Disusun  oleh: Rubiana Mugniah Jusuf, Julaila Mukmirawati Sumaali, Nurhikmah Alimuddin, Irvan Usman.
Pernahkah kamu merasa ada sesuatu yang terus mengganggu, tapi kamu sendiri tak tahu apa itu? Seperti suara-suara kecil yang berbisik di sudut pikiran, yang seolah tidak pernah berhenti, tapi kamu memilih untuk mengabaikannya. Dalam kehidupan modern yang penuh tekanan dan tuntutan ini, dua hal yang seringkali menjadi "suara kecil" itu adalah stres dan frustrasi. Mereka mungkin tidak selalu tampak nyata, tidak selalu terlihat secara fisik, tapi kehadirannya begitu nyata dalam setiap detik perjalanan hidup kita.
Stres dan frustrasi adalah bagian yang tak terpisahkan dari pengalaman manusia. Mereka bukan sekadar perasaan sesaat, tapi lebih seperti sinyal yang dikirim oleh tubuh dan pikiran ketika kita menghadapi situasi yang sulit atau tak sesuai harapan. Namun, seringkali kita memilih untuk menutup telinga dari suara-suara itu, entah karena kita terlalu sibuk, atau karena kita merasa harus kuat dan menyembunyikan kelemahan. Padahal, mengabaikan mereka bisa berakibat buruk bagi kesehatan mental dan fisik kita.
Bayangkan saat kamu menghadapi tumpukan tugas yang tak kunjung selesai, tenggat waktu yang semakin dekat, atau masalah pribadi yang rumit. Di saat-saat seperti itulah, stres mulai merayap masuk. Ia adalah respon alami tubuh terhadap tekanan bagai sebuah alarm internal yang memberi tahu kita bahwa ada sesuatu yang perlu dihadapi. Pada awalnya, stres bisa membuat kita lebih fokus, lebih waspada, dan bahkan lebih produktif. Namun jika dibiarkan berlarut-larut tanpa ada jeda, stres berubah menjadi beban yang melelahkan, menggerogoti semangat dan kesehatan kita.
Tidak jauh dari stres, ada frustrasi yang muncul saat harapan dan kenyataan tidak berjalan seiring. Frustrasi adalah perasaan putus asa yang datang ketika segala usaha yang kita lakukan tampak sia-sia, dan kita merasa terjebak tanpa jalan keluar. Misalnya, saat kita berusaha keras mencapai sesuatu, namun rintangan terus menghadang dan hasilnya tidak sesuai ekspektasi. Perasaan kecewa dan marah pun menyusul, membuat kita merasa terkucil dan lelah secara emosional.
Menariknya, baik stres maupun frustrasi ini seringkali menjadi "suara kecil" yang tak kita dengar dengan baik. Kita terlalu sibuk dengan aktivitas harian, terlalu fokus pada target dan pencapaian, sehingga lupa memberi waktu untuk mendengarkan apa yang sebenarnya tubuh dan pikiran kita coba komunikasikan. Apalagi, masih banyak stigma tentang membicarakan masalah kesehatan mental di masyarakat kita. Banyak orang menganggap mengeluh atau merasa stres itu tanda kelemahan, sehingga lebih memilih menutup rapat-rapat perasaan mereka.
Padahal, pengabaian terhadap stres dan frustrasi justru berbahaya. Saat suara-suara kecil ini tidak didengarkan dan dikelola dengan baik, mereka dapat tumbuh menjadi masalah besar yang mengganggu kesehatan mental bahkan fisik. Banyak kasus gangguan kecemasan, depresi, atau burnout yang bermula dari stres dan frustrasi yang tidak tertangani sejak dini. Ini adalah peringatan bagi kita semua untuk mulai peduli dan peka terhadap kondisi batin kita sendiri.
Lalu, bagaimana kita bisa menghadapi stres dan frustrasi yang datang silih berganti? Pertama, kita harus belajar mengenali tanda-tanda awalnya. Bisa berupa perubahan mood yang drastis, mudah merasa lelah, sulit tidur, atau kehilangan semangat. Menyadari gejala-gejala ini adalah langkah awal agar kita tidak terlena dan membiarkan masalah membesar.
Kedua, jangan takut untuk berbicara dan mencari dukungan. Memiliki seseorang untuk diajak berbagi, entah itu keluarga, sahabat, atau profesional seperti psikolog yang dapat meringankan beban pikiran. Percaya bahwa kita tidak sendirian adalah obat ampuh untuk melawan tekanan batin.
Ketiga, kita perlu mengatur waktu dan prioritas dengan baik. Kadang, stres datang karena kita merasa kewalahan dengan banyaknya hal yang harus dilakukan sekaligus. Dengan membuat jadwal yang realistis dan memberi ruang untuk istirahat, kita membantu tubuh dan pikiran tetap seimbang.