Absurditas Perang: Refleksi Hancurnya Kemanusiaan dalam Perang Rusia-Ukraina dan Gaza
pendahuluan
Perang selalu membawa tragedi kemanusiaan. Dari reruntuhan kota di Ukraina hingga puing-puing Gaza, kita menyaksikan kehancuran yang tidak hanya material tetapi juga spiritual. Perang bukan sekadar adu kekuatan militer, tetapi juga pertarungan antara harapan akan kehidupan yang bermakna dan kenyataan dunia yang tak beraturan.
Dalam konteks ini, pemikiran Albert Camus menjadi sangat relevan. Camus, seorang filsuf Prancis kelahiran Aljazair, adalah salah satu tokoh utama dalam filsafat absurd. Dalam karyanya The Myth of Sisyphus, ia menggambarkan absurditas sebagai kondisi manusia yang terjebak dalam pencarian makna di dunia yang tidak memberikan jawaban yang jelas. Bagi Camus, absurditas bukanlah alasan untuk menyerah, melainkan panggilan untuk memberontak, bukan dalam arti kekerasan fisik, tetapi melalui keberanian untuk terus hidup meskipun dunia tampak tidak masuk akal.
Perang, dalam pandangan Camus, adalah perwujudan konkret dari absurditas tersebut. Ketika manusia berusaha meraih kekuasaan, wilayah, atau keamanan, justru yang terjadi adalah penghancuran nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Di sinilah absurditas perang mencapai puncaknya: manusia yang mencari makna justru menciptakan kehampaan, dan usaha untuk mempertahankan kehidupan justru menghancurkan kehidupan itu sendiri.
Di Ukraina, ribuan nyawa melayang akibat konflik geopolitik yang rumit. Di Gaza, kekerasan terus berulang dalam siklus yang tampaknya tak berujung. Kedua konflik ini bukan hanya soal politik atau militer, tetapi juga perenungan mendalam tentang absurditas dunia yang diciptakan manusia sendiri.
1. Perang dan Ketidakbermaknaan: Sebuah Absurditas
Albert Camus menggambarkan absurditas sebagai kondisi di mana manusia berusaha mencari makna dalam dunia yang acak, tidak beraturan, dan tidak peduli. Dalam bukunya The Myth of Sisyphus, Camus menggambarkan manusia sebagai sosok Sisyphus yang dihukum untuk mendorong batu besar ke puncak bukit, hanya untuk melihatnya jatuh kembali dan mengulang proses tersebut tanpa akhir. Situasi ini menjadi metafora bagi upaya manusia mencari makna di tengah dunia yang tidak memberikan jawaban pasti.
Perang adalah manifestasi konkret dari absurditas tersebut. Ia hadir sebagai konfrontasi brutal antara harapan akan kehidupan yang lebih baik dan realitas dunia yang penuh kekerasan, ambisi, dan kekacauan. Perang menelanjangi kenyataan bahwa apa yang diperjuangkan manusia — kekuasaan, wilayah, dan keamanan — justru menciptakan penderitaan yang tak berkesudahan.
Di Ukraina, absurditas perang terpampang jelas. Ribuan nyawa melayang dalam pertempuran yang dipicu oleh konflik geopolitik antara Rusia dan Barat. Kota-kota yang tadinya menjadi pusat kehidupan kini berubah menjadi puing-puing; gedung-gedung runtuh, sekolah-sekolah kosong, dan keluarga-keluarga terpisah akibat pengungsian. Apa yang semula diklaim sebagai upaya untuk mempertahankan identitas dan kedaulatan justru berujung pada hancurnya identitas itu sendiri. Orang-orang kehilangan rumah, pekerjaan, bahkan sanak saudara. Dalam absurditas ini, para korban tidak memiliki pilihan selain terus bertahan hidup di tengah ketidakbermaknaan.
Di sisi lain, absurditas juga tampak nyata di Gaza, sebuah wilayah yang sudah puluhan tahun terjebak dalam siklus kekerasan. Warga sipil terus menjadi korban konflik yang seakan tidak berujung. Mereka hidup di antara reruntuhan bangunan dan ancaman serangan udara yang bisa terjadi kapan saja.
Dalam absurditas ala Camus, Gaza adalah potret dari Sisyphus yang terus mendorong batu harapan ke puncak, hanya untuk melihatnya jatuh kembali saat serangan baru menghancurkan apa yang baru saja dibangun. Setiap kali upaya rekonstruksi dimulai, kekerasan berikutnya kembali meratakan segala sesuatu hingga ke tanah. Harapan akan perdamaian terus berulang seperti siklus absurd yang tak pernah selesai.