Mohon tunggu...
Mohamad Rozkit Bouti
Mohamad Rozkit Bouti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Trying Everything

.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cerita Ekspektasi

4 Oktober 2022   18:22 Diperbarui: 4 Oktober 2022   18:25 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.pexels.com/id

Sampai hari ini siapa yang tidak ingin sesuatu yang terbaik di masa akan datang? Sukses, punya rumah, mobil, istri cantik, anak, financial freedom, apalagi masuk surga. Kita tak perlu munafik dengan mengubah istilahnya dengan kata lain. Entah apapun istilahnya, kita selalu suka dengan kesuksesan di masa akan datang.

Masa depan terlalu jauh, okelah, kita lihat di beberapa jam kemudian, kita berharap ingin makan enak, pengen jalan kesana-kesini, pulang kerja lihat wajah keluarga yang bahagia, sampe di kosan teman udah nyiapin makanan, dan lain sebagainya.

Setiap hari kita selalu dikelilingi oleh banyak harapan yang kita buat sendiri. Apakah lingkungan berpengaruh dengan harapan yang kita buat? Sejauh mana kita berharap? Bisakah memperbanyak harapan? Dan mungkin pertanyaan lainnya yang muncul di benak kita.

Harapan, ekspektasi, expectancy memanglah lahiriyah manusia, tapi coba lihat pandangan orang lain tentang kata ini. salah satu orang yang membahas tentang ini adalah Victor Vroom, seorang ilmuan yang berasal dari Kanada yang menguraikan expectancy theory. Katanya, orang berekepektasi lebih suka menekakan pada faktor hasil dibanding dengan kebutuhan.

Asumsi awalnya adalah kita berekspektasi bahwa harapan dapat membawa kita kepada aktualisasi diri untuk menyetarakan usaha dengan hasil yang nantinya akan dicapai. Kita berharap di akhir pekan akan jalan-jalan ke puncak, berarti kita harus mengeluarkan effort lebih untuk mencapainya, seperti menyelesaikan tugas sebelum weekand, menabung dari hari-hari sebelumnya, mengosongkan jadwal pada hari tersebut, dan lain sebagainya.

Namun, apakah memang kita melakukannya demikian? Beberapa orang mungkin iya, tapi yang lainnya?

Ada beberapa asumsi lainnya yang dijelaskan oleh Vroom, tapi kita mencoba mengkaji dari sisi ini terlebih dahulu.

Dari asumsi tersebut, kita dapat katakan bahwa ekspektasi berbanding lurus dengan effort. Ya, semakin tinggi ekspektasi yang kita buat, maka seharusnya semakin tinggi effort yang harus kita lakukan.

Namun, sering entah sengaja atau sekedar pikiran lewat saja, kita seringkali berekspektasi terlalu tinggi. Tidak melihat sudut pandang kemampuan diri. Ini bukan bermaksud membatasi harapan, karena semua orang memiliki kebebasan untuk berharap apa saja. Tapi pernah dengar kalimat "expectation kills you",

Sampai mana batas berekspektasi? Ya bebas saja, tanyakan pada diri sendiri. Memang sampai mana batas kemampuan kita, mungkin hal itu akan membawa kita pada part realistis. Jika demikian, apa yang perlu kita lakukan.  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun