Mohon tunggu...
Rudy W
Rudy W Mohon Tunggu... Lainnya - dibuang sayang

Ngopi dulu ☕

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketahui Strategi Mengatasi Trauma Anak

9 Desember 2017   09:04 Diperbarui: 9 Desember 2017   10:31 1277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://escueladelninointerior.com/

Jika anak menangis, biarkanlah. Menangis penting untuk menyalurkan emosi kepada orang terdekat. Setelah reda, ajaklah anak berbicara, dan biarkan ia mengungkapkan apa yang dialami dan dirasakan. Di sini, anak butuh didengarkan, dan kita harus belajar untuk memahami apa yang anak rasakan.

Baik Cecilia dan Nathanael menegaskan, jika langkah-langkah tersebut tidak berhasil atau tidak memberikan perubahan, sebaiknya ajak anak untuk bertemu psikolog atau orang yang ahli di bidangnya. Ini diperlukan untuk mencegah trauma berkepanjangan yang berdampak buruk bagi perkembangan psikologi anak hingga dewasa.

"Paling penting adalah orangtua menyediakan waktu untuk berbicara dengan anak dan mendengarkan apa yang anak rasakan," tegas Cecilia. "Yakinkan anak bahwa ia dapat menciptakan rasa aman untuk dirinya sendiri. Dan tunjukkan kasih sayang kepada anak."

Satu hal yang penting diwaspadai anak yang trauma adalah jangan membohonginya. Hal ini tidak akan menyelesaikan permasalahan, justru anak akan merasa dibohongi. Sebaiknya, berikan penjelasan yang sederhana mengenai kondisinya, sehingga anak dapat memahami dengan cara mereka sendiri.

Cecilia mengingatkan bahwa jika trauma tidak diintervensi dengan tepat, maka anak akan kehilangan rasa aman. Akibatnya, ia akan terus merasa ketakutan dan insecure dengan situasi di sekitarnya. Jika seseorang anak bertumbuh dalam kondisi "perasaan tidak aman", maka ini akan memengaruhi perkembangannya.

Aspek yang paling terpengaruh khususnya adalah kepercayaan diri dan resiliensi, yakni daya tahan terhadap situasi yang menekan. Hal ini juga dapat memengaruhi anak saat menempatkan diri di dalam lingkungan sosial atau masyarakat.

Nathanael mengungkapkan, tanda-tanda anak sudah terlepas dari trauma adalah ia sudah bisa bermain, bersekolah, bergaul, dan berinteraksi dengan orangtua. Ini menjadi indikator bahwa anak sudah resilient melampaui masa sulit.

Nah, saat sudah berhasil melewati masa berat ini, Cecilia menyarankan agar orangtua menciptakan pola asuh terbuka dan komunikasi dua arah, di mana orangtua dan anak dapat mengungkapkan isi hati dan keinginan masing-masing.

Sejak kecil, sebaiknya bekali anak dengan kemampuan sosial yang baik agar ia dapat menempatkan diri di lingkungan dengan baik. Latih anak mengelola emosi ketika berhadapan dengan situasi atau kondisi yang menekan, seperti menghadapi kenyataan yang tak sesuai harapan.

"Jelaskan pada anak bahwa ia harus mampu melindungi diri sendiri dari situasi yang kurang menyenangkan atau mengancam. Ini penting untuk membangun resiliensi. Berikan rasa percaya diri yang lebih, sehingga anak memiliki kemampuan untuk melindungi diri," pungkas Cecilia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun