Mohon tunggu...
Rullysyah
Rullysyah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

Belajar dan Berbagi

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Terkecoh Sendiri dengan Pernyataan Ketua MK

28 Juni 2019   06:16 Diperbarui: 28 Juni 2019   06:25 1292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar dari cnn indonesia

Ada Sistim Peradilan di MK yang Harus Direvisi

Banyak orang berharap agar UU Mahkamah Konstitusi harus direvisi terkait Kewenangan MK Mengadili Kecurangan TSM.  Harus diperjelas lagi  pasal-pasal yang menyangkut persoalan Kecurangan TSM dalam Pemilu agar di masa mendatang orang tidak berpolemik lagi soal "Mahkamah Kalkulator".

Saya sepakat soal itu tapi tanpa direvisipun sebenarnya dari UU yang ada juga memberi Hak Hakim MK untuk  memutus perkara terkait kecurangan TSM. 

Faktanya di negara-negara demokrasi lainnya seperti  Austria, Kenya, Maladewa dan Ukraina  Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agungnya berani membatalkan Hasil Pemilu karena terbukti ada kecurangan TSM didalam pelaksanaan pemilu di negara-negara tersebut.

Kembali ke Sidang MK kemarin dimana  ketika saya menyimak pernyataan-pernyataan Hakim MK, saya merasa ada sesuatu  yang kontradiksi  karena pada satu sisi MK menyatakan tidak memiliki wewenang mengadili Kecurangan TSM tapi di sisi lain MK menyatakan Gugatan paslon 02 tentang keterlibatan Polri dan ASN tidak ada yang terbukti.

Secara logika bila MK benar-benar tidak punya kewenangan sama sekali mengadili Kecurangan TSM, seharusnya MK tidak perlu menerima dalil  gugatan pembuktian untuk keterlibatan apparat dan ASN.  Cukup  MK menyebut bahwa mereka tidak punya kapasitas memeriksa barang bukti karena keterlibatan apparat dan ASN adalah wewenang Bawaslu.

Tapi dengan menerima barang bukti dugaan kecurangan TSM dan meregister barang buktinya hal itu memastikan bahwa MK memang memiliki kewenangan mengadili Kecurangan TSM.

Dan mengenai masalah Pembuktiannya, dipastikan Sidang Speedy Trial (singkat waktu) ini sungguh tidak layak untuk sengketa Pemilu sebesar Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang begitu luas dan dalam dimensinya bagi masyarakat.

Sungguh sangat tidak cukup waktunya. Bagaimana mungkin Pemohon punya kesempatan mendalilkan semua gugatan, menghadirkan para saksi  dan menghadirkan semua bukti-bukti yang dimilikinya. Terlalu singkat waktunya bila Sidang Gugatan Pilpres hanya dijadwalkan selama 14 hari.

Speedy Trial inilah yang harus direvisi sebenarnya. 30 hari mungkin lebih baik bagi MK sehingga Putusan yang dikeluarkan lebih komprehensif.

Di sisi lain saya membayangkan untuk kedepannya Indonesia punya Pengadilan Khusus Pemilu  seperti keberadaan  PTUN atau Praperadilan.  Dengan demikian  Sengketa Pilpres ataupun sengketa Pemilu lainnya dapat diputus di pengadilan tersebut sementara untuk tingkat bandingnya barulah berada di MK.  Tentu hal tersebut lebih memperkuat Demokrasi di negeri ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun