Mohon tunggu...
Ronny Rachman Noor
Ronny Rachman Noor Mohon Tunggu... Lainnya - Geneticist

Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

“Gun Culture” vs Pembunuhan Massal di Amerika

23 Juni 2015   06:21 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:40 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Gun Culture" menjadi permasalahan tersendiri di Amerika. Photo : http://i.ytimg.com


Peristiwa penembakan yang terjadi di gereja bersejarah orang Afro American, Charleston, South California oleh seorang pemuda kulit putih pemuja supremasi kulit putih dengan memakai simbol apartheid Afrika Selatan dan supremasi kulit putih Rhodesia sekaligus membukukan  bahwa dalam periode kepresidenan Obama selama 6 tahun ini sudah terjadi 14 peristiwa pembunuhan massal yang umumnya memakan korban orang yang tidak bersalah.

Tentunya peristiwa yang mengundang perhatian dunia ini tidak pernah terjadi di negara-negara maju dengan frekuensi pembunuhan massal sesering di Amerika. Tidak pelak lagi kejadian pembunuhan massal beruntun ini dianggap sebagai kegagalan Amerika sebagai negara adidaya dalam memperketat peraturan kepemilikan senjata.

Saat ini diperkirakan ada sebanyak 315 juta senjata yang dimiliki oleh pribadi di Amerika. Setiap harinya rata-rata 86 orang meninggal akibat kekerasan menggunakan senjata ini. Sebagian besar peristiwa pembunuhan masal dilakukan dengan menggunakan senjata illegal.
Kemudahan memiliki senjata di Amerika ini memang luar biasa bahkan lebih mudah prosedurnya dibandingkan dengan membeli mobil atau memiliki binatang peliharaan. Kemudahan ini terkait dengan lobby yang sangat kuat dari kelompok “gun right” yang sampai saat ini berhasil menggagalkan upaya pengetatan kepemilikan senjata api.

Sebelumnya keberhasilan lobby “gun right” ini terlihat dari hasil voting yang dilakukan di senat yang menolak pengontrolan senajata yang lebih ketat. Irosnisnya hasil survey menyatakan bahwa 90% masyarakat Amerika menginginkan peraturan kepemilikan senjata yang lebih ketat.

Kembali pada kasus penembakan yang terjadi di gereja Charleston, ternyata si pelaku yaitu Dylan Roof mendapatkan pistol berjenis Glock 45 dari sang ayah sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke 21. Banyak orang mengatakan bahwa hal ini adalah bentuk kegilaan dari apa yang dinamakan “Gun Culture”

Wajah dingin Dylan Roof yang dipenuhi rasa kebencian rasial. Photo : http://media1.s-nbcnews.com

Dylan Roof juga ingin mengobarkan perang semesta rasial. Photo: http://rack.1.mshcdn.com/

Ketegangan rasial di Amerika memang mengemuka akhir-akhir ini salah satunya disebabkan dilatar belakangi oleh serangkaian peristiwa penembakan oleh polisi kulit putih terhadap orang Afro American yang tidak bersenjata. Bahkan di beberapa tempat penembakan ini memicu kerusuhan massal yang mengakibatkan diberlakukannya jam malam.

Motivasi rasial inilah yang diduga sebagai pemicu peristiwa penembakan di gereja Afro American di Charleston. Dari bukti yang dimiliki oleh pihak kepolisian pada saat penembakan si pelaku menyatakan kebenciannya bahwa Afro American telah memperkosa dan membunuh orang kulit putih. Lambang garis dan bintang yang digunakan di pelaku pada nomor polisi mobilnya merupakan lambing kebencian terhadap Afro American, yang menunjukkan betapa sakitnya pikiran si pelaku yang dipenuhi dengan kebencian rasial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun