Mohon tunggu...
Ronny Rachman Noor
Ronny Rachman Noor Mohon Tunggu... Lainnya - Geneticist

Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Trump-isme

7 Juni 2020   07:30 Diperbarui: 7 Juni 2020   08:36 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: dreamstime.com

Pernyataan Trump yang terakhir terkait Covid-19 kembali membelalakkan mata dunia ketika Trump menyampaikan bahwa dia tidak bertanggung jawab atas tindakan orang yang meminum disinfektan untuk mengatasi korona.  Trump secara tegas menyatakan itu adalah kesalahan Badan Kesehatan Dunia WHO yang merekomendasikan hal itu.

Kita tidak perlu berdebat terkait benar salahnya pernyataan Trump, tapi sepak terjang Trump sejak jadi presiden memang menjadi fenomena tersendiri bahkan kemungkinan telah menjadi ajaran atau "isme" tersendiri bagi kelompok tertentu dunia.

Sebenarnya jika melihat film dokumenter tentang kehidupan Trump, kita tidak perlu heran dengan fenomena yang berkembang akhir akhir ini, karena memang sejak muda kehidupan  Trump memang penuh kontroversi.

Sebagai  seorang presiden  negeri adidaya dan juga diplomat,  Trump pastinya faham betul bagaimana cara bertindak dan menyatakan pendapat, apalagi pastilah Trump dikelilingi oleh para penasehat yang sangat faham akan pakem itu.

Bagi seorang politisi dan diplomat kebanyakan akan sangat gentar dan berusaha  bersahabat dengan media, karena jika media mempotret seseorang politisi secara negatif maka akan jatuhlah reputasinya.

Namun bagi Trump tabu ini secara terang terangan dilanggar dan dilawannya. Bagaimana akhirnya Trump meminimalisir tradisi jumpa press di Gedung Putih  dan lebih menjadi trend setter dengan menggunakan platform Twitter dan Facebook untuk menyatakan uneg unegnya,  menyerang lawan politiknya ataupun menyampaikan program dan rencana kebijakannya termasuk apresiasinya pada pimpinan dunia.

Jika dulu secara tradisi presiden Amerika sangat dekat dengan press sehingga menggunakannya sebagai wahana mengkomunikasikan kebijakannya, kini justru sebaliknya press yang menunggu nunggu pernyataan Trump di Twitter.  Bahkan di negeri tertentu ada kementerian yang khusus mengurusi twitter Trump untuk menganalisa kebijakan  Amerika untuk kepentingan negaranya.

Bukan hanya sampai disitu saja,  ketika Twitter mebeli label peringatan pada kicauannya beberapa lalu, Trump langsung menghantam Twitter mengeluarkan  Executive Order untuk meninjau kembali kekebalan platform media atas tanggungjawab  dari kesalahan tulisan  penggunanya. Terkait tindakannya ini secara eksplisit Trump ingin mengatakan pada dunia bahwa press lah yang harus tunduk pada dia, bukan sebaliknya

Perlawanan Trump terhadap tradisi tunduk pada media ini sangat jelas terlihat ketika Trump  secara konfrontatif "bertengkar" dengan para jurnanalis CNN yang merupakan salah satu raksasa pemberitaan di Amerika dan Dunia.

Jadi tidak heran jika kita amati pemberitaan CNN, sebagian besar pemberitaanya menyudutkan dan membahas keburukan Trump, namun tampaknya Trump sama sekali tidak perduli. 

Trump kini seolah menjadi "musuh" insan press, namun sebaliknya menjadi "kekasih" press karena jika tidak mengikuti pemberitaan Trump akan terasa hambar dan kehilangan rating beritanya.  

Lihat saja hampir sebagian besar media dunia secara serempak memberitakan terjang sepak terjang Trump yang di luar kebiasaan politisi dan diplomat umumnya.  Istilah "benci tapi rindu" sangat tepat untuk menggambarkan situasi ini.

Sudah tidak terhitung berapa pejabat yang tadinya dipilih masuk dalam pemerintahannya dipecat karena tidak sejalan dengan kebijakannya.  Trump tidak terlalu perduli seberapa tinggi posisi pembantunya tersebut, jika tidak sejalan maka  akan dipecatnya.

Lawan politiknya yang mencoba meggulingkan Trump melalui  skandal dugaan  ikut campurnya Rusia dalam kemenangan pemilihan presiden Trump kandas secara tragis, bahkan prilaku dan stategi Trump dalam menghadapi kasus ini justru menjadi bumerang  partai demokrat  lawan politiknya.

Bagaimana Nancy Pelosi juru bicara House of Representatives dari partai lawan Trump kehilangan kendali emosi setelah lama melakukan perang dingin dengan Trump.  Ketika Trump selesai menyampaikan pembelaannya Trump sengaja menolak jabat tangan  Nancy Pelosi (padahal saat itu Nancy sudah mengulurkan tangannya) sebagai bentuk perang mental untuk menjatuhkan Nancy.

Betul  saja,  mental Nancy tidak tahan melawan tekanan Trump sehingga di depan sidang tersebut Nancy merobek robek laporan Trump dan terekam dengan jelas oleh peserta dan para jurnalis.  Sontak saja tindakan Nancy Pelosi ini menjadi pemberitaan nasional yang justru menyudutkan Nancy. 

Di dunia internasional secara terbuka Trump "menghantam" Presiden Kanada akibat perbedaan pandangan dan  smapai sekarang peristiwa itu masih berbekas. Halini tercermin dari tindakan  terdiam sangat lama  ketika Presiden Kanada yang masih muda ini ditanya pendapatnya tentang kebijakan Trump menangani kerusuhan akibat terbunuhnya warga Afro American.

Entah apa yang ada dalam pikiran Trump, yang jelas pakem pakem tradisional hampir semuanya dilanggar.

Ditengah pandemi korona secara terbuka menyatakan perang terhadap WHO karena kesal terkait "keberpihakan" WHO terhadap Tiongkok.  Bahkan Trump tidak pernah menggunakan masker dalam kesempatan apapun selama pandemi ini sebagai bentuk perlawannnya.

Secara mengejutkan Trump menyatakan dia mengkonsumsi hydroquinone yang merupakan obat malaria yang direkomendasikannya.  Padahal beberapa penelitian menyebutkan obat ini memiliki efek samping dan WHO akhirnya tidak merekomendasikan penggunaan obat ini.

Pembelotan Trump ini dari pakem tradisional sudah terlihat sejal pemilihan presiden  dengan cara  nya yang khas setapak demi setapak mengalahkan saingannya dalam nominasi partainya.  Kala itu banyak kalangan yang meremehkannya, memandang sebelah mata  dan hampir sebagian besar press menyatakan Trump akan dikalahkan dengan mudah oleh Hilary Clinton.

Kemenangan Trump dalam pemlihan presiden dan juga besarnya pendukung kebijakannya saat ini menunjukkan bahwa dirinya memiliki pendukung yang selama ini ada di akar rumput tapi terselubung dan terabaikan dan memiliki energi tinggi untuk muncul kepermukaan.

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa slogan Trump "Make America Great again" merupakan refleksi  kebangkitan white supremacy yang mulai hidup kembali tidak saja di Amerika namun di berbagai belahan dunia.

Prilaku dan pola pikir Trump sebagai bentuk perlawanan terhadap pakem tradisional kini telah berubah menjadi "isme" dan mulai banyak menggalang pengemarnya yang semala ini diam di bawah permukaan.

Apakah pendapat sebagian besar orang yang menyatakan Trump merupakan presiden terburuk yang pernah dimiliki Amerika karena prilaku dan cara memerintahnya yang sulit difahami oleh orang benar? Ataukah sebaliknya gaya kepemimpinan yang dipertontonkan Trump menjadi tren baru dunia di masa depan.

Ujian terdekat dari Trump-isme ini adalah pemilihan presiden yang sudah semakin dekat. Jika kelak nantinya dalam pemilihan presiden mendatang Trump dapat mengalahkan Biden maka dunia kembali akan mendapat kejutan dan mau tidak mau menerima kenyataan bahwa Trump-isme itu memang nyata dan sedang merambah dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun