Mohon tunggu...
Rudy W
Rudy W Mohon Tunggu... Lainnya - dibuang sayang

Ngopi dulu ☕

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Akulturasi Budaya yang Tercipta Ketika Sunan Gunung Jati Menikah dengan Putri Ong Tien Nio

6 Desember 2020   10:05 Diperbarui: 28 April 2021   08:58 717
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ziarah ke makam Ong Tien Nio (jawapos.com)


Saya yakin, sejarah lebih faham dengan Sunan Gunung Jati, atau Syarif Hidayatullah, sebagai salah seorang dari Walisongo. Sunan Gunung Jati yang dilahirkan di Kairo, Mesir, pada tahun 1448 ini adalah seorang penyebar agama Islam di Cirebon.

Setelah tiba di Cirebon pada tahun 1470 Masehi, dengan dukungan dari Pangeran Cakra buana (Raja Cirebon yang pertama) dan Kesultanan Demak, pada tahun 1479 Syarif Hidayatullah diangkat menjadi Raja Cirebon ke 2 dengan gelar Maulana Jati.

Selama hidupnya, Syarif Hidayatullah ini mempunyai enam orang isteri. Menariknya, salah satu dari istrinya itu adalah Ong Tien Nio, putri dari bangsawan asal Cina.

Nama Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati ini sebelumnya pernah saya dengar. Ada kisah yang menceritakan bagaimana putri Ong Tien Nio sampai bertemu dengan Syarif Hidayatullah dan melangsungkan pernikahan.

Namanya juga diabadikan dalam berbagai versi, seperti nama jalan, toko, dan sebagainya. Saya sempat menemukan sebuah toko dan wilayah namanya "Gunung Jati" yang memang merujuk kepada Syarif Hidayatullah.

Ada juga Korem Sunan Gunung Jati di Cirebon, Universitas Islam Sunan Gunung Jati di Bandung, dan sebagainya.

Secara kebetulan ketika membaca sebuah referensi saya menemukan jika Syarif Hidayatullah itu merupakan salah seorang pengikut dari Bratalegawa. Siapakah Bratalegawa itu?

Bratalegawa atau Haji Baharuddin Al-Jawi digadang-gadang sebagai tokoh pertama asal tanah Sunda yang memeluk agama Islam.

Sebelum Islam seperti sekarang ini, pada abad ke 15 dan 16 di tanah Sunda setidaknya ada dua kerajaan yang bernafaskan Hindu, yaitu Kerajaan Pajajaran dan Kerajaan Galuh. 

Baca: Wisata Religi Mengunjungi Makam Sunan Gunung Jati Cirebon

Jika Pajajaran dengan Rajanya yang tersohor Prabu Siliwangi dan ibukotanya di Bogor sekarang, maka pusat pemerintahan Kerajaan Galuh adalah Ciamis sekarang (dulu namanya Kawali).

Kerajaan Galuh ini diperintah oleh Raja Bunisora. Bratalegawa adalah seorang bangsawan sekaligus juga seorang saudagar yang kaya raya, Bratalegawa adalah putra ke 2 dari Raja Bunisora.

Sebagai seorang saudagar, Bratalegawa sering berhubungan dengan orang-orang, terutamanya saudagar dari Timur Tengah yang beragama Muslim. Bukan saja di dalam negeri yang disebut dengan Indonesia sekarang ini, Bratalegawa juga sering melawat ke Timur Tengah dan negeri lainnya untuk berdagang.

Dari seringnya Bratalegawa berhubungan dengan orang-orang dari Timur Tengah, perlahan-lahan dia mulai tertarik dengan agama Islam yang dianut rekan-rekan bisnisnya.

Bratalegawa pun akhirnya diislamkan oleh rekan-rekannya itu di India, yang kebetulan saat itu mereka bertemu di negara Kuch Kuch Hota Hai tersebut.

Sebelumnya, Bratalegawa adalah seorang pemeluk Hindu yang sangat taat. Itulah cikal bakal Bratalegawa disebut sebagai Haji Purwa. Purwa dalam Bahasa Sunda artinya yang utama, atau yang pertama. Ini karena Bratalegawa merupakan tokoh Muslim pertama di tatar Sunda. Dia juga diklaim sebagai orang pertama dari tatar Sunda yang naik haji.

Itulah sebabnya nama Bratalegawa berubah menjadi Haji Baharuddin Al-Jawi setelah dia menikah dengan seorang perempuan asal Gujarat ketika dia melakukan perjalanan bisnisnya dan lantas dia melakukan ibadah naik haji.

Baca: Puasa, Waisak, dan Ajaran Toleransi Sunan Gunung Jati di Banten

Ketertarikannya kepada Islam diwujudkan bukan hanya sekedar dia memeluk Islam dan naik haji, tetapi lebih dari itu. Baharuddin Al-Jawi ingin menyebarkan ajaran Nabi Muhammad SAW tersebut.

Langkah pertama yang dilakukannya setelah naik haji itu, dia pulang ke kampung halamannya di Kerajaan Galuh. Dia coba mendekati Ratu Banawati, Giri Dewanti (saudara kandungnya), dan para petinggi Kerajaan Galuh untuk supaya memeluk agama Islam.

Tetapi usahanya tidak mendapatkan hasil. Ini dikarenakan masih kuat berakarnya nafas Hindu.

Tidak patah arang dalam upayanya syiar Islam tersebut, dia lantas memutuskan untuk hijrah ke Cirebon (namanya waktu itu masih Caruban Girang) untuk syiar.

Tak disangka, upayanya menghasilkan sambutan yang positif dari masyarakat di Caruban Girang. Banyak masyarakat di Caruban Girang ini yang mengikuti syiarnya, memeluk agama Islam.

Inilah kemudian yang menjadi cikal bakal, syiarnya lantas diteruskan oleh salah seorang pengikutnya, yaitu Syarif Hidayatullah, atau barangkali lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati.

Semasa hidupnya, Sunan Gunung Jati dikaruniai 7 orang anak. Sunan Gunung Jati wafat pada 19 September 1569.

Akulturasi budaya antara Cirebon dan Tionghoa diwujudkan ketika orang-orang Tionghoa sampai saat ini sering menggelar Grebek Ngunjung ke Makam Putri Ong Tien Nio dan Sunan Gunung Jati di Kecamatan Gunung Jati.

Dalam kegiatannya, mereka antara lain mengadakan acara berdoa dan tabur bunga di kedua makam itu, makam Putri Ong Tien Nio dan Sunan Gunung Jati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun