Aku masih ingat betul, ayahku dulu selalu setengah kesal setengah geli jika berurusan dengan para petugas kelurahan. Ibu dulu memiliki usaha dengan pegawai yang cukup banyak jumlahnya. Dan hampir semua dari para pegawai yang berasal dari desa itu tak tahu tanggal lahirnya sendiri. Karenanya, setiap kali mengurus KTP mereka, ayahku mengosongkan kolom tanggal lahir.
Dan selalu akhirnya formulir itu dikembalikan oleh pihak kelurahan, dengan alasan kolom tanggal lahir harus diisi.
Ayahku pernah mencoba berdebat, dengan mengatakan bagaimana cara mengisi sesuatu yang tak diketahui?
Perdebatan sia- sia sebab petugas kelurahan senantiasa menjawab: pokoknya harus diisi. Lalu: sudahlah, diisi dengan tanggal berapa saja.
Ayahku yang agak kesal sebab diminta mengarang tanggal di kolom formulir KTP, akhirnya mengisi tanggal 29 Februari sebagai tanggal lahir pegawai kami. Yang lalu mengakibatkan... formulir tersebut ditolak lagi!
Petugas kelurahan saat itu memberi alasan jika diisi 29 Februari nanti akan ada kebingungan saat perpanjangan KTP, sebab tanggal 29 Februari itu adanya empat tahun sekali. Lelah menghadapi aturan yang kaku itu, ayahku akhirnya meminta agar tanggal lahir para pegawai diisi saja sendiri oleh petugas kelurahan. Terserah mereka, hendak apa isinya.
Jadi begitulah mulanya. Tanpa upacara selametan dengan kehadiran bubur merah- bubur putih, para pegawai orang tuaku masing- masing memiliki tanggal kelahiran baru yang ditetapkan oleh petugas kelurahan di lokasi kami tinggal.
Urusan tanggal lahir selesai.
[caption id="attachment_252258" align="aligncenter" width="399" caption="Gambar: www.123rf.com"]
Kini tanda tangan.
Ada kejadian lucu tentang hal ini. Ketika itu, KTP juga masih dipaksakan 'harus bertanda tangan' walau opsi untuk cap jempol sebetulnya ada. Para pegawai kelurahan menghendaki semua pegawai -- yang beberapa diantaranya ketika baru datang mulai bekerja masih buta huruf -- untuk paling tidak bisa menuliskan namanya sendiri di kolom tanda tangan KTP.