Tanpa Rasa Malu KPU Terpaksa Melepas Karpet Merah untuk Gibran
Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025 tentang Penetapan Dokumen Persyaratan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai Informasi Publik yang Dikecualikan memicu kontroversi besar di masyarakat. Aturan tersebut menetapkan bahwa 16 dokumen syarat pencalonan, termasuk ijazah, tidak bisa diakses publik kecuali jika pemiliknya mengizinkan. Keputusan ini ditandatangani Ketua KPU Afifuddin pada 21 Agustus 2025 dan langsung menuai gelombang protes. DPR RI melalui Komisi II, dipimpin Rifqinizamy Karsayuda, mengkritik keras keputusan tersebut, menyebutnya merusak transparansi dan bertentangan dengan UU Keterbukaan Informasi Publik No. 14 Tahun 2008. Warga di berbagai daerah juga menyuarakan kekecewaan, baik melalui aksi protes di depan kantor KPU maupun lewat media sosial dengan tagar #BukaDokumenCapres yang sempat ramai. Tekanan dari DPR dan masyarakat sipil akhirnya memaksa KPU mencabut keputusan kontroversial tersebut.
Langkah KPU itu jelas menunjukkan betapa rendahnya standar etika yang dipraktikkan lembaga negara. Seolah tanpa rasa malu, KPU berani mengambil sikap yang merusak kepercayaan publik terhadap demokrasi. Padahal, kepercayaan publik adalah modal utama bagi sebuah pemilu yang sehat. Tindakan tersebut menandakan bahwa demokrasi kita tidak dijaga dengan tulus, tetapi justru dipermainkan. Rasa malu politik yang seharusnya jadi benteng moral sudah lama terkikis. Apa yang dilakukan KPU mencerminkan betapa pragmatisnya wajah politik Indonesia saat ini.
Kecurigaan publik semakin menguat karena langkah KPU dianggap bagian dari upaya sistematis untuk memuluskan jalan Gibran. Dalam Pilpres 2024, publik masih mengingat bagaimana Mahkamah Konstitusi memberi jalan pintas dengan meloloskan batas usia. Putusan itu kala itu dipimpin Anwar Usman, ipar Presiden Jokowi, sehingga dugaan keberpihakan kian sulit dibantah. Kini, ketika ijazah Gibran sedang dipersoalkan, muncul kekhawatiran jalur hukum yang sama akan kembali ditempuh. Semua pola ini menimbulkan kesan bahwa hukum dan institusi negara bisa dijadikan alat politik. Demokrasi pun kian terjerat oleh praktik-praktik elitis.
Preseden MK pada 2023 menjadi catatan kelam bagi perjalanan demokrasi kita. Dengan alasan formil, MK mengubah aturan demi satu orang kandidat. Publik saat itu sudah melihat betapa absurditas hukum dipraktikkan tanpa malu-malu. Sejak momen itu, legitimasi MK sebagai penjaga konstitusi mulai runtuh. Kini, ketika KPU ikut bermain dalam aturan yang janggal, publik semakin tidak percaya. Rakyat merasa institusi negara telah berkolaborasi dengan kekuasaan untuk melanggengkan dinasti.
KPU sejatinya adalah wasit netral yang harus memastikan semua kandidat diperlakukan sama. Namun dengan aturan rahasia dokumen itu, KPU justru menunjukkan keberpihakan yang mencolok. Padahal, prinsip keadilan dan keterbukaan menjadi dasar pemilu yang sehat. Jika lembaga penyelenggara saja sudah bermain politik, bagaimana rakyat bisa berharap pada hasil pemilu yang jujur? Netralitas KPU kini dipertanyakan oleh banyak kalangan, baik akademisi, praktisi, maupun masyarakat sipil. Yang menyedihkan, KPU seakan tidak menyadari bahwa setiap kebijakannya berimplikasi langsung pada legitimasi demokrasi.
Munculnya protes dari berbagai pihak, termasuk DPR RI, menandakan bahwa langkah KPU terlalu berlebihan. Komisi II DPR menuding keputusan itu merusak transparansi dan bertentangan dengan prinsip keterbukaan informasi publik. Di luar parlemen, warga juga bereaksi keras, mulai dari aksi protes di depan kantor KPU hingga kampanye digital dengan tagar #BukaDokumenCapres yang ramai di media sosial. Gelombang kritik ini membuat aturan tersebut terpaksa dicabut. Namun, pencabutan itu bukan tanda bahwa KPU sadar, melainkan bukti bahwa mereka kalah oleh tekanan. Publik justru semakin yakin bahwa ada agenda tersembunyi di balik keputusan awal tersebut.
Pertanyaan besar yang mengemuka adalah: mengapa jalan bagi Gibran terus dipaksakan sejak jauh hari? Kontestasi 2029 masih sangat jauh, namun persiapan untuk melapangkan jalannya tampak begitu serius. Dugaan bahwa dinasti politik Jokowi ingin mengamankan kekuasaan untuk jangka panjang semakin menguat. Ini menimbulkan kesan bahwa demokrasi hanya dijadikan kendaraan bagi segelintir elite. Rakyat, dalam kondisi seperti ini, hanya diposisikan sebagai penonton. Ironisnya, semua dijalankan atas nama demokrasi.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa demokrasi Indonesia sedang dalam krisis etika yang mendalam. Lembaga-lembaga yang seharusnya menjaga demokrasi justru menjadi aktor perusak. Tidak ada lagi rasa malu untuk menunjukkan keberpihakan terang-terangan. Hukum dan regulasi dipelintir sesuai kepentingan kekuasaan. Publik dipaksa menelan kenyataan bahwa suara mereka hanya sekadar formalitas. Demokrasi kehilangan maknanya sebagai ruang partisipasi rakyat yang sejati.
Kekecewaan publik semakin terasa karena rakyat sadar bahwa permainan politik ini bukan hanya soal Gibran. Lebih dari itu, ini adalah pola yang bisa terus diulang oleh penguasa manapun di masa depan. Ketika jalan pintas dan privilese dijadikan standar, maka kontestasi politik tidak lagi fair. Pemimpin lahir bukan dari kompetisi gagasan, tetapi dari rekayasa aturan. Dengan demikian, demokrasi hanya tinggal simbol kosong. Legitimasi pemilu pun rapuh sejak awal.
Dalam situasi ini, kritik tajam dari masyarakat sipil dan media menjadi sangat penting. Tanpa kritik, KPU dan MK bisa terus merasa bebas melanggar etika tanpa rasa malu. Tekanan publik terbukti bisa memaksa lembaga negara mencabut kebijakan yang merusak. Namun, perjuangan tidak berhenti di situ. Masyarakat harus terus waspada agar demokrasi tidak sepenuhnya dikooptasi oleh kepentingan dinasti. Kesadaran kritis menjadi senjata terakhir rakyat untuk menjaga kedaulatan politiknya.