Mohon tunggu...
Rudi Haryono
Rudi Haryono Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Muhammadiyah Bogor Raya (UMBARA) - Mahasiswa S3 Linguistik Terapan Bahasa Inggris Unika Atma Jaya Jakarta

Educator, Sociopreneur, Youth Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Mudik: Rindu Keluarga di Tengah Pandemi

10 Mei 2021   08:43 Diperbarui: 10 Mei 2021   09:02 608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Tak terasa tinggal empat hari lagi kita akan selesai melaksanakan ibadah puasa. Berbagai perasaan berkecamuk di dada masing-masing mereka yang melakukan ibadah puasa: senang, sedih, haru, optimis, gembira, suka cita, syahdu, khusyu atau  mungkin juga ada yang biasa saja. Tidak ada bedanya puasa dan bulan bulan lainnya. 

Jelang akhir Ramadhan dan saat Idul Fitri, tradisi mudik kembali menggeliat. Menurut berita akan ada sekitar 27,6 juta orang yang melaksanakan mudik tahun 2021. Jumlah yang sangat luar biasa banyaknya untuk sebuah mobilitas di tengah -tengah kondisi pandemi Covid-19 yang juga belum berakhir. 

Pemerintah sebagai upaya untuk mencegah peningkatan pandemi, melarang warga untuk mudik dan membatasi jarak dan golongan masyarakat yang boleh mudik dan tidak mudik. Penyekatan dilakukan di beberapa titik perbatasan untuk mencegah arus keluar masuk penduduk dari satu daerah ke daerah lain. 

Mudik, memang tradisi yang kental dan sudah membudaya di Indonesia. Mudik biasanya lebih dikarenakan dorongan  sosial, ekonomi dan psikologis warga yang melakukannya. 

Dorongan sosial dimaknai sebagai sebuah rutinitas kolektif dan periodik bagi mereka yang biasanya merantau baik alasan kerja, keluarga dan lainnya. Secara dorongan ekonomi, mereka yang merantau sekian tahun lamanya mungkin tidak berjumpa sanak famili di kampung halaman dan dalam merantaunya sukses secara ekonomi terdorong untuk pulang kampung untuk berbagi rezeki yang diperoleh selama kerja di kota atau perantauan. 

Kerinduan untuk berbagi dengan sanak famili dan berjumpa dengan tetangga. Dalam tinjauan psikologi, alam bawah sadar warga untuk mudik juga begitu kental.  Perasaan jiwa akan kerinduan kampung halaman, bertemu orang tua, sanak famili dan tetangga. Pun, kepuasan batin untuk berkumpu bersama keluarga tercinta. 

Faktanya, dua tahun sudah pandemi belum berakhir dan di saat seperti ini mudik menjadi sesuatu yang kontroversi dan dilarang dengan alasan kesehatan, keamanan dan ketertiban dalam upaya mencegah pandemi yang semakin meluas. Tentunya, tahun ini tidak "separah" tahun lalu dimana pemerintah menerapkan lockdown lokal dan regional.

Larangan mudik tahun 2021, sepertinya tidak menyurutkan warga untuk tetap melakukan mudik karena tak sanggup membendung kerinduan akan keluarga di kampung halaman. Tidak terbayangkan memang sebelumnya dalam pikirab kita, bagaimana akan ada kondisi seperti perang, mobilitas warga dibatasi dengan "razia" larangan mudik oleh aparat keamanan TNI dan polisi. Membayangkan mereka yang mudik berjarak jauh di roda dua misalnya dengan membawah keluarga lengkap di motor sambil membawa barang bawaan yang cukup ribet, tetapi harus kembali ke arah pulang, karena tidak berhasil menembus "barikade" razia aparat di perbatasan atau titik-titik pos razia pemudik.  

Mudik memang tidak hanya berbicara sebatas kerinduan secara afeksi biasa. Di dalam mudik juga terkandung niat baik untuk silaturahmi, berbagi, dan mengkohesifkan kembali tali kekeluargaan dan silaturahmi yang tentunya sangat renggang beberapa masa. 

Penulis dapat membayangkan betapa sedihnya mereka yang tidak dapat mudik langsung untuk melepas kerinduan kepada keluarga dan sanak famili. Alat komunikasi semacam video call tidak akan dapat mengobati kerinduan dan komunikasi langsung ketika mereka mudik. Namun demikian, mudik juga di saat pandemi bukannya tidak beresiko. 

Resiko terpapar oleh virus Covid-19 tetap tidak bisa diremehkan atau diabaikan.  Mudik itu identik dengan pergerakan atau mobilitas massal warga, akan sulit untuk menerapkan protokol kesehatan terutama jaga jarak. Kerumunan (crowded) di masa pandemi adalah sebuah pemandangan yang kurang mengenakkan, berbeda dengan dulu pada masa normal sebelum ada pandemi. Kerumunan kini menjadi suatu aktifitas "negatif"  terutama kerumunan yang mengabaikan protokol kesehatan.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun