Mohon tunggu...
Rublikpol
Rublikpol Mohon Tunggu... Lembaga Diskusi Kampus

📍 Jakarta, Indonesia | 🎓 Founded at FISIP UIN Syarif Hidayatullah | 🎙️ Voice of Critical Politics Rublikpol (Ruang Publik Politik) is a youth-driven socio-political media organization committed to enriching Indonesia’s public discourse. Founded in 2016 within the Faculty of Social and Political Sciences at UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rublikpol has grown into a vibrant space for critical dialogue, political literacy, and civic engagement. 🎯 Our Mission To ignite critical thinking and foster informed discussions on politics, society, and governance—bridging academia, grassroots perspectives, and youth activism through accessible content and community-driven events. 💡 What We Do 1. Interactive Forums & Events - From our flagship *Publik Berbisik* series (where politics meets music and art) to academic discussions and open forums. 2. Multimedia Content – Thought-provoking podcasts, infographics, and political explainers for digital natives. 3. Grassroots Political Education – Training, workshops, and content aimed at strengthening democratic values among young voters and students. We’re not just talking about politics—we're building a generation that critically engages with it.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Indonesia's Lag Behind Malaysia: Mengapa Malaysia Tampak Jauh Melangkah

20 September 2025   10:16 Diperbarui: 20 September 2025   09:36 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Pinterest Democrazy

Oleh: Ahmad Zaky

Membedah Ketertinggalan: Mengapa Malaysia Tampak Jauh Melangkah?

Narasi tentang perbandingan Indonesia dan Malaysia kembali mengemuka, bukan sebagai persaingan biasa, melainkan sebagai sebuah refleksi mendalam yang menyentuh inti kebanggaan nasional. Opini ini menyajikan cerminan tajam: mengapa Malaysia, yang dulu banyak belajar dari Indonesia, kini terlihat jauh melangkah di berbagai sektor? Pertanyaan ini mengundang kita untuk menelaah lebih dari sekadar data, melainkan pada fondasi dan visi pembangunan yang membedakan keduanya.

Pendidikan, Ekonomi, dan Kualitas Hidup: Kesenjangan yang Terasa

Di sektor pendidikan, kesenjangan terlihat jelas. Saat beberapa universitas Malaysia berhasil menembus jajaran elit global dan skor PISA (Programme for International Student Assessment). Ini adalah studi internasional yang diselenggarakan oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) untuk mengevaluasi sistem pendidikan di berbagai negara. PISA berfokus pada penilaian kemampuan siswa berusia 15 tahun dalam membaca, matematika, dan sains, serta bagaimana mereka dapat menerapkan pengetahuan dan keterampilan ini dalam kehidupan sehari-hari. siswa Malaysia lebih unggul, Indonesia masih berjuang dengan isu pemerataan dan kualitas. Keberhasilan ini bukan kebetulan, melainkan hasil dari investasi berkelanjutan dan kebijakan pendidikan yang fokus pada daya saing global. Hal ini berdampak langsung pada dunia kerja dan kesejahteraan. Upah minimum Malaysia yang jauh lebih tinggi dan tingkat pengangguran yang lebih rendah menjadi indikator bahwa kebijakan ekonomi mereka lebih berhasil dalam menciptakan lapangan kerja yang layak dan meningkatkan daya beli. 

Di sektor kesehatan, Malaysia bahkan telah memposisikan dirinya sebagai pusat wisata medis internasional. Banyak warga negara kita yang memilih berobat ke sana, bukan hanya karena fasilitas yang modern, tetapi juga karena biaya yang relatif lebih terjangkau dan pelayanan yang profesional. Keunggulan ini menunjukkan adanya tata kelola yang efektif dan orientasi pada pelayanan publik berkualitas tinggi.

Fondasi Negara: Energi, Infrastruktur, dan Visi Jangka Panjang

Kritik paling tajam mungkin terletak pada perbandingan di sektor fundamental seperti energi dan infrastruktur. Sungguh ironis ketika Indonesia, yang memiliki perusahaan energi sekelas Pertamina, justru harus mengimpor minyak dari Malaysia. Demikian pula dengan infrastruktur transportasi massal, di mana Malaysia telah jauh lebih dulu membangun LRT dan MRT. Keterlambatan ini bukan hanya soal kurangnya dana, tetapi juga terkait dengan kurangnya visi jangka panjang dan konsistensi dalam implementasi kebijakan. Di ranah investasi dan kepercayaan internasional, Malaysia juga tampak lebih unggul. Negara itu berhasil menarik investasi besar dari perusahaan teknologi dunia dan menjadi tuan rumah konser musisi global. Keberhasilan ini disokong oleh regulasi yang lebih ramah investor, stabilitas politik, dan kemudahan perizinan, yang membuat mereka menjadi pilihan utama di mata internasional.

Mengapa Indonesia, dengan segala potensi dan sumber daya yang melimpah, tampak tertinggal? Jawabannya mungkin tidak hanya terletak pada kebijakan semata, tetapi jauh lebih dalam, menembus tirai birokrasi yang rumit dan budaya pungutan liar (pungli) yang menggerogoti.

 

Birokrasi yang Menghambat Kemajuan

Birokrasi di Indonesia seringkali digambarkan sebagai labirin yang membingungkan. Prosedur yang berbelit-belit, perizinan yang memakan waktu lama, serta tumpang tindih regulasi menjadi hambatan nyata bagi investasi dan inovasi. Ketika Malaysia menawarkan kemudahan regulasi dan kepastian hukum, Indonesia justru seringkali membuat investor frustrasi. Kondisi ini membuat perusahaan besar, terutama di sektor teknologi, enggan menanamkan modalnya.

Kerumitan birokrasi ini tidak hanya menghambat investor asing, tetapi juga menghambat pertumbuhan ekonomi rakyat. Pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) harus menghadapi proses yang panjang dan biaya yang tidak pasti untuk mendapatkan izin, membuka usaha, atau bahkan sekadar berurusan dengan administrasi pemerintahan. Ini adalah akar masalah yang membuat kita sulit bersaing.

Budaya Pungli: Parasit Pembangunan

Selain birokrasi yang rumit, masalah lain yang menjadi parasit pembangunan adalah budaya pungutan liar (pungli). Praktik ini menjamur di berbagai lapisan, mulai dari perizinan, pelayanan publik, hingga pengadaan barang dan jasa. Pungli bukan sekadar uang kecil, tetapi adalah penghambat efisiensi dan transparansi.

Dampak dari pungli sangatlah masif. Praktik ini secara langsung menambah biaya operasional, yang pada akhirnya dibebankan kepada konsumen atau membuat harga menjadi tidak kompetitif. Lebih dari itu, pungli juga merusak moralitas dan etos kerja dalam pemerintahan. Para oknum yang terbiasa dengan pungli tidak lagi termotivasi untuk melayani dengan tulus, melainkan melihat setiap prosedur sebagai ladang keuntungan pribadi.

Pungli dan Ormas: Mengapa Mereka Jadi Masalah?

Dalam konteks ini, keterlibatan organisasi masyarakat (ormas) dalam praktik pungli juga menjadi masalah serius. Beberapa ormas, alih-alih menjadi mitra pemerintah dan masyarakat, justru dimanfaatkan atau bahkan secara aktif terlibat dalam kegiatan pungli, terutama di sektorsektor informal seperti keamanan dan pengelolaan parkir. Praktik ini menciptakan ketidakpastian dan rasa takut di masyarakat, yang pada akhirnya mengikis kepercayaan terhadap sistem.

Refleksi Mendalam: Sebuah Panggilan untuk Introspeksi

Pada akhirnya, perbandingan ini membawa kita pada sebuah refleksi yang mendalam: mengapa Indonesia, dengan potensi kekayaan alam dan populasi besar, justru tertinggal? Apakah kita terlalu terlena dengan narasi "negara kaya" tanpa disiplin yang kuat untuk membangun fondasi? Atau apakah kita kurang memiliki keberanian untuk melihat kekurangan diri dan melakukan perbaikan mendasar?

Opini ini bukanlah sekadar kritik, melainkan sebuah panggilan untuk introspeksi. Ini adalah saatnya bagi kita untuk tidak hanya bangga pada potensi, tetapi juga berani mengevaluasi kinerja. Hanya dengan kejujuran dan komitmen pada visi yang jelas, Indonesia dapat melangkah maju dan mengejar ketertinggalan, bukan lagi sebagai negara yang hanya menjadi kiblat masa lalu, tetapi sebagai kekuatan yang diakui di masa depan.

Refrensi

https://news.detik.com/opini/d-1371553/indonesia-tertinggal-oleh-malaysia 

https://www.tempo.co/ekonomi/daya-saing-indonesia-merosot-ke-peringkat-40-kalah-darimalaysia-1785457 

https://www.tempo.co/ekonomi/daya-saing-indonesia-anjlok-13-peringkat-celios-birokrasirumit-penyebabnya-1785321

https://www.cnbcindonesia.com/news/20250304110415-4-615390/pengusaha-menjeritdipalak-preman-ormas-mau-aman-bayar-uang-keamanan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun