Ada Apa Dibalik Dukungan 2 Periode dari Jokowi untuk Prabowo? : Pragmatisme Politik yang Melukai Demokrasi
Fenomena dukungan dua periode bagi Prabowo-Gibran dari relawan Jokowi muncul di ruang publik dengan cukup mengejutkan. Pernyataan ini dianggap wajar oleh sebagian, namun bagi yang kritis hal ini menimbulkan banyak pertanyaan. Mengapa sebuah dukungan yang seharusnya menjadi hasil evaluasi baru diumumkan jauh sebelum waktunya? Apalagi Pilpres 2029 masih berjarak empat tahun lagi. Deklarasi semacam ini tentu menimbulkan tafsir politis yang beragam. Publik perlu jeli membaca apa yang sesungguhnya sedang dimainkan di balik narasi dukungan ini.
Relawan Jokowi, termasuk Projo, menyebut bahwa dukungan ini sebenarnya sudah ada bahkan sebelum Pilpres 2024. Jokowi sendiri mengaku memang telah memberi arahan agar relawan mendukung Prabowo-Gibran hingga dua periode. Narasi ini seolah ingin menegaskan bahwa keputusan tersebut bukan dadakan, melainkan hasil konsolidasi jangka panjang. Namun, pernyataan baru diangkat secara terbuka sekarang, saat dinamika politik dalam kabinet tengah panas. Momen ini patut dicurigai sebagai sinyal politik tertentu. Apalagi bertepatan dengan reshuffle kabinet yang menggusur sejumlah orang dekat Jokowi.
Reshuffle kabinet memang menjadi titik sensitif bagi Jokowi dan timnya. Sejumlah menteri yang dianggap sebagai loyalis Jokowi tidak lagi mendapat tempat di lingkaran inti pemerintahan Prabowo. Bagi publik, reshuffle mungkin terlihat sebagai urusan teknis kinerja. Namun dalam politik, setiap pergantian pejabat tinggi pasti mengandung dimensi kekuasaan. Jokowi tentu membaca situasi ini sebagai pengurangan pengaruhnya dalam pemerintahan. Dukungan dua periode bisa dibaca sebagai bentuk penegasan eksistensi dan posisi tawar Jokowi.
Secara demokratis, dukungan semacam ini menimbulkan masalah serius. Demokrasi menuntut adanya evaluasi periodik terhadap kinerja pemimpin. Seharusnya Prabowo-Gibran terlebih dahulu diuji oleh rakyat dalam lima tahun pertama. Dukungan untuk dua periode yang diumumkan dini justru menutup ruang evaluasi itu. Ini bisa menggeser demokrasi menjadi semacam kesepakatan elit yang memandulkan partisipasi rakyat. Demokrasi tanpa evaluasi hanyalah formalitas belaka.
Publik juga melihat adanya potensi normalisasi politik dinasti dalam narasi ini. Dengan menekankan nama Gibran sejak awal untuk dua periode, ada kesan kuat bahwa kepentingan keluarga Jokowi sedang diamankan. Gibran tidak lagi diposisikan sebagai figur independen yang diuji oleh kinerja, melainkan bagian dari strategi pelanggengan kekuasaan. Hal ini tentu berbahaya karena dapat mengikis prinsip kesetaraan kesempatan dalam politik. Dinasti yang dibiarkan berkembang hanya akan melahirkan oligarki baru. Oligarki inilah yang kerap menjadi lawan utama demokrasi yang sehat.
Fungsi relawan dalam konteks demokrasi semestinya adalah pengawal kebijakan publik. Mereka harus mengingatkan pemerintah jika ada penyimpangan atau kebijakan yang merugikan rakyat. Namun ketika relawan dikunci dalam komitmen politik jangka panjang, peran kritis mereka lenyap. Alih-alih mengawasi, mereka justru menjadi alat legitimasi politik semata. Dengan begitu, suara rakyat yang seharusnya diwakili relawan berubah menjadi gema kepentingan elite. Ini merupakan penyimpangan dari semangat demokrasi partisipatif.
Pragmatisme politik yang telanjang seperti dukungan dini dua periode dari Jokowi untuk Prabowo-Gibran jelas melukai demokrasi. Alih-alih menunggu evaluasi kinerja, politik dijadikan alat untuk mengamankan kepentingan jangka panjang elite. Rakyat diposisikan sebagai pengikut pasif yang tidak memiliki ruang untuk menilai secara kritis. Akuntabilitas pemimpin tergeser oleh janji dukungan yang sudah dikunci sebelum bukti kerja nyata muncul. Fenomena ini juga memberi keuntungan strategis bagi Gibran, memperkuat agenda dinasti yang seharusnya tidak ada dalam demokrasi sehat. Logika politik semacam ini menormalisasi politik keluarga dan mengurangi peluang kader independen atau alternatif muncul. Dengan kata lain, demokrasi menjadi formalitas tanpa kontrol publik yang sejati. Jika dibiarkan, budaya politik transaksional ini akan makin mengakar dan mengekang partisipasi rakyat yang seharusnya menentukan arah negara.
Ada yang berargumen bahwa dukungan dua periode penting untuk stabilitas pemerintahan. Mereka menilai bahwa program jangka panjang membutuhkan kesinambungan kepemimpinan. Namun argumen ini lemah jika disampaikan terlalu dini. Bagaimana mungkin stabilitas dijadikan alasan sebelum evaluasi kinerja dilakukan? Stabilitas yang sejati hanya lahir dari legitimasi rakyat, bukan kesepakatan elit. Demokrasi harus memberi ruang bagi rakyat untuk menilai, bukan hanya menerima hasil pengaturan politik di atas.
Dari sisi politik praktis, dukungan dini ini juga merupakan cara konsolidasi basis. Relawan yang sejak awal diarahkan untuk mendukung hingga dua periode tentu akan bergerak lebih awal. Konsolidasi dini memberi keuntungan politik berupa penguasaan narasi. Namun konsekuensinya adalah berkurangnya ruang diskusi tentang visi dan alternatif lain. Pemilu akhirnya kehilangan esensinya sebagai arena kompetisi gagasan. Publik hanya dipaksa menerima pilihan yang sudah dikunci oleh elite.
Fenomena ini juga menunjukkan bagaimana politik Indonesia masih dikuasai logika kekuasaan jangka panjang. Bukan soal kinerja hari ini, tetapi tentang bagaimana mengamankan posisi hingga beberapa tahun ke depan. Jokowi, melalui relawan, tampak berupaya menjaga agar pengaruhnya tidak lenyap begitu saja. Dengan mendukung dua periode, ia seakan menitipkan kelangsungan politik Gibran sekaligus memastikan posisinya tetap relevan. Narasi ini lebih mencerminkan kepentingan elite daripada kepentingan rakyat. Demokrasi pun kembali terjebak dalam lingkaran kepentingan segelintir orang.