Semua energinya menghilang. Cita dan bahagia itu tak pernah lagi singgah pada dirinya. Ia memilih hidup sepi berdiam diri, bagai perkataan "hidup segan, mati pun tak mau." Tak kuasa menolak derita berkepanjangan, itulah hidup yang dijalaninya selama ini, tanpa upaya untuk bangkit.
Dentang jam terdengar enam kali.
Dipandangnya jam yang tak pernah lelah memberi energi, supaya jarum terus berputar. Timbul rasa malu pada diri perempuan itu, saat menyadari bagaimana jam kuno tersebut tak pernah alpa memberikan perputaran waktu kepadanya.
Sepintas, senyum tipis tersungging di bibir perempuan itu. Ia merasa bangga pada jam itu. Sungguh ia sangat kerdil jika dibandingkan dengan sang penunjuk waktu.
"Aku memang lalai, tak mampu menguatkan diri sendiri. Kau benar. Tidur panjangku harus berakhir!" geram perempuan itu. Selama ini, ia telah membiarkan pikiran dan raganya terkekang dalam kekecewaan.
"Ari, kamu ingin aku tetap semangat, kan? Baiklah, aku akan melukis cinta kita di atas kanvasku. Tenanglah kau di sana."
Perempuan itu terdiam sesaat.
Ada air mata mengalir di pipinya. Tapi, tangannya segera menghapus air mata itu.
Sepi.
Tik. Tik. Tik. Tik.
Detak jarum jam mengisi kesunyian. Perempuan itu mendongak, menatap jarum jam yang terus berputar. Lantas, ia tersenyum. Detak jam terus mengiring jarum yang bergerak perlahan, namun pasti meninggalkan waktu yang akan terlewati menuju masa depan.