Pidato di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bukanlah sekadar seremonial diplomatik. Bagi bangsa Indonesia, itu adalah panggung simbolik yang memancarkan jati diri, kapasitas kepemimpinan, dan arah politik luar negeri. tulisan ini mencoba memberikan pandangan dari sisi kepiawaian dan kematangan pemimpin dalam mengelola forum penting, tentu ini bisa menjawab kegelisahan dunia tentang perkebangan Indonesia, dan akhirnya kita berada titik memiliki harapan bahwa Indonesia kedepan akan lebih cemerlang. Pidato Prabowo di PBB bukanya soal narasi dan susunan kata melaikan kita di ingatkan dengan kita pada sosok revolusioner dunia, namanya kan terus menjadi penanda tentang kebebasan suatu Negara dan suaranya akan terus menggema dipanggung dunia yaitu Soekarno Presiden Pertama Republik Indonesia.
Soekarno: Orator Revolusi Dunia
Pada 30 September 1960, Soekarno berdiri di podium PBB dan menyampaikan pidato legendaris berjudul To Build the World Anew. Dengan penuh semangat, ia menawarkan Pancasila sebagai dasar moral bagi dunia yang terkoyak Perang Dingin. Retorikanya tebal dengan filosofi, penuh kutipan sejarah dan nilai kebangsaan. Saat itu, Indonesia baru saja lepas dari kolonialisme, dan Soekarno menampilkan diri sebagai pemimpin dari dunia ketiga yang percaya diri, progresif, dan revolusioner.
Pidato ini mencerminkan budaya politik Indonesia pada masa itu: idealisme yang tinggi, keberanian menantang hegemoni Barat maupun Timur, serta keyakinan bahwa bangsa yang baru merdeka punya hak berbicara lantang di panggung global.
Prabowo: Suara Moral di Tengah Krisis Global
Enam puluh lima tahun kemudian, pada Sidang Umum PBB ke-80 tahun 2025, giliran Prabowo yang berdiri di podium yang sama. Setelah satu dekade Indonesia absen di level presiden, kehadirannya dianggap menandai kembalinya Indonesia ke panggung dunia.
Pidatonya lebih pragmatis ketimbang filosofis. Prabowo menekankan dukungan Indonesia pada solusi dua negara bagi Palestina, menyoroti penderitaan rakyat Gaza, bicara soal kelaparan, trauma, dan pentingnya multilateralisme agar negara kecil tidak ditindas. Isinya menyentuh isu-isu aktual yang relevan dengan opini publik global, sekaligus membangkitkan rasa bangga di dalam negeri.
Dalam konteks sosial-budaya, pidato ini merefleksikan wajah politik Indonesia hari ini: lebih membumi, pragmatis, namun tetap ingin menjaga citra sebagai bangsa yang bermoral dan berempati.
Perbedaan dan Kontinuitas
Soekarno dan Prabowo jelas berbeda gaya. Soekarno tampil sebagai orator ideologis, menawarkan Pancasila sebagai "jalan baru dunia". Prabowo hadir sebagai orator nasionalis-pragmatis, menekankan solidaritas kemanusiaan dalam isu-isu kontemporer. Namun keduanya punya garis merah yang sama: menjadikan Indonesia sebagai suara moral dalam percaturan global.