Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Advokat - Jurnalis

Menulis apa saja yang mungkin dan bisa untuk ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Pangkat Kehormatan dan Kedekatan Politik: Menguji Integritas Tata Kenegaraan

10 Agustus 2025   18:13 Diperbarui: 10 Agustus 2025   18:13 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (NtvNews.id)

Pangkat Kehormatan dan Kedekatan Politik: Menguji Integritas Tata Kenegaraan

Pemberian gelar kehormatan kepada tokoh yang memiliki hubungan personal atau politik dekat dengan kepala negara selalu memicu perdebatan publik. Kasus terbaru adalah penganugerahan pangkat kehormatan jenderal bintang empat kepada Sjafrie Sjamsoeddin, tokoh militer senior sekaligus orang dekat Presiden Prabowo Subianto. 

Penganugerahan Jenderal Kehormatan Bintang 4 ini dilakukan dalam acara 'Gelar Pasukan Operasional dan Kehormatan Militer' di Pusdiklatpassus Kopassus, Batujajar, Bandung Barat, Minggu (10/8/2025).

Meski proses ini dibalut legitimasi hukum dan seremoni kenegaraan, pertanyaan yang muncul adalah: apakah penghargaan ini murni berdasarkan jasa objektif, atau ada unsur patronase politik yang membonceng di baliknya?.

1. Meritokrasi yang Tergerus oleh Patronase

Secara normatif, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan menegaskan bahwa penganugerahan tanda kehormatan atau pangkat militer harus diberikan atas dasar jasa nyata, prestasi, atau pengabdian luar biasa kepada bangsa dan negara. Namun, dalam hal penghargaan Sjafrie Sjamsoeddin, publik sulit mengabaikan fakta bahwa ia adalah teman seangkatan Presiden Prabowo Subianto di Akmil 1974 dan telah memiliki hubungan pribadi serta profesional yang sangat dekat selama puluhan tahun. Kedekatan ini tidak hanya terjalin di dunia militer, tetapi juga dalam panggung politik, termasuk dukungan terbuka Sjafrie kepada Prabowo dalam Pilpres 2024 sebelum akhirnya diangkat menjadi Menteri Pertahanan.

Dengan konteks ini, persepsi publik mengarah pada dugaan bahwa penghargaan tersebut bukan sekadar pengakuan atas jasa militer masa lalu, tetapi juga bagian dari patronase politik yang menguatkan jejaring kekuasaan. Di sinilah meritokrasi, yang seharusnya menjadi pilar dalam pemberian gelar kehormatan, terancam tergeser oleh logika balas budi dan loyalitas personal.

1. Meritokrasi yang Tergerus oleh Patronase

Secara normatif, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan menegaskan bahwa penganugerahan tanda kehormatan atau pangkat militer harus diberikan atas dasar jasa nyata, prestasi, atau pengabdian luar biasa kepada bangsa dan negara. Namun, ketika penerimanya adalah sosok yang punya hubungan pribadi atau politik erat dengan presiden, publik berhak mempertanyakan objektivitas penilaian. Apalagi, di ruang publik, persepsi sering kali lebih kuat dari prosedur hukum.

Dalam konteks ini, meritokrasi, yakni penghargaan berdasarkan prestasi dan kompetensi, berpotensi tergeser oleh patronase politik, di mana kedekatan menjadi faktor penentu utama.

2. Preseden yang Merusak Institusi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun