Di tengah era digital yang sering menjuluki Generasi Z sebagai kaum rebahan yang terobsesi dengan konten singkat, sebuah pemandangan kontras kian menjadi pemandangan umum: wajah-wajah muda membanjiri jalanan, meneriakkan tuntutan perubahan. Dari protes iklim global hingga gerakan keadilan sosial dan reformasi politik, Gen Z telah menegaskan posisinya di garis depan aktivisme. Tidak peduli dijuluki performatif, sekadar tren sesaat atau pemberontakan kaum muda yang klise. Ini adalah respons yang tak terelakkan dari sebuah generasi yang merasa mewarisi dunia dengan sistem yang rusak parah, sebuah kesadaran yang datang jauh lebih cepat dan lebih brutal bagi mereka.
Generasi-generasi sebelumnya mungkin memiliki kemewahan untuk tumbuh dewasa dengan optimisme milenium baru, di mana berita tentang kerusakan dunia datang secara tersaring melalui koran pagi atau siaran berita malam. Gen Z tidak memiliki kemewahan itu. Sejak kecil mereka diberi tahu bahwa bumi sedang sakit, bumi sedang terbakar; kemudian diberi selembar kertas dan disuruh menuliskan usaha yang bisa dilakukan untuk reduce, reuse, recycle. Mereka adalah "digital natives" yang sejak dini dicekoki aliran informasi tanpa henti. Layar ponsel bukan sekedar jendela hiburan, tetapi juga portal langsung ke krisis global yang terjadi secara waktu nyata. Mereka menyaksikan kebakaran hutan Amazon, ketidaksetaraan ekonomi yang meroket, polarisasi politik yang memuakkan, dan krisis kesehatan mental yang merajalela, bukan sebagai isu abstrak, melainkan sebagai notifikasi yang terus-menerus berdengung.
Akibatnya, fase "bulan madu" dengan dunia nyaris tidak ada. Saat mereka cukup umur untuk memahami isu-isu kompleks, mereka sudah dihadapkan pada kenyataan pahit: sistem ekonomi yang menjanjikan utang, pendidikan dan pasar kerja yang tidak stabil, sistem politik yang terasa korup dan tidak representatif, pejabat-pejabat yang bermain seakan negara adalah taman hiburan, dan sistem lingkungan yang berada di ambang keruntuhan. Mereka menghabiskan masa awal kedewasaan melihat dunia dan berpikir, Memang bisa, ya, hidup kayak gini sampai umur 50? Protes dan demonstrasi bagi mereka menjadi sebuah keniscayaan, sebuah teriakan kolektif karena merasa dipaksa memperbaiki rumah yang sudah reyot bahkan sebelum mereka sempat menempatinya.
Di jantung aktivisme Gen Z terletak berbarengan sebuah fenomena yang sering disalahpahami, yaitu "woke". Terlepas dari karikatur yang sering muncul, pada esensinya "woke" adalah sebuah kesadaran (awareness) yang tajam terhadap ketidakadilan sosial yang bersifat sistemik. Kesadaran ini berfungsi sebagai kacamata analisis yang memungkinkan mereka untuk menghubungkan titik-titik masalah yang tampaknya terpisah. Melalui kacamata ini, perubahan iklim bukan sekadar soal emisi karbon, tetapi juga produk sampingan dari kapitalisme eksploitatif dan kolonialisme yang mengakar dalam setiap kehidupan di setiap negara. Ketidakadilan rasial tidak berasal hanya dari ulah segelintir individu rasis, melainkan tertanam dalam struktur hukum dan sosial. Bagi mereka, tidak ada lagi masalah yang berdiri sendiri. Pola pikir inilah yang mendorong tuntutan mereka menjadi begitu konkrit. Mereka tidak meminta perbaikan kondisi sosial dengan aturan-aturan sebelumnya, melainkan menuntut perombakan sistem hingga akar-akarnya.
Akan tetapi, kesadaran ini adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memicu solidaritas global yang kuat dan memberikan bahasa untuk mengartikulasikan ketidakadilan. Di sisi lain, ia berisiko melahirkan "aktivisme performatif", di mana dukungan hanya sebatas unggahan di media sosial. Selain itu, dorongan untuk kemurnian ideologis terkadang dapat mengarah pada budaya pembatalan (cancel culture) yang tidak produktif dan menciptakan perpecahan internal, yang justru melemahkan potensi gerakan untuk membangun persatuan dan koalisi yang lebih luas.
Aktivisme Gen Z juga unik dalam metodenya. Dalam ranahnya sebagai digital native, sebuah tagar yang tren di Twitter bisa dalam hitungan jam berubah menjadi mobilisasi massa di dunia nyata. Meme dan video TikTok bukan sekadar hiburan, tetapi juga edukasi politik yang efektif dan mudah dicerna. Spanduk protes mereka seringkali berisi kode QR yang mengarah ke situs donasi atau petisi. Fleksibilitas dan kreativitas digital ini membuat gerakan mereka sulit diprediksi dan dipadamkan oleh struktur kekuasaan konvensional.
Pada akhirnya, meremehkan demonstrasi Gen Z sebagai luapan emosi sesaat adalah pernyataan yang hampir menghina. Aksi mereka di jalanan adalah manifestasi yang logis terhadap kekecewaan mendalam terhadap generasi sebelumnya yang mereka anggap telah gagal. Mereka melihat janji-janji kosong, kebijakan yang tidak memadai, dan keengganan untuk melakukan perubahan radikal yang sesungguhnya dibutuhkan untuk bertahan hidup. Mereka turun ke jalan bukan karena marah tanpa tujuan, tetapi karena mereka secara rasional menuntut masa depan yang layak huni. Ketika sistem sosial yang sekarang gagal memberikan jaminan itu, mereka merasa tidak punya pilihan lain selain mengguncangnya sekeras mungkin.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI