Mohon tunggu...
ROCHADI TAWAF
ROCHADI TAWAF Mohon Tunggu... Dosen -

Dosen Fapet Unpad

Selanjutnya

Tutup

Money

Peluang Bisnis Di Balik Pesatnya Industri Feedlot

1 Oktober 2015   21:57 Diperbarui: 1 Oktober 2015   22:01 1100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Usaha penggemukan sapi potong yang biasa disebut bisnis feedlot, kini sudah merambah masuk kedalam lingkaran bisnis industri. Pasalnya, aplikasi sentuhan teknologi dan permodalan yang intensif, sangat kental mewarnai bisnis ini sehingga telah mampu meninggalkan dunia ketradisionalan usaha peternakan rakyat yang banyak dilakukan oleh masyarakat perdesaan. Bisnis ini mulai maju dan berkembang sejak, importasi ternak dari Australia secara besar-besar terjadi di awal tahun 1990an. Ternyata negeri ini, telah mampu menjadi negara yang cukup efisien memanfaatkan pakan ternak yang melimpah dalam melakukan penggemukan sapi bakalan asal Australia.

Titik Kritis Bisnis Feedlot

Pertumbuhan dan perkembangan bisnis feedlot, yang semakin menggiurkan ini telah mampu meningkatkan inovasi teknologi pakan. Para ahli nutrisi, telah mampu mengembangkan teknologi mikroba yang ramah lingkungan, ketimbang teknologi hormon dan antibiotik yang sudah mulai di tinggalkan. Inovasi teknologi mikroba ini, mulai menjadi ‘trending topik’ lantaran ada kegundahan konsumen dengan diterapkannya inovasi ‘beta agonis’ yang dilarang oleh aturan pemerintah. Hal ini perlu dilakukan oleh para ahli pakan dalam rangka mencari terobosan teknologi pakan.

Usaha feedlot  sebenarnya merupakan suatu usaha pemeliharaan ternak yang memanfaatkan ‘compensatory growth’ dalam kurun waktu yang singkat. Selama waktu memanfaatkan pertumbuhan kompensasi tersebut, secara finansial ada tiga titik kritis yang harus dipahami oleh para peternak, yaitu sebagai berikut:

  1. Kualitas dan harga pakan: sangat dipahami bahwa, pertumbuhan dan perkembangan seekor ternak sangat dipengaruhi lebih dari 70% oleh pakan dan lingkungannya, ketimbang bibit (breed). Oleh karenanya, peran nutrisionis menjadi sangat penting dalam rangka melakukan berbagai trobosan teknologi pakan. Kualitas pakan akan dapat menentukan produk daging yang akan dipanen. Katakanlah konsumen menyukai lemak warna putih, atau kuning, atau tebal lemaknya satu sentimeter, kesemuanya dapat dilakukan dengan racikan ransum oleh para nutrisionis. Bahkan ‘day on feed’ pun dapat ditentukan dengan akurat dalam setiap periode pemeliharaan.
  2. Pertambahan bobot badan harian atau ADG (Average Daily Gain); titik kritis ADG merupakan tolok ukur keberhasilan dari perilaku manajemen usaha yang dilakukan peternak. Jika saja ADG yang diperoleh selama pemeliharaan dibawah 1,3 kg/ekor/hari rasanya sudah harus dipertanyakan, manajemen yang dilakukan oleh pengelola kandang anda, pastinya ada yang  keliru dan harus diperbaiki lagi.
  3. Titik kritis ketiga adalah harga sapi bakalan atau sapi siap potong; harga beli atau jual sapi menjadi titik kritis penting dalam menetapkan berapa harus naiknya berat badan, dan berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk pemeliharaan atau berapa lama day on feed di dalam kandang. Semua ini akan menentukan strategi bisnis penting dalam usaha penggemukan sapi potong.

Pasca Panen

Bisnis feedlot selama ini masih terbatas sampai ‘sapi siap potong’ yang di lepas di pintu kandang feedlot.  Padahal, rangkaian bisnis berikut sangat menggiurkan dan belum banyak diintervensi oleh pelaku bisnis modern, katakanlah bisnis ‘jeroan’.  Jeroan atau lazimnya disebut sebagai ‘edible offal’ yang terdiri dari, usus, rumen, reticulum, duodenum, limpa, jantung, paru-paru dan juga kaki kulit dan kepala merupakan komoditi strategis dengan harga yang memukau. 

Dalam bisnis, pemotongan hewan di RPH (rumah potong hewan) harga ini luput dari perhitungan. Katakanlah jika kita membeli seekor sapi dengan berat badan 400 kg @ Rp. 38.000,00/kg berat hidup dan dipotong di jagal (RPH) dengan harga karkas Rp. 80.000,00/kg dan rendemennya 50 % maka yang dihitung hanya berat karkasnya.  Seandainya kita jual berat hidup maka harga sapi tersebut senilai Rp. 15.200.000,00 sedangkan jika dijual dengan harga karkas senilai Rp. 16.000.000,00. Pada kondisi ini harga edibel offal, kaki, kulit dan kepala merupakan keuntungan para jagal. Nilai edibel offal, kaki, kulit dan kepala saat ini tidak kurang dari 2 juta rupiah per ekor.

Selama ini, bisnis edibel offal, kaki, kulit dan kepala masih dilakukan secara tradisional. Hal ini disebabkan pembelinya sangat spesifik dan mengikuti perilaku budaya masyarakat. Katakanlah, di hari-hari besar keagamaan dimana konsumen hanya memilih daging sebagai kebutuhan mendasar, maka harga jeroan anjlok dan bahkan ‘dibuang-buang’ dan membusuk. Dampaknya harga daging akan meningkat tajam, ini adalah bagian dari perilaku pasar ‘daging panas’ (daging segar)  yang berlaku di negeri ini. Tentu berbeda dengan perilaku konsumen yang mengonsumsi ‘daging dingin’ (frozen meat).

Selain hal tersebut, bisnis daging non kualitas yang selama ini dipenuhi dari impor masih belum mampu dipenuhi oleh RPH yang ada di dalam negeri. Seperti kita ketahui bersama bahwa, impor daging non kualitas yang terjadi selama ini hanya diperuntukan bagi industri prosesing daging. Hal ini, disebabkan terutama RPH di dalam negeri bukan merupakan ‘industri prosesing daging’ tapi merupakan ‘tempat pemotongan’ ternak semata. Akibatnya, RPH tidak mampu memenuhi kebutuhan industri prosesing daging.

Peluang Bisnis

Berdasarkan kepada fenomena yang terjadi tersebut, sebenarnya beberapa hal yang dapat dijadikan peluang bisnis dalam rangkaian industri sapi potong  adalah sebagai berikut:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun