Mohon tunggu...
Roy Gunawan
Roy Gunawan Mohon Tunggu... Mahasiswa

Jangan protes dalam proses, banyak belajar dari kesalahan

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

"Antara Luka dan Pelajaran: Perjalanan Saya sebagai Anak Broken Home"

17 Juli 2025   20:30 Diperbarui: 17 Juli 2025   19:46 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar senyuman anak broken home (sumber:dokpri/Roygunawan)

Tidak ada anak yang meminta lahir dari keluarga yang berantakan. Dan saya pun tidak pernah membayangkan bahwa kata "keluarga" yang semestinya menjadi tempat teraman di dunia justru menjadi sumber luka terdalam dalam hidup saya. Sebagai anak dari keluarga broken home, saya tumbuh dengan banyak pertanyaan, rasa iri pada teman-teman yang punya rumah harmonis, dan luka yang tidak terlihat di permukaan.

Tapi dalam diam dan tangis yang tersembunyi, saya mulai belajar bahwa setiap luka, sekecil apa pun, punya pelajaran. Dan pelajaran itu, bila tidak ditolak, bisa menguatkan.

Saya masih ingat jelas, malam ketika suara bentakan dan tangisan jadi musik yang menyambut tidur saya. Ayah dan ibu semakin jarang bicara, dan saat bicara pun seperti dua orang asing yang saling menyalahkan. Saya hanya bisa memeluk bantal, berharap besok pagi semuanya akan kembali baik tapi tidak pernah terjadi.

Perceraian orang tua saya adalah titik balik yang sulit saya pahami saat itu. Bukan hanya soal perpisahan fisik, tapi perpecahan emosional. Saya merasa kosong. Sekolah menjadi pelarian, tapi juga tempat penuh tekanan karena harus pura-pura kuat. Di balik senyum yang saya tampilkan, ada hati yang retak.

Namun waktu, meski tak langsung menyembuhkan, mulai membuka mata saya. Saya sadar, hidup tidak bisa terus-menerus dikendalikan oleh masa lalu. Saya boleh kecewa, tapi saya tidak boleh tumbang. Dari luka itu, saya belajar memaafkan. Bukan untuk mereka, tapi untuk diri saya sendiri.

Saya mulai menulis. Menuliskan keresahan, kesedihan, dan harapan. Kata demi kata menjadi terapi. Saya sadar bahwa saya tidak sendiri. Banyak di luar sana yang mengalami hal serupa, tapi tak punya suara. Maka saya putuskan: jika saya tak bisa mengubah masa lalu, setidaknya saya bisa membantu orang lain berdamai dengan masa lalunya lewat cerita saya.

Saya juga belajar menghargai hal-hal kecil senyum ibu meski lelah bekerja sendirian, sapaan ayah walau kini jarang terdengar, dan pelukan teman yang mengatakan, "Kamu kuat." Semua itu menjadi bagian dari pelajaran hidup yang tak saya dapat dari sekolah.

Kesimpulan

Menjadi anak broken home bukanlah pilihan, tapi bagaimana kita menjalani hidup setelahnya, itu adalah keputusan. Saya memilih tidak membiarkan luka itu menjadi racun, tapi menjadikannya akar kekuatan. Luka itu tidak membuat saya lemah justru saya belajar lebih memahami, lebih berempati, dan lebih tangguh.

Mungkin rumah saya tak lagi utuh, tapi hati saya kini lebih kuat. Dan jika kamu membaca ini dengan luka yang sama, ingatlah: kamu tidak sendiri. Luka boleh singgah, tapi jangan biarkan ia menetap. Peluk dirimu sendiri, bangkitlah, dan buktikan bahwa dari keluarga yang retak, bisa lahir jiwa yang utuh.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun