Mohon tunggu...
Rudi Santoso
Rudi Santoso Mohon Tunggu... Dosen Hukum Tata Negara UIN Raden Intan Lampung II Nahdlatul Ulama

Berbuatlah sesukamu, tetapi ingatlah bahwa engkau akan mati...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pemerintahan Daerah dan Otonomi dalam Perspektif Konstitusi

13 Juni 2025   21:31 Diperbarui: 13 Juni 2025   18:39 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rudi Santoso (Dosen Hukum Tata Negara UIN Raden Intan Lampung)

Pemerintahan daerah dan prinsip otonomi bukanlah sekadar konsep administratif, melainkan cerminan dari semangat demokrasi dan pengakuan terhadap keberagaman dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konstitusi Indonesia, melalui Pasal 18 UUD 1945 hasil amandemen, memberikan landasan normatif yang kuat bagi pelaksanaan pemerintahan daerah yang berbasis desentralisasi. Dalam perspektif ini, otonomi daerah tidak hanya berkaitan dengan efisiensi tata kelola, tetapi juga merupakan strategi konstitusional untuk memperkuat kohesi nasional melalui penghormatan terhadap kearifan lokal.

Prinsip desentralisasi yang dijamin dalam UUD 1945 memberikan ruang bagi daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan sesuai dengan asas otonomi dan tugas pembantuan. Desentralisasi berbeda dari dekonsentrasi yang bersifat delegasi kekuasaan administratif dari pusat ke daerah. Dalam desentralisasi, kewenangan bersifat asli, bukan semata-mata pelimpahan. Oleh karena itu, daerah memiliki hak dan kewajiban menjalankan fungsi pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan secara mandiri dan bertanggung jawab.

Pelaksanaan otonomi daerah pasca-reformasi menjadi tonggak penting dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, negara mengatur secara lebih sistematis pembagian urusan pemerintahan antara pusat dan daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan atas urusan konkuren, yaitu urusan pemerintahan yang dibagi antara pusat dan daerah, meliputi sektor-sektor strategis seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, dan perlindungan lingkungan hidup. Namun kewenangan tersebut tetap harus dijalankan dalam bingkai konstitusi dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional.

Tantangan mendasar dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah menjaga keseimbangan antara kebebasan lokal dan integritas nasional. Pemerintah pusat memikul tanggung jawab konstitusional untuk memastikan bahwa seluruh daerah mendapatkan perlakuan yang adil dan proporsional. Di sisi lain, daerah memiliki karakteristik sosial, budaya, ekonomi, dan geografis yang beragam, yang menuntut perlakuan berbeda dalam kebijakan pembangunan. Di sinilah kepekaan dalam bernegara menjadi penting, yakni bagaimana merawat kebhinekaan dalam satu sistem pemerintahan yang kokoh.

Hubungan antara pusat dan daerah dalam kerangka otonomi seyogianya dibangun atas dasar kemitraan dan koordinasi, bukan atas dasar subordinasi atau dominasi. Pemerintah pusat tidak bertindak sebagai penguasa tunggal, melainkan sebagai fasilitator dan pembina agar daerah dapat tumbuh dan berkembang sejalan dengan arah pembangunan nasional. Dalam kerangka ini, prinsip subsidiaritas memiliki arti penting. Prinsip ini menekankan bahwa urusan publik harus diselesaikan oleh entitas pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat, kecuali jika secara efektif tidak mampu maka dilimpahkan ke tingkat yang lebih tinggi.

Meskipun demikian, pelaksanaan otonomi daerah tidak luput dari berbagai problematika. Ketimpangan fiskal antarwilayah, lemahnya kapasitas aparatur, praktik korupsi di daerah, konflik kewenangan pusat dan daerah, hingga tumpang tindih regulasi menjadi tantangan nyata dalam penerapan desentralisasi. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan otonomi daerah tidak cukup hanya dengan pendelegasian kewenangan, tetapi juga memerlukan penguatan kelembagaan, pengawasan yang efektif, serta akuntabilitas publik yang tinggi.

Konstitusi Indonesia mengakui keberadaan daerah-daerah khusus dan istimewa seperti DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Aceh, dan Papua sebagai bentuk pengakuan terhadap kekhasan sejarah, budaya, dan politik tertentu. Ini membuktikan bahwa konstitusi memiliki fleksibilitas yang tinggi dalam merangkul keragaman tanpa mengorbankan keutuhan negara. Namun demikian, pengakuan atas kekhususan tersebut tetap harus berjalan dalam kerangka integrasi nasional yang utuh dan tidak mengarah pada fragmentasi.

Dengan demikian, otonomi daerah bukanlah ancaman terhadap persatuan bangsa, melainkan mekanisme konstitusional untuk menjembatani kebutuhan lokal dengan kepentingan nasional. Desentralisasi adalah wujud dari demokratisasi kekuasaan yang memberikan ruang bagi masyarakat di tingkat akar rumput untuk berpartisipasi dalam proses pemerintahan. Maka, hubungan pusat dan daerah idealnya dibangun dalam semangat saling mendukung dan memperkuat, bukan saling menegasikan.

Akhirnya, penguatan otonomi daerah membutuhkan komitmen bersama untuk menjaga konstitusionalitas, meningkatkan kapasitas birokrasi daerah, memperluas partisipasi publik, dan menjamin keadilan fiskal. Dalam kerangka konstitusi, pemerintahan daerah merupakan ujung tombak negara dalam memberikan pelayanan kepada rakyat. Oleh sebab itu, wajah pemerintah daerah adalah wajah negara itu sendiri di mata masyarakat. Maka keberhasilan otonomi daerah adalah cermin dari keberhasilan demokrasi dan konstitusionalisme Indonesia secara keseluruhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun