Mohon tunggu...
Mohammad Rozi
Mohammad Rozi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

"Rujak Cingur" dari Bragg Road

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Begini Cara Saya Meladeni Kebawelan "Saudagar" India di Inggris

26 September 2013   20:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:21 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lama tidak ngompasiana, rasanya tak tahan untuk tidak menceritakan pengalaman ini. Ini terjadi sebulan lalu, kira-kira seminggu menjelang anak perempuan saya mulai masuk sekolah secondary school atau SMP. Sebagai persiapan masuk sekolah, kami harus membelikan seragam baru untuk anak saya. Untuk memperoleh seragam ini, sekolah merekomendasikan kepada kami untuk membeli hanya di satu tempat, sebuah toko khusus seragam sekolah milik seorang keturunan India.

Kami pun pergi ke toko ini. Sebagai provider seragam sekolah dari banyak sekolah yang ada di kawasannya, rupanya tokonya tidak terlalu besar dengan showroom seperti toko tradisional. Pengunjungnya cukup ramai. Setiap kali ada pengunjung, seorang petugas akan mendatangi dan berusaha melayani. Pada saat kedatangan pertama, kami cukup puas dengan pelayanan toko ini. Namun karena saat itu salah satu barang belum ada, kami merencanakan untuk datang dua hari berselang seperti sudah dijanjikan barangnya akan tersedia.

Pada kedatangan kami yang kedua ini, toko tampak ramai seperti sebelumnya. Bedanya, saya melihat di antara para petugas toko ada seorang yang berkostum lain. Saya mengira dia adalah supervisor atau manager bagian depan. Dari wajahnya, tampaknya keturunan India. Badannya tinggi besar, perutnya tambun. Umurnya kira-kira lima puluhan tahun. Sangat lain dengan para petugas yang masih muda-muda dan ramah, Pak Manajer tidak menampakkan senyum sama sekali. Perhatiannya terutama kepada anak-anak kecil. Saya memang memperhatikan banyak pengunjung yang membawa anak kecil.

Rupanya anak saya yang paling kecil, yang masih dua tahun tiga bulan, masuk dalam radar perhatiannya. Seperti normalnya anak kecil yang lain, anak saya tidak bisa tinggal diam. Lari-lari, berjingkat, memegang ini itu, adalah hal biasa. Dan ini terjadi setiap kali kami belanja di mana-mana. Sebagai orang tuanya, saya hanya berusaha memastikan anak saya tidak melakukan sesuatu yang berbahaya ataupun mengganggu orang keperluan orang lain. Karenanya saya membuntuti terus.

Rupanya Pak Manajer toko tampak tidak sabar. Saya didekatinya diperingatkan agar menjaga anak saya tetap tinggal di tempat. Saya hanya diam. Perasaan saya, orang lain oke-oke saja. Tidak ada yang merasa terganggu. Bahkan petugas toko banyak yang senyum-senyum setiap kali melihat tingkah laku anak kecil yang ada.

Pak Manajer masih berlanjut. Kali ini ia mendekati seorang ibu-ibu kulit hitam yang antri di kasir sambil memegangi kereta dorong balitanya. Eh... rupanya Pak Manajer mengomeli dan menyuruh agar kereta dorongnya ditaruh di luar, padahal ada bayi di situ. Si ibu pun bersungut-sungut keluar dengan muka kecewa.

Ini orang...., batin saya.

Saya tidak tahan untuk tidak melakukan sesuatu. Saya lepaskan lagi anak saya yang semula saya gendong agar tidak bertingkah. Istri mengingatkan saya karena khawatir nanti Pak Manajer kembali rewel. Saya katakan, “Biar saja, entar saya ladeni.”

Dan, betul. Si Gendut mendekati saya dan menegur agar anak saya berdiri diam di samping saya.

Ada aksi, ada reaksi. Saya pun bereaksi. Saya dekati Si Gendut. Dengan Bahasa Jawa saya berkata dengan keras-keras: “Ra usah koyo ngunu! Nang endi-endi cah cilik ra iso dikon meneng... cah cilik ra arep ngopo-ngopo!” (Jangan begitu! Di mana-mana anak kecil tidak bisa disuruh diam... anak kecil tidak akan berbuat apa-apa (ngutil atau sejenisnya).”)

Si Gendut tampak sok, dan lantas duduk di kursi sambil tengok kanan-kiri. Mungkin bingung, saya ngomong apa. Mungkin juga dia tidak mengira ada reaksi demikian.

Istri saya mencolek saya, “Mas... dia nggak ngerti.”

“Biar saja, memang sengaja, kok!” kata saya.

Hati saya puas melihat Si Gendut masih dalam muka bingung. Belum habis muka bingungnya, saya ajak istri saya pergi sebelum kami jadi membeli barang. Beberapa orang juga tampak pergi setelah kami, entah sudah membeli barang atau belum.

Saat menunggu bus di bus stop kira-kira 15 meter dari toko, kami memperhatikan Si Gendut tampak diceramahi oleh senior lain di depan toko.

Ono-ono wae.

Bragg Rd, 14.00 26.09.2013

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun