Oleh: Nazhifah Adawiyah Nur
Di tengah riuhnya demonstrasi yang menyuarakan aspirasinya di muka publik, sebuah nyawa terenggut secara tragis. Affan Kurniawan, pengemudi ojek online, bukan sebagai massa aksi, melainkan mencari nafkah, dilindas kendaraan taktis (rantis) Brimob pada malam yang melemparkan tanya. Seberapa jauh kita akan membiarkan aparat yang berseragam memanggul senjata dalam hal ini kendaraan tempur tanpa sekat pertanggungjawaban moral, hukum, dan kemanusiaan?
Kejadian tersebut memancing kemarahan publik, bukan semata karena korban hanyalah warga sipil, tetapi karena prosedur pengaman massa yang idealnya melindungi hak hidup warga tampak justru mengalami pelanggaran nyata dalam penggunaan kekuatan yang tidak hanya agresif, tetapi juga diduga melewati batas-batas SOP kepolisian. Kejelasan dan keadilan dalam proses penyidikan menjadi saksi bisu, yang kini menuntut respons bukan hanya dari masyarakat umum, tetapi dari institusi negara yang memegang kewenangan.
Akuntabilitas bukanlah jargon kosong dalam dokumen hukum, melainkan pilar esensial negara demokrasi yang mengklaim melindungi rakyatnya. Namun, timbul pertanyaan: siapa yang akan memanggil aparat ke meja pertanggungjawaban apakah melalui proses internal, keadilan pidana, atau lembaga eksternal seperti Komnas HAM? Kasus Affan tidak bisa dilihat sebagai kecelakaan dalam demonstrasi, melainkan sebagai panggilan untuk menguji batas-batas kekuasaan aparatur negara. Apakah mereka tunduk pada hukum dan HAM, atau menjadi kekuatan yang bertindak tanpa dicek dan diseimbangkan?
Pada malam 28 Agustus 2025, rantis Brimob melaju di tengah kerumunan di Pejompongan, Jakarta Pusat, menabrak dan kemudian melindas Affan, meski ia bukan bagian dari massa aksi. Peristiwa ini menunjukkan adanya potensi pelanggaran SOP pengendalian massa serta tata kelola keamanan yang lemah: kecepatan kendaraan taktis, penilaian risiko terhadap warga sekitar, serta pengawasan atas tindakan aparat.
Dalam kasus ini, Divisi Propam Mabes Polri telah menetapkan tujuh orang di dalam mobil Brimob sebagai terduga pelanggar kode etik, dan Komnas HAM menghimpun bukti seperti rekaman CCTV serta dokumen komunikasi aparat untuk memperjelas rangkaian kejadian. Namun, tuntutan publik bukan hanya soal siapa yang salah, melainkan sistem apa yang memungkinkan kesalahan demikian terjadi. Kondisi ini membuat keyakinan publik terhadap lembaga penegak hukum terus dipertanyakan, bukan hanya dalam kasus ini, tetapi sebagai indikasi gagalnya sistem akuntabilitas aparat dalam menjaga keselamatan warga sipil di ruang publik.
Akuntabilitas di sini mencakup pertanggungjawaban hukum, etika, dan moral. Bila aparat tidak menjalankan prosedur, atau bila SOP tidak dipegang teguh, maka legitimasi kekuasaan mereka terancam apalagi kalau korban adalah warga sipil yang tidak terlibat dalam aksi massa. Kasus Affan menjadi acuan: bagaimana mekanisme akuntabilitas di Polri? Apakah ada pertanggungjawaban penuh, dan apakah warga sipil memperoleh keadilan? Apabila publik tetap menjadi pengamat pasif tanpa kontrol atas proses, maka tragedi seperti nasib Affan berpotensi berulang, dan legitimasi negara sebagai penjaga keamanan dan keadilan akan tergerus.
Kasus Affan Kurniawan bukanlah satu-satunya tragedi ketika aparat negara menggunakan kendaraan atau tenaga keamanan secara fatal terhadap warga sipil di tengah konflik sipil atau demonstrasi. Di luar negeri, misalnya kasus Leneal Frazier di Minneapolis, AS (2021), di mana mobil patroli polisi yang mengejar pelaku kejahatan menabrak dan membunuh seseorang yang tidak terlibat. Masalah penggunaan kendaraan polisi sebagai alat penegakan hukum sangat berisiko bila tidak diatur dengan sangat ketat.
Apakah tragedi ini akan diingat sebagai "kecelakaan tragis" atau sebagai titik balik untuk menata kembali hubungan antara warga dan aparat?
Jalan ke depan adalah memastikan bahwa tragedi tersebut melahirkan reformasi nyata dari transparansi proses hukum hingga revisi kebijakan penggunaan kendaraan taktis dalam operasi pengamanan. Dengan cara itu, kepercayaan publik dapat dipulihkan, dan nyawa Affan benar-benar memberi makna bagi perbaikan institusi.