Dalam era yang ditandai oleh krisis iklim, digitalisasi, dan urbanisasi masif, profesi arsitek tidak hanya dituntut merancang bangunan estetik, tetapi juga memikul tanggung jawab sosial, etis, dan lingkungan. Seiring berlakunya UU No.6 Tahun 2017 dan hadirnya STRA (Sertifikat Tanda Registrasi Arsitek) sebagai tolak ukur legalitas profesi, para arsitek termasuk kami, para mahasiswa tingkat akhir berdiri di ambang transformasi besar. Namun, siapkah kita menyambut gelombang perubahan ini?
Dokumen "Quo Vadis Praktik Profesi Arsitek Indonesia?" yang ditulis oleh Ketua Umum IAI, Ar. Georgius Budi Yulianto, menggambarkan bahwa profesi arsitek sedang berada dalam "badai yang sama" walaupun mungkin tidak dalam perahu yang sama. Disrupsi teknologi, tuntutan kolaborasi multidisipliner, serta regulasi yang semakin ketat menjadi tantangan nyata.
Sebagai profesi teregulasi, arsitek diwajibkan memiliki STRA (Sertifikat Tanda Registrasi Arsitek) sebagai bukti legal untuk praktik. Namun hingga 2024, baru sekitar 6.200 dari 28.000 anggota IAI (Ikatan Arsitek Indonesia) yang memiliki STRA (Sertifikat Tanda Registrasi Arsitek). Artinya, masih ada kesenjangan besar antara kapasitas profesi dengan kebutuhan nasional. Idealnya, rasio arsitek adalah 1:15.000 penduduk, sementara saat ini Indonesia masih di angka 1:49.000.
Sebagai mahasiswa tingkat akhir, saya melihat ketidaksinkronan antara pendidikan dan dunia praktik sebagai tantangan utama. Pendidikan arsitektur masih terjebak pada beban SKS 144 selama 4 tahun, sementara standar global UIA/UNESCO mensyaratkan 5 tahun ditambah magang 2 tahun. Hal ini memunculkan kesenjangan kesiapan antara lulusan dan tuntutan profesi.
Ketika saya mempelajari tentang STRA (Sertifikat Tanda Registrasi Arsitek), SKK (Sertifikat Kompetensi Kerja), dan lisensi, saya merasa seperti sedang belajar tiga bahasa hukum berbeda dalam satu waktu. Namun saya memahami bahwa ini bagian dari upaya profesionalisasi. Sebagaimana disebutkan dalam dokumen: "STRA ibarat SIM bagi arsitek," dan wajib dimiliki untuk dapat disebut sebagai arsitek.
Saya berharap agar sistem pembinaan profesi seperti AAPDC (Advance Architecture Professional Development Course) dan IAI (Ikatan Arsitek Indonesia) Interaktif dapat lebih inklusif dan terjangkau oleh seluruh mahasiswa serta lulusan baru. Perlu ada jembatan nyata antara kampus dan dunia profesi. Tak cukup hanya mengandalkan kurikulum, kita butuh mentor, pengalaman lapangan, dan platform pengembangan berkelanjutan.
Saya juga berharap asosiasi seperti IAI (Ikatan Arsitek Indonesia) dan DAI (Dewan Arsitek Indonesia) tidak hanya menjadi institusi administratif, tetapi juga komunitas pembimbing. Di sisi lain, mahasiswa harus aktif mencari tahu, terlibat, dan membentuk karakter etis sebagai calon profesional.
Profesi arsitek sedang mengarungi badai, dan kami mahasiswa tingkat akhir adalah generasi berikutnya yang akan mengemudikan kapal ini. Tantangan yang kompleks tak bisa dihindari, tapi dapat dihadapi dengan kolaborasi, integritas, dan kesadaran etis. Jika benar kita ingin menjawab "Quo vadis, arsitek Indonesia?", maka jawabannya haruslah: menuju profesi yang bermartabat, terstandarisasi, dan relevan dengan zaman. Bukan hanya untuk kebanggaan profesi, tetapi demi masa depan ruang hidup masyarakat Indonesia.
Sebagai mahasiswa, saya juga melihat bahwa pemahaman tentang profesi arsitek masih kurang dipaparkan secara sistematis di bangku kuliah. Sebagian besar fokus pendidikan masih tertuju pada kemampuan desain dan teknis, tetapi aspek hukum, etika profesi, dan sistem sertifikasi seperti STRA (Sertifikat Tanda Registrasi Arsitek) dan SKK (Sertifikat Kompetensi Kerja) seringkali menjadi hal baru yang asing bagi mahasiswa tingkat akhir. Padahal, pemahaman terhadap peran organisasi seperti IAI (Ikatan Arsitek Indonesia), DAI (Dewan Arsitek Indonesia), dan pentingnya registrasi profesi merupakan bekal dasar yang seharusnya ditanamkan sejak awal perkuliahan. Mahasiswa tidak hanya perlu tahu cara merancang bangunan, tetapi juga bagaimana menjadi seorang arsitek yang sah secara hukum dan etis.
Selain itu, penting juga disadari bahwa tantangan profesi arsitek di Indonesia tidak hanya berasal dari dalam negeri, tetapi juga dari kompetisi global. Di era digital saat ini, arsitek dari berbagai negara dapat bersaing secara langsung melalui platform digital dan proyek internasional. Oleh karena itu, penting bagi lulusan arsitektur Indonesia untuk memiliki standar kompetensi yang setara dengan standar internasional, seperti yang ditetapkan UIA/UNESCO. Tidak menutup kemungkinan bahwa dalam waktu dekat, proyek-proyek di Indonesia akan dibanjiri oleh tenaga profesional asing yang lebih siap secara legal dan teknis, apabila kita tidak memperkuat ekosistem profesi di dalam negeri.