Matahari meredup. Di dalam kamarnya, perempuan berusia 25 tahun itu menggeliat dua kali. Wajahnya yang bulat telur tampak lelah.
Dentang jam memberi bunyi lima kali.
Perempuan itu terkesiap. Ia duduk di tepi pembaringan dan melongok waktu yang terlewat sia-sia dalam keterpejaman mata. Kaki-kakinya bergerak gelisah saat jarum jam terus bergerak, tak mungkin menunggunya.
"Lihatlah waktumu sekarang." Perempuan itu mendengar jam itu berbisik.
"Memang, ada apa dengan waktuku?" kilah perempuan itu, sambil melirik ke arah jam di dinding. Diam-diam, ada rasa kagum pada jam dinding miliknya, yang selalu bergerak dengan detak lembut.
"Apa yang selalu kau dapatkan selama kau terlena?" tanya jam itu kembali, kali ini dengan nada sedikit sengit.
"Aku?" Perempuan itu cemberut. Ia tatap jam di dinding. Kini, jarum jam itu telah bergeser beberapa belas detik.
"Beraninya kau mengkritikku. Coba kalau tak kubeli kau dari penjaja di pinggir jalan, pasti sekarang sudah karatan," dumel perempuan itu.
Memang, perempuan itu membeli jam tersebut di kaki lima di pinggir jalan.
Ketika itu hujan rintik-rintik. Jam yang tak terurus dan tampak kuno itu menggigil dalam diam, di antara benda lain yang tak menarik perhatiannya.
Entah mengapa, begitu melihat jam itu, sang perempuan langsung jatuh hati. Benar saja. Begitu sudah dibersihkan dan dirawat, tampilan kuno dan antik jam itu pun memancar.