Mohon tunggu...
Ruli Mustafa
Ruli Mustafa Mohon Tunggu... wiraswasta -

THE TWINSPRIME GROUP- Founder\r\n"Jangan lihat siapa yang menyampaikan, tapi lihat apa yang disampaikannya" (Ali bin Abi Thalib ra). E-mail : hrulimustafa@gmail.com. Ph.0818172185. Cilegon Banten INDONESIA

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Potensi Konflik di Tahun Politik

19 Januari 2014   03:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:41 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1390102540348470121

Di tahun politik 2014 ini eskalasi konflik amat potensial terjadi.Konflikumumnya adalah karena perbedaan pandangan politik, sengketa lahan, tawuran warga, tawuran pelajar hingga konflik antar organisasi kemasyarakatan. Persoalan konflik sosial di masyarakat dapat menjadi ancaman serius bagi disintegrasi bangsa, karenanya wajib untuk dicegah. Memudarnya ikatan sosial ditengah masyarakat ditengarai sebagai akibat dari melebarnya kesenjangan ekonomi serta merosotnya berbagai modal sosial yang berkembang di masyarakat, utamanya adalah menipisnya rasa saling percaya diantara warga masyarakat, selain itu juga denganpara pemimpin serta tokoh masyarakat. Langkanya figur teladan dari para pemimpin dan komunikasi sosial yang gagal terjalin, akibat miskomunikasi dan sikap sikap individualistik sebagai ekses negatif arus industrialisasi dan liberalisme. Konflik sosial terjadiditengarai sebagai refleksi dari karut-marutnya kondisi politik elite pusat dan maraknya kasus-kasus korupsi yang penanganannya mengusik rasa keadilan masyarakat, korupsi besar tapi hukumannya ringan saja. Rakyat mengalami kebuntuan dalam bersosialisasi dan memilih jalan kekerasan untuk menunjukkan kekuasaan sebagai bentuk pelampiasan terhadap ketidakpedulian terhadap pemimpinnya. Akar konflik sosial di Indonesia adalah, pertama, motif sosial, yakni memudarnyasikap saling menghormati serta toleransi diantara sesama warga masyarakat yang berbeda latar belakang sosialnya. Kedua, motif ekonomi, semakin melebarnya kesenjangan sosial akibar pertumbuhan ekonomi yang tidak merata. Jurang antara si kaya dan si miskin semakin lebar hingga menjadi sebab merebaknya embrio kecemburuan sosial. Adanya perbedaan kemampuan antarwarga masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup niscaya akan menyebabkan gesekan kepentingan dalam mendayagunakan sumberdaya ekonomi. Perubahan dalam tata nilai sosial misalnya, dari kultur masyarakat yang agraris menjadi masyarakat yang industrialis telah menjadi sebab hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi secara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan dan resistensi. Hal ini tentu saja akan dapat bereskalasi menjadi konflik sosial yang semakin dalam. Ketiga, motif politik, yakni karena adanya perbedaan kepentingan politik langsung saja terjadi gesekan kepentingan dalam proses perebutan kekuasaan politik, yang akhirnya dapat memicu konflik sosial. Adanya stigma politik uang misalnya, akan memperkeruh situasi sosial dan memancing konflik yang merugikan diantara warga masyarakat. Dahulu marak forum-forum sosial, baik bentukan pemerintah maupun atas kesadaran warga masyarakat sendiri. Budaya gotong royong begitu kental dengan tanpa membatasi diri pada komunitas etnis maupun agama semata, melainkan rasa kebangsaan dan persatuan, ini hal yang sehat. Semuanya murni tumbuh karena hati nurani, keikhlasan untuk hdup berdampingan secara damai terus dipupuk, namun kini keadaannya sudah berubah. Orang semakin urban minded. Hidup gaya kota yang dinamis-instant namun penuh intrik serta sikap-sikap individualistik cenderung mengemuka. Hal ini diperparah pula oleh langkanya keteladanan pemimpin dan persepsi yang negatif terhadap supremasi hukum.Diperlukan sistim deteksi dini dalam mencegah terjadinya konflik konflik sosial seperti yang kerap terjadi dewasa ini. UU nomor 7/2012sebagai payung hukum dalam penanganan konflik sosial sesungguhnya telah mengingatkan langkah tersebut.Dalam UU itu disinggung tentang pentingnya membangun sistem deteksi dini konflik, jadi pemerintah nampaknya harus intens pula dalam memaksimalkan upaya sistem deteksi dini yang komprehensif dan signifikan untuk mengelola dinamika sosial politik yang khas di masing-masing daerah Indonesia. Unsur-unsur kearifan lokal (local wisdom) bisa dibangun dengan baik sebagai dukungan atas upaya ini serta dalam kerangka memperkuat infrastruktur sosial. Sejatinya pula, langkah pencegahan terjadinya konflik-konflik sosial wajib dilakukan tidak saja oleh pemerintah, melainkan oleh seluruh elemen bangsa ini. Kita semua bertanggung jawab atas keutuhan bangsa ini kedepan, oleh karenanya penting ditelusuri setiap waktu apa saja akar konflik sosial tersebut dan segera mencarikan strategi pencegahannya. Ada empat langkah penting dalam mencegah terjadinya konflik sosial akhir akhir ini : Pertama, rebranding citra pemimpin yang merakyat dan profetik (mengedepankan dimensi Ketuhanan). Setiap pemimpin formal dan pemimpin struktural di negeri ini harus memberikan contoh dan teladan dalam kehidupannya, budayakan pendekatan ke akar rumput secara intens. Rakyat yang merasa dekat dengan pemimpinnya yang penuh keteladanan, tentu akan merasa terayomi dan merasa ikut bertanggung jawab memelihara tatanan sosial. Kedua, revitalisasi jejaring sosial (social network) dalam konteks pembentukan forum interaksi dan komunikasi langsung diantara warga masyarakat, Pembentukan paguyuban, forum komunikasi dan komunitas dengan beragam ciri khas harus didukung, semakin banyak akan semakin baik, guna mengasah kepekaan sosial serta soliditas sosial diantara anggotanya yang notabene adalah masyarakat luas. Ketiga, reposisi kontrol sosial yang akhir-akhir ini semakin longgar, ini adalah tugas para orang tua, guru, tokoh masyarakat serta tokoh-tokoh agama. Kontrol sosial adalah partisipasi masyarakat dalam mempertahankan nilai-nilai positif di tengah masyarakat agar kehidupan bersama bisa berlangsung sebagaimana yang diharapkan. Nilai-nilai positif dalam kehidupan adalah hal-hal yang dianggap baik dan semua anggota masyarakat diharapkan menggunakannya. Kontrol sosial diantaranya adalah seruan kebenaran disertai dengan keteladanan dan sikap yang tegas terhadap setiap pelanggaran yang terjadi di masyarakat. Sebagai contoh jangan sampai ada sikap mendua (standar ganda) dalam menyikapi isu diskriminasi atau isu SARA, jangan bersikap permissive (serba membolehkan) apa saja tindakan yang tak patut dilakukan, karena kejahatan besar itu terjadi karena benih-benihnya dibiarkan maka itu diperlukan kontrol sosial yang ketat. Keempat, menegakkan supremasi hukum. Ini langkah yang sangat penting untuk menunjukkan rasa keadilan didalam masyarakat. Karena esensi hukum adalah keadilan, maka citra penegakan hukum adalah faktor utama yang akan memengaruh persepsi masyarakat didalam kehidupan sosial sehari-hari. Perlakuan diskriminatif dalam penegakan hukum niscaya akan meruntuhkan kepercayaan masyarakat yang berujung kepada maraknya konflik konflik sosial akibat kompensasi dari kebuntuan berfikir masyarakat. Dengan mengetahui akar konflik dan aktif melakukan upaya deteksi dini, niscaya konflik-konflik sosial akan dapat teratasi dan semakin berkurang. Karena itulahpencegahan jauh lebih baik daripada langkah meredam konflik yang sudah terlanjur terjadi.(*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun