Mohon tunggu...
Roy Gunawan
Roy Gunawan Mohon Tunggu... Mahasiswa

Jangan protes dalam proses, banyak belajar dari kesalahan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

"Saat Dunia Menilai mu Rendah, Tuhan Memandang Tinggi"

14 Juli 2025   17:16 Diperbarui: 14 Juli 2025   17:16 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi merendahkan (sumber:Tumisu)

Di tengah dunia yang memuja harta, kekuasaan, dan popularitas, menjadi miskin dianggap sebagai kegagalan. Semua orang berlomba untuk memiliki lebih banyak, agar dihormati, dianggap berhasil, dan merasa aman. Namun, dalam terang iman Kristen, Yesus justru mengajarkan sesuatu radikal: Berbahagialah kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah (Lukas 6:20). Ini bukan sekadar kalimat penghiburan bagi orang yang tidak memiliki apa-apa, tetapi sebuah panggilan hidup yang menantang: berani miskin secara duniawi demi menjadi kaya secara ilahi.

Yesus sendiri adalah teladan utama dari prinsip ini. Ia, yang memliki segala kemuliaan sebagai anak Allah, rela turun ke dunia dalam kesederhanaan dan keterbatasan. Ia lahir di kandang domba, hidup sebagai tukang kayu, tidak memiliki tempat untuk meletakkan kepala-Nya, dan mati di kayu salib dalam keadaan hina dan penuh penderitaan. Tapi dari kemiskinan-Nya itulah, kita semua menjadi kaya (2 Korintus 8:9). Kekayaan yang ia tawarkan bukan dalam bentuk materi, melainkan kasih karunia, pengampunan, dan hidup kekal.

Kemiskinan yang dimaksud dalam konteks rohani bukan berarti semua orang harus membuang harta dan hidup mengempis. Yang dimaksud adalah sikap hati yang tidak terikat pada kekayaan dunia. Miskin secara duniawi berarti berani hidup sederhana, tidak rakus, tidak serakah, dan rela melepaskan kenyamanan demi mengikuti panggilan Kristus. Ini adalah bentuk keberanian yang tidak semua orang miliki.

Di sepanjang sejarah, banyak tokoh iman yang memilih jalan ini. Fransiskus dari Assisi, misalnya, lahir dari keluarga kaya, namun melepaskan semua warisan nya demi hidup dalam kemiskinan dan melayani orang-orang terbuang. Mother Teresa, seorang biarawati yang hidup dalam kesederhanaan total, justru menjadi simbol kasih dan kemuliaan Kristus bagi dunia. Mereka miskin menurut standar manusia, tetapi kaya di mata Allah.

Mengikuti Yesus memang seringkali berarti menempuh jalan sempit, penuh pengorbanan. Dunia mungkin tidak mengerti. Kita bisa kehilangan pekerjaan karena menolak suap, ditinggalkan teman karena tidak ikut gaya hidup berbeda. Namun, di balik itu semua ada harta yang jauh lebih berharga yaitu damai sejahtera, hati lebih bersih, sukacita yang tidak tergantung pada benda, dan janji kehidupan kekal.

Yesus pernah berkata kepada orang muda kaya, jual lah segala milikmu, bagikan kepada orang miskin, maka engkau akan memperoleh harta di surga. Lalu ikutlah aku (Lukas 18:22). Kalimat ini bukan perintah mutlak untuk semua orang, tetapi sebuah panggilan untuk mengalihkan pusat hidup kita dari materi kepada Kristus.

Kesimpulan

Menjadi miskin secara duniawi bukanlah kelemahan, melainkan keberanian untuk hidup berbeda. Ini adalah keputusan untuk tidak mengukur diri dari banyaknya harta, tetapi dari dalamnya iman. Kekayaan dunia bisa lenyap, tetapi kekayaan yang berasal dari Allah adalah abadi. Maka pertanyaannya bukan lagi: Berapa banyak yang kamu punya?, melainkan: Seberapa dalam aku mengenal dan mengikut Kristus?

Di tengah gemerlap dunia yang menuntut lebih, kita dipanggil untuk hidup dalam kesederhanaan, integritas, dan pengharapan. Menjadi miskin secara duniawi bukan berarti kehilangan segalanya, tetapi justru membuka ruang bagi Tuhan untuk memenuhi hidup kita dengan kekayaan surgawi. Sebab pada akhirnya, hanya satu hal yang tak dapat dicuri waktu: hati yang penuh kasih dan hidup yang berakar dalam Kristus.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun