Di antara dentuman pidato yang menggelora menyalakan api revolusi menandakan bunyi perjuangan, ada suara yang selalu tenang, rasional dan jernih, menunjukkan kepribadiannya yang dalam selalu membawa harapan ditengah keputus asaan namanya selalu disebut dalam diam Mohammad Hatta. sontak saya ingat nama tersebut memang  tidak pernah membakar massa, apalagi mencari sorotan media, namun dengan keteduhannya ia mampu meletakkan pondasi moral, ekonomi dan etika dalam tubuh Republik ini.
Bung Hatta merupakan simbol kepemimpinan berbasis prinsip bukan popularitas.
Salah satu contoh kepemimpinan Hatta yang layak menjadi contoh adalah saat menolak dibuatkan rumah dinas yang mewah. Ia bahkan mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden karena tak setuju pada arah kekuasaan yang makin personal dan tersentralisasi. Ia membuktikan bahwa cinta kepada negeri harus berani meninggalkan kekuasaan bukan memeluknya erat-erat.
Saya terdiam bertanya, mungkinkan ada sosok seperti itu lagi di Republik ini, mungkinkan ada pejabat pemerintah yang bersedia mundur demi prinsip? atau adakah pejabat yang menolak fasilitas negara karena merasa tak layak menerimanya?, ditengah pemimpin hari ini yang justru berlomba-lomba membangun citra, bila kembali kepada Hatta justru meninggalkan jejak tanpa gimik, tanpa sorotan media.
Saya teringat saat Hatta merumuskan gagasan "ekonomi koperasi" yang sesugguhnya digali melalui akar budaya masyarakat gotong royong, kesetaraan dan pemberdayaan rakyat kecil.
"Koperasi adalah usaha bersama untuk memperbaiki nasib ekonomi berdasarkan tolong-menolong"
Nampaknya konsep ekonomi koperasi sudah hilang. Pelaksanaan ekonomi di Indonesia didominasi oleh Kapitalisasi, liberalisasi, konglomerasi, ketimpangan dan kompetisi.
Kita hidup di zaman ketika kekuasaan sering menjadi jalan pintas menuju kemewahan. Hatta membalik logika itu: ia justru memilih jalan susah agar jiwanya tetap merdeka
Hatta tidak membuat kita berteriak "merdeka" di jalanan, tapi membuat kita merenung dalam diam
Apa arti merdeka jika pemimpin kita kehilangan keberanian untuk jujur?
Apa gunanya pembangunan jika yang dibangun hanyalah gedung, bukan karakter?
Kita boleh bangga dengan teknologi, infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi. Tapi jika kehilangan teladan seperti Hatta, kita sedang kehilangan inti Indonesia yaitu kebijaksanaan dan integritas. Hatta telah pergi dalam senyap. Tapi suara hati nuraninya tetap menggema, memanggil orang yang memiliki hati mulia, mencari orang-orang yang hidup dengan kesederhanaan, mencari pejabat yang memiliki prinsip keadilan, dia berani menolak yang tidak benar.