Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Advokat - Jurnalis

Menulis apa saja yang mungkin dan bisa untuk ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Inflasi Akademik dan Deflasi Kompetensi : Krisis Kualitas Sarjana Indonesia

14 Juli 2025   13:03 Diperbarui: 14 Juli 2025   13:03 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Inflasi Akademis dan Deflasi Kompetensi: Krisis Kualitas Sarjana Indonesia 

Pendahuluan: Ironi Akademik di Negeri yang Haus Gelar

Indonesia sedang mengalami fenomena yang ironis dan paradoksal. Di satu sisi, masyarakat kita semakin antusias mengejar pendidikan tinggi. Jumlah perguruan tinggi menjamur, gelar akademik diburu, dan status "sarjana" menjadi simbol mobilitas sosial dan kehormatan keluarga. Bahkan di ruang-ruang birokrasi, politik, dan sosial, gelar akademik, dari S1 hingga doktor honoris causa, menjadi atribut yang memperkuat pengaruh dan reputasi seseorang. Kita hidup di zaman ketika gelar lebih dihargai daripada isi kepala, dimana selembar kertas yang bernama ijazah lebih penting daripada manusia sejati.

Namun, di balik euforia gelar dan maraknya predikat cum laude, tersimpan kekosongan mendasar: kompetensi lulusan perguruan tinggi justru semakin diragukan. Para sarjana banyak yang tidak siap memasuki dunia kerja, tidak mampu memecahkan masalah sederhana, dan gagap dalam berpikir kritis. Maka terjadilah inflasi nilai akademik, di mana angka-angka tinggi pada transkrip tidak lagi mencerminkan kualitas berpikir dan keterampilan riil. Bersamaan dengan itu, terjadi pula deflasi kompetensi, yakni penurunan tajam dalam penguasaan keahlian yang relevan, baik teknis maupun konseptual.

Fenomena ini bukan sekadar masalah di dunia pendidikan, melainkan gejala dari krisis yang lebih besar: krisis peradaban akademik. Dunia kampus yang seharusnya menjadi laboratorium intelektual dan etika, berubah menjadi pabrik gelar dan pusat distribusi "nilai palsu". Proses pembelajaran kehilangan rohnya, dosen diburu administrasi, mahasiswa mengejar kelulusan cepat, dan institusi perguruan tinggi makin terjerat dalam logika industri: menjual jasa pendidikan dengan imbal balik ijazah dan janji masa depan.

Dalam konteks seperti ini, pendidikan tinggi di Indonesia tak ubahnya seperti lembar saham yang nilainya terus dimanipulasi agar tampak sehat di permukaan, padahal rapuh di dalam. Kita sedang menyaksikan ironi akademik dalam bentuk paling telanjang: ketika makin banyak orang bersekolah tinggi, namun makin sedikit yang benar-benar berpikir tinggi.

Sudah waktunya kita bertanya secara jujur dan radikal: untuk apa pendidikan tinggi kita perjuangkan, untuk kemajuan intelektual, atau sekadar untuk simbol status sosial? Karena bila inflasi nilai terus dibiarkan tanpa koreksi sistemik, bangsa ini akan terus memproduksi sarjana yang hanya kuat di lembar ijazah, namun lemah di lapangan kehidupan nyata.

1. Inflasi Akademik: Ketika Nilai Tidak Lagi Mencerminkan Kapasitas

Fenomena inflasi nilai akademik telah menjadi momok terselubung dalam dunia pendidikan tinggi Indonesia. Menurut laporan World Bank (2020), grade inflation adalah kondisi ketika lembaga pendidikan memberikan nilai tinggi secara sistemik tanpa peningkatan sepadan dalam proses maupun capaian pembelajaran. Gejala ini mulai merata, dari kampus elit hingga kampus pinggiran.

Data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mencatat bahwa lebih dari 60% lulusan S1 pada tahun 2022 lulus dengan predikat cum laude, angka yang mencolok dan seolah menggambarkan kemajuan akademik. Namun kenyataannya, sebagian besar lulusan ini tidak mampu menunjukkan kompetensi yang proporsional dengan nilai yang tertera di transkrip. Maka muncullah pertanyaan mendasar: apakah yang meningkat adalah mutu, atau sekadar angkanya saja?

Penyebab Inflasi Nilai Akademik:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun