Oleh: Fattah Holmes (Abdul Fattah)
Sejak Polri resmi dipisah dari ABRI (kini TNI) pada tahun 1999, wacana reformasi kepolisian selalu menjadi topik hangat dalam pembicaraan publik Indonesia. Mengingat, publik menaruh harapan agar Polri benar-benar dapat bertransformasi menjadi lembaga yang profesional, modern, dan tepercaya. Maka reformasi ini dimaksudkan agar Polri dapat menjalankan fungsi utamanya secara seimbang yaitu: melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat, serta menegakkan hukum dengan adil tanpa diskriminasi.
Namun dalam kenyataannya, agenda tersebut kerap kali tersendat: ada kemajuan di satu sisi, namun mundur di sisi lain. Kultur represif, rendahnya akuntabilitas, hingga maraknya kerendahan moral pada oknum anggota kepolisian, kian menjadi penyebabnya. Dengan kata lain, reformasi Polri kini menjadi 'pekerjaan rumah besar' yang menyisakan tanda tanya kelanjutannya hingga kini.
Wafatnya Affan: Sebuah Simbol Kegagalan Sistemik
Momentum terbaru yang menghidupkan kembali wacana reformasi Polri adalah tragedi kematian Affan Kurniawan, seorang driver ojek online berusia 21 tahun yang tewas terlindas rantis Brimob saat rangkaian demonstrasi di Jakarta (28 Agustus 2025 lalu). Affan bukan peserta aksi, melainkan hanya kebetulan sedang bekerja mengantar pesanan. Sontak saja, kasus ini berubah menjadi kemarahan publik, karena dilihat sebagai simbol kegagalan Polri dalam menjamin keselamatan warga sipil dan mengendalikan aparat di lapangan.
Meski tujuh anggota Brimob (sebagai pelaku) sudah disidangkan, namun publik menuntut agar kasus ini tidak berhenti pada individu saja, melainkan juga menyasar kepada akar persoalan institusinya.
Gelombang Demonstrasi dan Munculnya Tuntutan Rakyat
Seperti yang tadi sudah disampaikan oleh penulis, bahwa kematian Affan Kurniawan ini lantas menyulut demonstrasi yang lebih besar dari berbagai elemen seperti: kaum buruh, mahasiswa, aliansi ojek online, sampai kalangan masyarakat sipil. Tuntutan mereka semua ini konsisten:
- Usut tuntas tragedi kematian Affan dengan mekanisme hukum yang transparan.
- Hentikan budaya represif aparat dalam penanganan aksi massa.
- Laksanakan "reformasi Polri" secara menyeluruh, yang bisa dimulai dari pencopotan Kapolri. Artinya bukan hanya sekadar 'kosmetik' belaka.
Berangkat dari hal ini, lantas ini menjadi tekanan serius bagi pemerintahan Presiden Prabowo. Karena, publik menilai kasus Affan ini hanyalah tip of the iceberg (puncak gunung es) dari tumpukan masalah-masalah lama pada institusi Polri itu sendiri, seperti: impunitas, kultur kekerasan, dan lemahnya pengawasan internal maupun eksternal.
Respons Istana: Bentuk Komite Reformasi Kepolisian
Sebagai respons, Presiden Prabowo Subianto membentuk yang namanya "Komite Reformasi Polri". Sementara itu, beberapa nama mulai muncul di publik, seperti:
- Komjen Pol (Purn) Ahmad Dofiri, yang sudah ditunjuk sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Reformasi Polri, memunculkan spekulasi ia akan menjadi figur sentral tim.
- Mohammad Mahfud Mahmodin (Mahfud MD), mantan Menko Polhukam, yang sudah memutuskan untuk siap bergabung dalam tim komite tersebut. Pihak Istana juga sudah mengonfirmasi dengan adanya kabar itu.
Langkah ini boleh saja dipandang sebagai bentuk keseriusan pemerintah dalam menanggapi persoalan ini. Namun ditengah-tengah itu, muncul kritik: apakah tim ini independen dan punya kewenangan yang nyata, atau hanya sekadar reaksi politik jangka pendek untuk meredam amarah publik?
Kapolri Bentuk Tim Reformasi Polri Sendiri, Berisiko Tumpang Tindih?
Di sisi lain, Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo membentuk juga yang namanya "Tim Transformasi Reformasi Polri" melalui surat perintah (sprin) resmi pada 17 September 2025. Dengan 52 anggota dari perwira tinggi dan menengah, tim ini akan dipimpin oleh Komjen Pol. Chryshnanda Dwilaksana dengan didampingi oleh Wakapolri Komjen Pol. Dedi Prasetyo sebagai penasihatnya.