Mohon tunggu...
Rublikpol
Rublikpol Mohon Tunggu... Lembaga Diskusi Kampus

📍 Jakarta, Indonesia | 🎓 Founded at FISIP UIN Syarif Hidayatullah | 🎙️ Voice of Critical Politics Rublikpol (Ruang Publik Politik) is a youth-driven socio-political media organization committed to enriching Indonesia’s public discourse. Founded in 2016 within the Faculty of Social and Political Sciences at UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rublikpol has grown into a vibrant space for critical dialogue, political literacy, and civic engagement. 🎯 Our Mission To ignite critical thinking and foster informed discussions on politics, society, and governance—bridging academia, grassroots perspectives, and youth activism through accessible content and community-driven events. 💡 What We Do 1. Interactive Forums & Events - From our flagship *Publik Berbisik* series (where politics meets music and art) to academic discussions and open forums. 2. Multimedia Content – Thought-provoking podcasts, infographics, and political explainers for digital natives. 3. Grassroots Political Education – Training, workshops, and content aimed at strengthening democratic values among young voters and students. We’re not just talking about politics—we're building a generation that critically engages with it.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pasang Surut Reformasi Polri: Jangan Hanya Sekedar Basa-Basi

25 September 2025   10:16 Diperbarui: 25 September 2025   10:16 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
POLRI -- Ilustrasi Kepolisian RI saat menangani demonstrasi massa. (Antaranews.com)

Oleh: Fattah Holmes (Abdul Fattah)

Sejak Polri resmi dipisah dari ABRI (kini TNI) pada tahun 1999, wacana reformasi kepolisian selalu menjadi topik hangat dalam pembicaraan publik Indonesia. Mengingat, publik menaruh harapan agar Polri benar-benar dapat bertransformasi menjadi lembaga yang profesional, modern, dan tepercaya. Maka reformasi ini dimaksudkan agar Polri dapat menjalankan fungsi utamanya secara seimbang yaitu: melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat, serta menegakkan hukum dengan adil tanpa diskriminasi.

Namun dalam kenyataannya, agenda tersebut kerap kali tersendat: ada kemajuan di satu sisi, namun mundur di sisi lain. Kultur represif, rendahnya akuntabilitas, hingga maraknya kerendahan moral pada oknum anggota kepolisian, kian menjadi penyebabnya. Dengan kata lain, reformasi Polri kini menjadi 'pekerjaan rumah besar' yang menyisakan tanda tanya kelanjutannya hingga kini.

Wafatnya Affan: Sebuah Simbol Kegagalan Sistemik

Momentum terbaru yang menghidupkan kembali wacana reformasi Polri adalah tragedi kematian Affan Kurniawan, seorang driver ojek online berusia 21 tahun yang tewas terlindas rantis Brimob saat rangkaian demonstrasi di Jakarta (28 Agustus 2025 lalu). Affan bukan peserta aksi, melainkan hanya kebetulan sedang bekerja mengantar pesanan. Sontak saja, kasus ini berubah menjadi kemarahan publik, karena dilihat sebagai simbol kegagalan Polri dalam menjamin keselamatan warga sipil dan mengendalikan aparat di lapangan.

Meski tujuh anggota Brimob (sebagai pelaku) sudah disidangkan, namun publik menuntut agar kasus ini tidak berhenti pada individu saja, melainkan juga menyasar kepada akar persoalan institusinya.

Gelombang Demonstrasi dan Munculnya Tuntutan Rakyat

Seperti yang tadi sudah disampaikan oleh penulis, bahwa kematian Affan Kurniawan ini lantas menyulut demonstrasi yang lebih besar dari berbagai elemen seperti: kaum buruh, mahasiswa, aliansi ojek online, sampai kalangan masyarakat sipil. Tuntutan mereka semua ini konsisten:

  • Usut tuntas tragedi kematian Affan dengan mekanisme hukum yang transparan.
  • Hentikan budaya represif aparat dalam penanganan aksi massa.
  • Laksanakan "reformasi Polri" secara menyeluruh, yang bisa dimulai dari pencopotan Kapolri. Artinya bukan hanya sekadar 'kosmetik' belaka.

Berangkat dari hal ini, lantas ini menjadi tekanan serius bagi pemerintahan Presiden Prabowo. Karena, publik menilai kasus Affan ini hanyalah tip of the iceberg (puncak gunung es) dari tumpukan masalah-masalah lama pada institusi Polri itu sendiri, seperti: impunitas, kultur kekerasan, dan lemahnya pengawasan internal maupun eksternal.

Respons Istana: Bentuk Komite Reformasi Kepolisian

Sebagai respons, Presiden Prabowo Subianto membentuk yang namanya "Komite Reformasi Polri". Sementara itu, beberapa nama mulai muncul di publik, seperti:

  • Komjen Pol (Purn) Ahmad Dofiri, yang sudah ditunjuk sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Reformasi Polri, memunculkan spekulasi ia akan menjadi figur sentral tim.
  • Mohammad Mahfud Mahmodin (Mahfud MD), mantan Menko Polhukam, yang sudah memutuskan untuk siap bergabung dalam tim komite tersebut. Pihak Istana juga sudah mengonfirmasi dengan adanya kabar itu.

Langkah ini boleh saja dipandang sebagai bentuk keseriusan pemerintah dalam menanggapi persoalan ini. Namun ditengah-tengah itu, muncul kritik: apakah tim ini independen dan punya kewenangan yang nyata, atau hanya sekadar reaksi politik jangka pendek untuk meredam amarah publik?

Kapolri Bentuk Tim Reformasi Polri Sendiri, Berisiko Tumpang Tindih?

Di sisi lain, Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo membentuk juga yang namanya "Tim Transformasi Reformasi Polri" melalui surat perintah (sprin) resmi pada 17 September 2025. Dengan 52 anggota dari perwira tinggi dan menengah, tim ini akan dipimpin oleh Komjen Pol. Chryshnanda Dwilaksana dengan didampingi oleh Wakapolri Komjen Pol. Dedi Prasetyo sebagai penasihatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun