Rudi Santoso (Komisi Infokom MUI Lampung/Dosen Hukum Tata Negara UIN Raden Intan Lampung)
Dakwah adalah ruh kehidupan umat Islam. Ia bukan sekadar aktivitas menyampaikan ayat dan hadis di atas mimbar, tetapi juga merupakan proses transformasi sosial yang membawa umat kepada kesejahteraan lahir dan batin. Sayangnya, dalam realitas dakwah kita hari ini, banyak dai yang terjebak pada ranah ritual semata. Mereka menjelaskan cara wudu yang benar, membahas panjang lebar tentang shalat tahajud atau adab makan dan minum. Semua itu memang penting, namun tidak cukup.
Umat Islam hari ini hidup di tengah tantangan zaman yang kompleks, khususnya dalam hal ekonomi. Ketimpangan sosial, kesenjangan pendapatan, ketergantungan pada sistem ekonomi konvensional hingga praktik riba yang merajalela telah menjadi bagian dari problem umat. Jika dakwah hanya menjawab pertanyaan spiritual tanpa memberi solusi konkret terhadap problem ekonomi, maka dakwah itu kehilangan relevansinya. Di sinilah pentingnya peran seorang dai untuk tidak hanya menguasai ilmu ibadah, tetapi juga mendalami dan menyampaikan pemahaman tentang ekonomi syariah sebagai bagian dari Islam.
Islam tidak hanya mengatur hubungan vertikal antara manusia dan Tuhannya, tetapi juga hubungan horizontal antarsesama. Oleh karena itu, dakwah Islam mestinya menyentuh kedua sisi ini secara seimbang. Ketika seorang dai hanya menyampaikan aspek-aspek ritual tanpa menyentuh problematika ekonomi dan sosial umat, maka yang terjadi adalah kekosongan praksis dalam kehidupan umat.
Sudah saatnya para dai bertransformasi menjadi agen perubahan yang tidak hanya membimbing umat dalam persoalan akidah dan akhlak, tetapi juga memberikan solusi praktis terhadap permasalahan ekonomi yang dihadapi masyarakat. Dengan kata lain, seorang dai perlu menjadi inspirator dan motivator dalam membangun kemandirian dan kesejahteraan ekonomi berbasis prinsip-prinsip syariah.
Islam sendiri telah memberikan panduan yang sangat kaya tentang aktivitas ekonomi. Mulai dari larangan riba, keharaman gharar, anjuran berdagang, pengelolaan zakat dan wakaf, hingga konsep kepemilikan harta dan distribusi kekayaan. Semua itu menunjukkan bahwa ekonomi bukanlah urusan sekuler, melainkan bagian dari syariat.
Tantangan umat saat ini lebih banyak berada pada sektor ekonomi. Kemiskinan, pengangguran, ketergantungan pada pinjaman berbunga tinggi, maraknya praktik rentenir, hingga minimnya kesadaran akan instrumen keuangan syariah seperti koperasi syariah, asuransi syariah, hingga investasi halal, adalah persoalan-persoalan nyata yang dihadapi umat. Bila para dai tidak mengambil bagian dalam menjelaskan, mengedukasi, dan mendorong pengembangan solusi ekonomi syariah, maka umat akan terus tersesat dalam sistem ekonomi yang tidak sesuai dengan nilai Islam.
Ironisnya, banyak dai kita hari ini yang tidak mendapatkan materi ekonomi syariah dalam proses pembelajaran mereka. Sebagian besar hanya fokus pada fikih ibadah, fikih wanita, dan tafsir akhlak. Padahal fiqih muamalah dan ekonomi syariah adalah bagian penting dari syariat Islam yang wajib dipahami dan disampaikan kepada umat.
Sudah waktunya lembaga-lembaga pendidikan dakwah baik pesantren, perguruan tinggi Islam, maupun pelatihan dakwah menambahkan kurikulum tentang ekonomi syariah secara sistematis. Dai masa kini perlu memahami konsep dasar fiqih muamalah, teori dan praktik ekonomi Islam, serta bagaimana sistem keuangan syariah bisa diterapkan dalam kehidupan masyarakat modern. Mereka juga harus dibekali kemampuan menjelaskan perbedaan ekonomi konvensional dan ekonomi syariah secara aplikatif sehingga mampu menjawab keraguan umat.
Dai tidak hanya sebagai penceramah, tetapi bisa menjadi penggerak ekonomi umat. Seorang dai dapat menginisiasi pendirian koperasi syariah, menggalang dana wakaf produktif, mendampingi UMKM berbasis halal, atau menjadi penyambung antara masyarakat dan lembaga keuangan syariah. Dengan keterlibatan seperti ini, dakwah menjadi tidak hanya menyentuh langit tetapi juga menapak bumi. Umat merasakan manfaat langsung dari dakwah dan kepercayaan kepada Islam sebagai rahmat bagi semesta pun semakin menguat.
Di sinilah pentingnya meningkatkan kapasitas para dai. Pemerintah, ormas Islam, dan lembaga keuangan syariah perlu bekerja sama untuk menyelenggarakan pelatihan dan sertifikasi ekonomi syariah bagi para dai. Tujuannya bukan menjadikan dai sebagai ekonom profesional, tetapi cukup memahami prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam dan bagaimana mengaitkannya dengan konteks kehidupan umat.
Dai juga berperan sebagai edukator prinsip syariah di tengah derasnya arus kapitalisme dan liberalisme ekonomi. Banyak umat Islam yang belum tahu bahwa ada alternatif sistem ekonomi yang adil, berkelanjutan, dan sesuai dengan nilai-nilai Islam. Misalnya, bagaimana akad mudharabah dan musyarakah dapat menggantikan sistem pinjaman berbunga, bagaimana zakat dan wakaf bisa menjadi instrumen pengentasan kemiskinan, atau bagaimana bank syariah beroperasi berbeda dari bank konvensional.
Di era digital, dakwah mengenai ekonomi syariah bisa lebih luas jangkauannya. Para dai bisa memanfaatkan media sosial, podcast, kanal YouTube, dan platform digital lainnya untuk menyebarluaskan pemahaman tentang ekonomi Islam. Ini menjadi bagian dari tanggung jawab moral dan sosial seorang dai agar Islam benar-benar menjadi solusi hidup yang paripurna bagi umatnya.
Gagasan bahwa ekonomi syariah adalah ancaman terhadap Pancasila adalah kekeliruan yang perlu diluruskan. Mengembangkan ekonomi syariah bukanlah usaha mengganti ideologi negara, tetapi merupakan bentuk implementasi nilai Ketuhanan, Keadilan Sosial, dan Kemanusiaan yang adil dan beradab. Sistem ekonomi syariah sangat menjunjung tinggi keadilan, menghindari eksploitasi, dan menekankan keseimbangan dalam distribusi kekayaan. Hal ini justru sangat sejalan dengan cita-cita luhur bangsa Indonesia.
Indonesia dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia memiliki potensi besar untuk menjadi pusat ekonomi syariah global. Namun potensi itu tidak akan tergarap jika para dai dan tokoh agama tidak ikut menggerakkannya dari akar rumput. Maka peran dai di sinilah menjadi kunci. Membangkitkan kesadaran umat bahwa ekonomi syariah bukan hanya soal label, tapi solusi nyata untuk kesejahteraan bersama.
Lebih jauh lagi, ekonomi syariah perlu dijadikan sebagai gaya hidup umat Islam Indonesia. Ini bukan sekadar urusan keuangan, tetapi tentang bagaimana seseorang memilih makanan halal, berpakaian sesuai syariat, bertransaksi dengan jujur, dan berinvestasi secara etis. Dai sebagai figur publik dan panutan umat memiliki peran penting dalam menanamkan nilai-nilai ini.
Masyarakat yang menjadikan ekonomi syariah sebagai gaya hidup akan melahirkan kultur ekonomi yang sehat, produktif, dan adil. Ini menjadi prasyarat bagi terwujudnya masyarakat madani yang berlandaskan nilai Islam dalam kehidupan nyata, bukan sekadar di atas teks kitab kuning atau ceramah-ceramah spiritual yang hampa dari aksi.
Dai zaman now harus menjadi dai yang solutif, bukan hanya retoris. Mereka harus tampil sebagai pemimpin moral sekaligus pemberi arah dalam pembangunan ekonomi umat. Dengan pemahaman yang kuat terhadap prinsip-prinsip ekonomi syariah, para dai dapat menjadikan dakwah sebagai jalan perubahan nyata. Sudah saatnya dakwah kita tidak hanya menjadi suara di atas mimbar tetapi menjadi cahaya dalam lorong-lorong gelap kehidupan ekonomi umat.
Jika dakwah spiritual menyelamatkan akhirat, maka dakwah ekonomi menyelamatkan dunia. Dan Islam mengajarkan keduanya sebagai satu kesatuan tak terpisahkan. Maka dai masa kini tak cukup hanya tahu cara shalat yang benar, tetapi juga harus tahu bagaimana menolong umat keluar dari jerat ekonomi yang salah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI