Jakarta – Pemerintah Indonesia secara konsisten mengalokasikan 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk sektor pendidikan, sebuah komitmen finansial yang masif. Namun, ironisnya, investasi jumbo ini belum sepenuhnya berbanding lurus dengan peningkatan kualitas yang signifikan. Peringkat Indonesia dalam asesmen internasional seperti PISA (Programme for International Student Assessment) masih tertinggal, sebuah fenomena yang mengingatkan pada data Amerika Serikat: negara dengan belanja pendidikan per murid yang tinggi, tetapi tertinggal dalam skor tes terstandarisasi.
Paradoks antara besarnya anggaran dan rendahnya capaian ini memunculkan pertanyaan mendasar: apa akar persoalannya, dan bagaimana kerangka kebijakan publik dapat menjelaskannya?
Alasan Fundamental Keterlibatan Pemerintah
Keterlibatan negara dalam pendidikan memiliki landasan teoritis yang kuat.
Pertama, pendidikan menghasilkan eksternalitas positif yang penting bagi masyarakat. Peningkatan tingkat pendidikan tidak hanya menguntungkan individu, tetapi juga mendorong produktivitas nasional secara keseluruhan, yang pada akhirnya meningkatkan standar hidup. Selain itu, pendidikan membentuk warga negara yang lebih terinformasi dan aktif, memperkuat kualitas demokrasi.
Intervensi pemerintah juga dibutuhkan untuk mengatasi kegagalan pasar kredit pendidikan (educational credit market failure). Tanpa bantuan negara, banyak keluarga tidak mampu membiayai pendidikan anak karena keterbatasan akses pinjaman untuk investasi sumber daya manusia. Pemerintah juga berperan penting dalam redistribusi dan peningkatan mobilitas sosial. Jika pendidikan diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar, hanya keluarga berpenghasilan tinggi yang dapat mengakses sekolah berkualitas, melanggengkan ketimpangan.
Dilema Sekolah Gratis: Efek Crowding Out dan Sistem Kasta
Instrumen utama pemerintah di Indonesia adalah penyediaan sekolah negeri gratis di tingkat dasar dan menengah. Namun, kebijakan ini dapat menimbulkan efek crowding out, yakni menekan eksistensi sekolah swasta. Sebagian keluarga yang sebenarnya mampu membayar sekolah swasta berkualitas tinggi mungkin memilih sekolah negeri gratis demi menghemat biaya, meski kualitasnya relatif lebih rendah.
Fenomena ini menciptakan segmentasi: sekolah negeri "favorit" yang diburu semua kalangan, sekolah swasta premium bagi kelas atas, serta sekolah negeri atau swasta pinggiran yang kekurangan sumber daya.
Sebagai solusi, muncul gagasan voucher pendidikan, di mana pemerintah memberikan dana langsung kepada keluarga untuk dibelanjakan di sekolah pilihan mereka. Pendukungnya menilai sistem ini mendorong kedaulatan konsumen (consumer sovereignty) dan menciptakan kompetisi sehat yang memacu semua sekolah meningkatkan mutu.
Namun, kritik menyebut voucher justru bisa memperlebar segregasi berdasarkan ekonomi, ras, atau agama. Ada pula kekhawatiran sekolah akan melakukan spesialisasi berlebihan untuk menarik segmen tertentu, sehingga mengabaikan esensi pendidikan holistik.