu tersebut juga mahasiswa baru disitu. Ketika dijawab dengan iya, kutanyakan padanya apakah betul pernah ada formulir semacam itu sebab sepanjang ingatanku, itu tidak ada.

Ibu tersebut menjawab, memang tidak ada, tapi " biar sajalah orientasinya begitu, buat pembentukan karakter. "

Pembentukan karakter?

Aku menatap ibu- ibu tersebut. Jelas aku tak sependapat, tapi aku malas berdebat dengan orang yang tak kukenal. Tak ada gunanya. Namun aku yang tadinya hanya hendak mampir sebentar saja ke lapangan itu, akhirnya tetap berdiri disana untuk melihat situasi.

Di latar belakang, para tentara masih meluncur dari tali. Debu beterbangan.

Tidak logis.. tidak logis, pikirku. Apa yang terjadi ini tidak cocok polanya. Jangan- jangan...

Dan ah... aku mulai tersenyum dalam hati ketika apa yang kupikirkan tampaknya benar adanya.

Jangan- jangan, ini cuma pura- pura saja. Kejahilan para senior memanfaatkan momen saat ada atraksi dengan helikopter oleh para tentara. 

Senyumku makin lebar ketika para senior mengatakan akan mengecek kesiapan para mahasiswa baru untuk memulai masa orientasi semi militer mereka.

" Tunjukkan botol minum kalian... "

Lalu, " Buku Catatan... "

Setelah itu, " Mana Tongsis-nya ? "

Hah? Aku nyengir. Tak banyak yang mengangkat tangan menunjukkan tongsis -- tentu saja.

Lalu, " Power Bank.. " (sebab konon panitia orientasi menerima keluhan dari orang tua karena anaknya tak bisa dihubungi sebab telepon genggamnya kehabisan baterai )

Aih, katanya alat komunikasi tak boleh dibawa?

Kemudian, " Sabun cair " ( karena ada berita dari Rumah Sakit terdekat, banyak mahasiswa baru terserang diare sebab tak mencuci tangan sebelum makan ).

Senyumku makin lebar. Hari gini, pikirku, memangnya mereka tidak tahu, ada tissue basah dan cairan antiseptik? ( walau aku juga tahu, mayoritas mahasiswa di perguruan tinggi itu laki- laki dan anak lelakiku sih, malas membawa benda- benda semacam itu di ranselnya, he he ).

Lalu...

" Foto mantan, ayo tunjukkan foto mantanmu... "

Aku lega sekali.

Ini pasti keisengan saja.

Dugaanku terbukti, sebab tak lama setelah itu, bersamaan dengan membubung tingginya lagi helikopter yang tadi datang, suara musik dangdut terdengar dan para senior sambil tertawa- tawa mengajak para mahasiswa baru berjoget.

( Belakangan kusaksikan pada kedatangan helikopter yang berikutnya, para tentara yang meluncur turun dari sana mengibarkan bendera- bendera merah putih, bendera perguruan tinggi dan membawa kedatangan rektor perguruan tinggi tersebut untuk memberikan sambutan di depan para mahasiswa baru ).

***

Untunglah... untunglah... pikirku.

Untunglah, ternyata kekerasan itu tak ada disana. Kejahilan beberapa menit masih bisa kuterima. Asal bukan beneran.

Sebab, pendapatku tak pernah berubah. Tak ada yang bisa diperoleh dari Masa Orientasi dengan kekerasan.

Aku dalam usia remaja tujuh belas tahunku dulu yang konon pernah melawan kekerasan para senior, dan aku kini sebagai ibu dari beberapa anak remaja dan pra-remaja, tetap memiliki pendapat yang sama: karakter yang baik tidak bisa dibentuk dengan kekerasan, tak bisa terbentuk dalam beberapa hari penuh bentakan dari senior.

Karakter yang baik, hanya bisa dibentuk dengan pendidikan penuh kasih sayang bertahun- tahun, sejak mereka kecil hingga remaja. Disiplin yang diajarkan, haruslah disiplin yang masuk akal dan bisa diterima logika. Aku tak percaya karakter baik bisa dibentuk dengan cara tidak baik yang melecehkan dan merendahkan.

Tidak dulu. Tidak sekarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun