Bukan hanya sekedar dan sementara tinggal di Thailand, kelanjutannya bahkan mereka menjadi warganegara Thailand.
Muncul masalah beberapa saat setelah mereka tiba di negeri Gajah Perang, mereka mulai berpikir bagaimana caranya mereka bisa meneruskan hidup dan makan di sana?
Jalan yang diambil mereka antara lain tidak sedikit dari mereka yang menjadi biksu. Â Mayoritas penduduk di negeri Gajah Perang itu memang beragama Buddha. Seorang biksu atau pendeta Buddha sangat dihormati.
Mereka bahkan mendapatkan sumbangan makan dan beberapa fasilitas lainnya dari para umatnya.
Sedangkan sebagian anggota Cakrabirawa lainnya ada yang langsung masuk ke hutan untuk mengolah lahan-lahan. Secara kebetulan, regulasi pada tahun 1970-an di sana, mengolah lahan-lahan di hutan gratis, alias tidak dipungut biaya.
Dan enaknya lagi, lahan yang dibuka dan diolah itu nantinya bisa menjadi milik yang mengolahnya.
Banyak di antara pasukan Cakrabirawa itu yang menikah dengan wanita-wanita Thailand setempat. Bahkan mereka yang masih hidup kini telah menjadi petani yang sukses dan mempunyai lahan yang luas.
Umumnya mereka sangat ingin merahasiakan jati diri mereka sebagai mantan pasukan Cakrabirawa jika secara kebetulan mereka bertemu dengan orang-orang Indonesia yang melawat ke negeri Gajah Perang itu.
Namun mereka yang berasal Jawa terkadang memiliki hasrat menggebi untuk ngomong Bahasa Jawa dengan orang-orang Indonesia dari Jawa yang datang ke negeri Gajah Perang.
Beberapa orang mantan resimen Cakrabirawa yang tersebar di Thailand yang sudah tua sudah meninggal. Sedangkan mereka yang masih hidup kadang-kadang mereka berkumpul untuk membahas perkembangan situasi sosial politik di negara asalnya Indonesia.
Kendati demikian, mereka memiliki satu prinsip bahwa mereka tidak akan pulang ke Indonesia.