Mohon tunggu...
Royan Hanung Anindito
Royan Hanung Anindito Mohon Tunggu... Research

Royan Hanung Anindito adalah seorang sejarawan maritim asal Indonesia yang menaruh perhatian besar pada sejarah pelabuhan, diplomasi maritim, dan warisan maritim dunia. Dengan latar belakang pendidikan Magister Sejarah ini aktif menulis di berbagai platform seperti Medium, Substack, dan Kompasiana, dengan gaya historiografis yang memadukan ketelitian akademik dan narasi populer. Karya-karyanya tidak hanya mengangkat kisah pelabuhan terlupakan dan dinamika laut, tetapi juga mengajak pembaca untuk memahami laut sebagai bagian penting dari identitas dan strategi bangsa. Royan Hanung Anindito juga terdaftar secara resmi dalam ORCID ID sebagai bagian dari kiprahnya di ranah akademik internasional. ORCID ID : https://orcid.org/0009-0005-0261-2670

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Ketika Laut Bukan Lagi Penjaga Iklim: Refleksi Maritim atas Krisis Global yang Mengancam Indonesia

15 Oktober 2025   12:55 Diperbarui: 15 Oktober 2025   13:18 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Animasi Laut Bukan Lagi Penjaga Iklim  (Sumber: Edit Pribadi)

Bagi masyarakat pesisir, laut bukan sekadar ruang geografis. Ia adalah tempat bekerja, berdoa, sekaligus bercermin. Namun dalam beberapa dekade terakhir, laut yang dulu memberi kehidupan kini membawa tanda-tanda kelelahan. Gelombang makin tinggi, arus berubah arah, dan suhu permukaan laut naik tanpa jeda. Dari Semarang hingga Jakarta Utara, laut seperti sedang menagih janji manusia yang lupa menjaga keseimbangannya.

Laut sejatinya berperan sebagai pengatur iklim dunia. Ia menyerap lebih dari 90 persen panas berlebih akibat gas rumah kaca dan menampung karbon dioksida dari atmosfer. Tetapi kemampuan itu memiliki batas. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mencatat, sejak 1901 permukaan laut global telah naik sekitar 20 sentimeter, dan kini meningkat lebih cepat dari abad sebelumnya. Angka yang tampak kecil di atas kertas itu berarti besar bagi wilayah pesisir yang padat penduduk seperti Indonesia.

Kenaikan muka air laut berdampak nyata di Semarang dan Demak, dua kota pesisir yang dulu menjadi simpul perdagangan laut Jawa. Kombinasi antara penurunan tanah akibat eksploitasi air tanah dan pasang yang makin tinggi membuat sebagian wilayahnya tenggelam perlahan. Warga yang dulu menggantungkan hidup dari laut kini justru berjuang menahan air agar tak memasuki rumah mereka. Di Jakarta Utara, tanggul beton berdiri seperti dinding antara manusia dan laut---simbol dari hubungan yang kian renggang antara keduanya.

Namun krisis ini tidak hanya soal fisika atau ekologi. Ia juga menyentuh sisi sejarah dan identitas. Dalam tradisi maritim Nusantara, laut pernah menjadi penghubung antarperadaban. Dari pelaut Bugis, saudagar Gresik, hingga penjelajah dari Tidore, laut menjadi jalan dialog budaya dan perdagangan. Kini, banyak pelabuhan kecil dan kampung nelayan yang perlahan hilang dari peta, bukan karena perang, tapi karena air asin yang terus merangsek ke daratan. Setiap abrasi bukan hanya kehilangan lahan, melainkan juga hilangnya jejak masa lalu.

Di tengah situasi itu, konsep blue carbon menjadi harapan baru. Ekosistem pesisir seperti mangrove, lamun, dan rawa asin menyimpan karbon dalam jumlah besar dan mampu menjadi penyangga alami dari badai dan abrasi. Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia, lebih dari 3,3 juta hektar. Namun sebagian telah rusak akibat alih fungsi lahan. Restorasi dan perlindungan mangrove bukan sekadar proyek lingkungan, melainkan investasi jangka panjang untuk keberlanjutan iklim dan kehidupan pesisir.

Upaya adaptasi harus berpijak pada pengetahuan lokal. Nelayan tradisional sejak dahulu memahami tanda alam: arah angin, suhu air, warna langit sebelum badai. Pengetahuan seperti ini, bila disandingkan dengan ilmu modern, dapat memperkaya strategi mitigasi. Pemerintah, akademisi, dan komunitas pesisir seharusnya berjalan bersama, bukan saling menunggu. Sebab krisis ini tidak menunggu siapa pun.

Laut sedang berbicara dengan caranya sendiri. Melalui cuaca ekstrem, abrasi, dan pasang yang makin sering. Ia tidak marah, hanya mengingatkan. Dan peringatan itu terdengar jelas bagi bangsa yang sejarahnya lahir di tepian ombak.

Mungkin sudah saatnya kita kembali memandang laut bukan sebagai batas daratan, melainkan sebagai cermin peradaban. Sebab di sana, tersimpan pelajaran bahwa keseimbangan antara manusia dan alam bukan sekadar romantika masa lalu, tetapi syarat untuk bertahan di masa depan.

Royan Hanung Anindito
Sejarawan Maritim
Medium: https://royanhanung.medium.com/

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun