Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Advokat - Jurnalis

Menulis apa saja yang mungkin dan bisa untuk ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Salus Populi Suprema Lex Esto

25 September 2025   22:43 Diperbarui: 25 September 2025   22:43 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (Kreasi Pribadi)

Salus Populi Suprema Lex Esto(Keselamatan Rakyat Adalah Hukum Tertinggi): Kritik atas Fenomena Keracunan MBG

Ribuan siswa di berbagai daerah mengalami keracunan massal akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG), sebuah kebijakan populis Presiden Prabowo. Data mencatat lebih dari 6.500 anak terdampak, menjadikan peristiwa ini bukan sekadar insiden biasa, tetapi bencana kesehatan yang menyentuh masa depan bangsa. Ironisnya, program ini menelan biaya fantastis, mencapai Rp1,2 triliun per hari dan dengan proyeksi anggaran Rp335 triliun pada tahun 2026. Pertanyaannya, apakah sebuah program yang mengatasnamakan gizi justru rela mengorbankan keselamatan rakyat kecil? Bukankah sejak zaman Romawi dikenal adagium salus populi suprema lex esto --- keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi?

Ketika program besar ini diumumkan, banyak rakyat menaruh harapan akan lahirnya generasi sehat dan cerdas. Namun kenyataan di lapangan membalik ekspektasi: makanan yang seharusnya menyehatkan justru membawa petaka. Ratusan anak muntah, pusing, hingga dilarikan ke rumah sakit, sementara orang tua terjebak antara syukur menerima bantuan dan takut kehilangan buah hati mereka. Di sinilah kontradiksi program populis terlihat gamblang. Keselamatan sebagai asas utama terabaikan demi simbol politik jangka pendek. Rakyat dijadikan laboratorium kebijakan.

Biaya fantastis Rp335 triliun yang dianggarkan untuk MBG pada 2026 sungguh tidak kecil. Angka itu lebih besar dari anggaran sejumlah kementerian vital jika digabungkan. Namun bagaimana mungkin dana sebesar itu dialirkan ke program yang belum matang dari sisi pengawasan dan distribusi? Apalagi, kasus keracunan ini membuktikan bahwa rantai logistik makanan bergizi gratis masih sangat rapuh. Lalu, apakah pemerintah serius menghitung risiko atau sekadar terburu-buru menunjukkan prestasi politik?

Fakta lapangan menunjukkan lemahnya kontrol mutu makanan. Penyedia jasa katering dipilih tanpa standar ketat, bahkan beberapa kasus memperlihatkan praktik asal tunjuk demi mempercepat distribusi. Di balik jargon gizi gratis, tersembunyi bisnis besar yang melibatkan jaringan kontraktor makanan. Kesalahan sedikit saja dalam distribusi bisa berdampak fatal pada ribuan anak. Inilah bukti bahwa ketika program populis berjalan tanpa fondasi regulasi kuat, rakyatlah yang menjadi korban.

Kita tidak menolak program pemenuhan gizi bagi anak bangsa, sebab itu kebutuhan fundamental. Namun cara pelaksanaannya harus rasional, terukur, dan berorientasi pada keselamatan. Program ini seperti membangun rumah di atas pasir: megah di mata, rapuh di pijakan. Pemerintah seolah lebih mementingkan pencitraan ketimbang akuntabilitas. Jika setiap hari harus menghabiskan Rp1,2 triliun untuk makanan yang berpotensi membahayakan, maka ini adalah bentuk pengabaian terhadap akal sehat. Bukankah lebih bijak memperbaiki mekanisme terlebih dahulu?

Model pelaksanaan MBG dengan pola makan siap saji untuk semua siswa jelas tidak memenuhi asas keadilan, karena anak-anak dari keluarga mampu ikut menerima manfaat yang sejatinya ditujukan bagi kelompok miskin dan rentan. Program ini pada dasarnya adalah program sosial dengan tujuan intervensi gizi, namun implementasinya bergeser menjadi populis massal tanpa diferensiasi sasaran. Akibatnya, dana negara yang sangat besar justru terdistribusi tidak tepat guna, dan esensi intervensi gizi menjadi kabur. Pemerataan semu seperti ini menimbulkan ilusi keadilan, padahal ketidakadilan justru semakin nyata. Jika asas keadilan diabaikan, program sebesar MBG berpotensi melahirkan inefisiensi sekaligus pemborosan APBN. Bukankah lebih bijak menyalurkan bantuan kepada mereka yang benar-benar membutuhkan?

Dalam setiap tragedi keracunan, kita menyaksikan wajah muram para orang tua. Mereka merasa tidak berdaya, karena suara mereka tenggelam oleh megahnya narasi politik. Anak-anak yang semestinya menjadi subjek perlindungan justru menjadi objek eksperimen. Tidak ada yang bisa mengganti trauma seorang anak setelah mengalami keracunan massal. Luka batin itu jauh lebih dalam daripada sekadar sakit fisik. Pada titik ini, rakyat kecil seolah hanya angka statistik dalam laporan pemerintah.

Dampak keracunan MBG juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Anak-anak yang pernah menjadi korban bisa mengalami trauma mendalam sehingga enggan berangkat ke sekolah. Ketakutan mereka akan makanan gratis yang dibagikan negara membuat konsentrasi belajar terganggu. Pendidikan yang seharusnya menjadi ruang aman berubah menjadi arena ketakutan. Dalam jangka panjang, ini bisa menghambat perkembangan psikologis dan intelektual generasi muda. Trauma itu akan menjadi beban tak kasat mata yang diwariskan kepada bangsa.

Refleksi filosofis mengajarkan bahwa hukum tertinggi adalah melindungi manusia. Namun dalam kasus MBG, adagium ini terjungkal di hadapan ambisi kekuasaan. Program populis sering kali menipu, sebab ia lebih mengutamakan simbol ketimbang substansi. Apa artinya memberi makan gratis jika prosesnya membahayakan? Apa gunanya gizi jika justru menjadi racun? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menggugah nurani kita untuk tidak sekadar diam.

Tambahan solusi lain yang lebih konkret adalah mengubah skema MBG menjadi pemberian bahan makanan bergizi kepada keluarga miskin dan rentan kurang gizi yang sudah terverifikasi dalam  Dengan cara ini, distribusi lebih mudah dikontrol, kualitas gizi lebih terjamin, dan risiko keracunan massal dapat diminimalkan. Orang tua juga dapat mengolah makanan sesuai kebutuhan anak, sehingga aspek higienis lebih terjaga. Pola ini sekaligus menumbuhkan tanggung jawab keluarga dalam pemenuhan gizi anak. Jika dijalankan konsisten, model ini akan jauh lebih efektif dibanding sekadar bagi-bagi makanan siap saji.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun