Pengantar
Memasuki tahun 2025, dunia kembali menghadapi ketidakpastian ekonomi global yang dipicu oleh kebijakan tarif proteksionis dan resiprokal yang digaungkan oleh Presiden AS, Donald Trump. Kenaikan tarif impor besar-besaran, termasuk tarif menyeluruh sebesar 10% terhadap seluruh barang impor dan tarif setinggi 60% terhadap produk-produk Tiongkok, telah mengguncang pasar keuangan dunia.
Ketegangan dagang yang pernah menghambat rantai pasok global kini terancam berulang, bahkan dengan skala yang lebih besar. Negara-negara mitra dagang utama Amerika mulai menyusun strategi untuk melindungi diri dari dampak kebijakan “America First” jilid dua, termasuk upaya memperluas penggunaan mata uang non-dolar dalam transaksi bilateral dan multilateral mereka.
Dalam pusaran dinamika itu, satu pertanyaan strategis kembali mencuat:
Mengapa hampir seluruh harga komoditas global, nilai tukar, dan transaksi lintas negara, selalu mengacu pada dolar Amerika Serikat?
Jawabannya tidak sesederhana karena kekuatan ekonomi AS semata. Sejak berakhirnya Perang Dunia II, dunia secara bertahap menempatkan dolar AS sebagai mata uang jangkar (anchor currency) dalam sistem keuangan internasional. Dalam sistem ini, banyak negara menyesuaikan kurs mata uangnya terhadap dolar, bukan karena terpaksa, tetapi karena dolar dianggap stabil, likuid, dan dapat dipercaya sebagai alat penyimpan nilai serta medium pertukaran global.
Kebijakan moneter, neraca perdagangan, dan stabilitas ekonomi domestik di banyak negara bahkan sangat dipengaruhi oleh fluktuasi dolar. Jika dolar menguat, negara-negara dengan utang luar negeri berbasis dolar bisa terpuruk. Sebaliknya, jika dolar melemah, banyak mata uang lain ikut terguncang. Dominasi dolar bukan hanya soal perdagangan, tapi juga menyangkut tatanan kekuasaan global.
Namun kini, dominasi itu menghadapi tantangan. Gerakan de-dollarization mulai menguat, didorong oleh kekhawatiran atas penggunaan dolar sebagai senjata ekonomi dan instrumen sanksi politik. Negara-negara seperti Tiongkok, Rusia, Iran, dan bahkan aliansi BRICS mulai mendorong penggunaan mata uang alternatif.
Tulisan ini mengulas secara runtut lima fondasi utama yang menjadikan dolar AS sebagai mata uang utama dunia, serta bagaimana tekanan geopolitik dan ekonomi mulai mengikis posisinya.
1. Kesepakatan Bretton Woods (1944): Titik Awal Dominasi Dolar
Konferensi Bretton Woods di New Hampshire, Amerika Serikat, pada Juli 1944 menjadi tonggak penting dalam membentuk tatanan ekonomi global baru. Dihadiri oleh 44 negara yang sebagian besar merupakan sekutu Perang Dunia II, konferensi ini bertujuan menciptakan sistem moneter internasional yang stabil untuk mendukung perdagangan dan pembangunan ekonomi pascaperang.
Dari konferensi ini lahirlah keputusan revolusioner: