Mohon tunggu...
Rumahdokumenter
Rumahdokumenter Mohon Tunggu... Dosen - Rumah produksi pendidikan dan jejaring film

Rumah Dokumenter sebuah komunitas film di Klaten, swadaya swakelola swasembada film !

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Semua akan Meninggalkan Bioskop pada Waktunya (?)

11 Mei 2019   15:01 Diperbarui: 13 Mei 2019   22:53 623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Max Pictures

Opini dunia hiburan, kini tengah mengarah pada kemampuan film Avengers End Game garapan Russo bersaudara. Infinity War, karya sebelumnya memang mampu meraih keuntungan yang fantastis. Ada strategi baru yang bisa dibaca, bagaimana relasi industri baik secara ekonomi dan psikis terjabarkan dalam sepuluh tahun belakangan ini.

Formula Avengers, seakan menjadi acuan banyak produser film dunia. Mereka telah siap untuk kembali merampok, sekaligus melahirkan blue print homogenitas selera, lewat tontonan tayang di bioskop. 

Gempita bahwa bioskop sebagai satu tempat menemukan hiburan, semakin sahih. Dalam terminologi tradisionalnya, bioskop itu sebuah ruang gelap, yang menyimpan segenap keceriaan, airmata, duka dan harapan.

Glorifikasi bioskop adalah satu satunya tempat magnetik, tentu, tidak terbantahkan. Setidaknya, jika menengok adrenalin para investor kita dan multinasional yang terus menerus berlomba untuk membangun kembali bioskop setelah runtuh, pasca krisis 1998. 

Namun, apa benar demikian bahwa bioskop akan tetap berjaya? Bahwa kendali tetap berada di tangan investor yang siap membangun bioskop mencakar langit dan layanan jasa yang lebih privat?

Mungkin, asumsi ini sedikit benar, namun harus tetap melihat peta baru tentang konstelasi dunia hiburan pada saat ini. 

Ya, kita percaya bahwa film "Dilan 1991" itu pelari paling cepat dalam sejarah film nasional. Lantaran, hanya dalam waktu 2 hari saja mampu menembus angka penonton sebanyak 1 juta orang.

Namun, apa benar demikian bahwa menonton dengan kalkulasi kehadiran, kedatangan, tetap berada di bawah kendali bioskop? Dan bioskop tetap akan menjadi pusat pusarannya? Kita lihat saja peta barunya, yang membutuhkan strategi baru dalam membaca pasar paling kontekstual dunia industri hiburan. 

Jujur, saat ini kekuasaan industri hiburan itu ada di tangan setiap orang. Kenapa?

Smartphone dengan varian ragam aplikasi yang relevan dengan resepsi estetik panggung hiburan mulai menjadi hal yang paling kongret untuk dipahami. Sistem layanan streaming daring adalah satu faktanya. Masyarakat bisa memilih dengan aplikasi yang dipasang dalam smartphone mereka, maka lalu lintas konsumtif industri film berlangsung. 

Kehadiran platform seperti Netflix, Hook dan semacamnya adalah pilihan paling realistis untuk dapat melihat ragam karya film, baik karya anak negeri atau produk luar. Smartphone, PC seakan menjadi perpanjangan tangan dari gurita industri hiburan film. Cukup duduk di teras rumah, biaya lebih murah, tak perlu antre dan sistem artificial intelengence yang bekerja.

Melihat fakta begitu gencarnya platform online bekerja, tentu, telah membuat peta industri tontonan itu berubah. 

Sekadar contoh, pertumbuhan global Netflix adalah indikator dari suksesnya perusahaan hiburan tingkat global ini. Siapa yang pernah membayangkan, bahwa pada tahun 2017 Netflix telah menjadi raksasa industri hiburan? Netflix telah beroperasi di 190 negara , dengan kalkulasi prospektif 73 juta pelanggan aktif.

Sementara, di tahun 2010 perusahaan ini hanya beroperasi di dua kawasan, yakni Kanada dan Amerika Serikat. Insting membaca pelung semakin kuat, ketika pada tahun 2015 , dengan keberanian membaca pasar digital, akhirnya  melonjak menjadi 50 negara. Dan kini lebih dari 190 negara. Bukankah angka yang fantastis. 

Strategi yang dilakukan adalah, ekspansi tradisional dan regional kawasan serta ekspansi internasional. Kenapa mereka berhasil. Ada keberanian untuk mengakomodasi kebutuhan dan tuntutan tontonan masyarakat lokal, dengan perspektif yang global.

Artinya, mereka tak menutup mata pada kandungan proksimitas, local content, subtitling , lokalitas asli, bahkan disulih suara dengan bahasa lokal. Jika lantas mereka lantas sukses? Tentu, benar adanya. 

Maka, bayangkan apa yang akan terjadi. Ketika kekuasaan industri tontonan berada di genggaman setiap orang, lantas, akan dikemanakan ruang bioskop sebagai sebuah tempat ritual ibadah banyak orang dalam menemukan mimpi nya? Bioskop tak sekadar ruang bertemu nampaknya. Namun, ia juga menyimpan kisah kisah paling bersejarah banyak orang, peristiwa pada banyak belahan dunia. 

Kini, ketika platform online streaming kian menggurita, akankah bioskop akan ditinggalkan orang? Seperti halnya media cetak kertas yang kehilangan jutaan pelanggan nya dan beralih ke platform online? Selamat datang kebangkrutan. Atau tepatnya kematian ruang ruang bioskop? 

(Tonny Trimarsanto, pengajar di Pasca Sarjana ISI Surakarta, aktif di rumahdokumenter.com) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun