Mohon tunggu...
Royan Juliazka Chandrajaya
Royan Juliazka Chandrajaya Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang pekerja lepas yang sedang berusaha memahami makna hidup.

Saya suka hal-hal yang berbau fiksi. Jika diberi kesempatan, saya akan terus menulisnya. Instagram : @royanjuliazkach Twitter : @royanazka

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dilema Pembangunan Kosmodrom: Lompatan Katak di Atas Tanah Papua? (Bagian I)

21 Juli 2022   15:25 Diperbarui: 21 Juli 2022   15:47 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kosmodrom. Sumber : cnnindonesia.com

Sebagai sebuah negara yang baru tujuh dekade merdeka, Indonesia berulang kali berada diambang kebimbangan dalam menentukan arah cita-citanya. Meminjam ungkapan Soedjatmoko, Indonesia kerap terjebak dalam sebuah keadaan di mana tak dapat membedakan apa yang benar-benar dibutuhkan untuk memajukan bangsanya dengan apa yang justru hanya memberi keuntungan kepada segelintir kelompok.

Hal ini terlihat ketika kita membicarakan pembangunan di sektor keantariksaan. Dalam salah satu pidatonya di Bandung pada 25 Januari 1960 saat pembukaan Musyawarah Nasional untuk perdamaian, Soekarno menyebutkan bahwa ada lima tahadap revolusi dunia, yaitu revolusi agama, komersial, industri, atom dan antariksa.

Untuk mewujudkan revolusi itu Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) didirikan. Indonesia mendahului AS dan Uni Soviet dalam hal memiliki lembaga antariksa nasional. Ketika orde lama jatuh dan digantikan orde baru, wacana antariksa kembali menguat setelah negara berniat membangun kosmodrom di Biak Numfor, Papua.

Tetapi pada perkembangannya, niatan tersebut harus berjalan lambat kalau tidak ingin dikatakan berhenti di tengah jalan. Hingga saat ini kosmodrom tak kunjung dibangun. Penetapan lahan di Biak Numfor dianggap tidak adil ketika dilakukan di era orde baru karena penetapannya secara sepihak dan represif.

Sementara itu, kelanjutan wacana tersebut saat ini yang digaungkan oleh pemerintahan Joko Widodo dilakukan dengan mengundang pihak swasta sebanyak-banyaknya untuk mau berinvestasi di Biak Numfor. Metode yang akan digunakan nantinya adalah skema PPP (Public Private Partnership) dan KPBU (Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha)

Pembangunan Kosmodrom memang perlu mendapat perhatian serta kritik yang serius. Urgensi dari kosmodrom ini layak dipertanyakan mengingat untuk menjadi "pemain" di sektor antariksa suatu negara membutuhkan modal yang sangat besar serta penyesuaian teknologi tingkat tinggi. Selain aspek teknis yang perlu di penuhi (teknologi, modal, geografis dll), aspek non-teknis juga harus dipenuhi (sosial budaya, agraria, lingkungan dll).

Mengapa Kemajuan Antariksa Itu Penting?

Secara sederhana, kosmodrom adalah sebuah lokasi di mana berbagai fasilitas peluncuran ruang angkasa termasuk instalasi roket, pesawat dan satelit dibangun. Di tempat inilah nantinya seluruh uji coba peluncuran hingga peluncuran resmi benda-benda ke ruang angkasa dilakukan. Di dunia sendiri baru terdapat 22 instalasi kosmodrom yang aktif. Kesemuanya tersebar di lima negara yakni Rusia, Amerika Serikat, China, India dan Perancis.

Sulit untuk menyangkal bahwa menguasai teknologi antariksa di era ini adalah sebuah keharusan jika suatu negara benar-benar tidak ingin terisolir. Semua teknologi digital yang dapat kita nikmati hari ini adalah berkat bantuan kemajuan teknologi antariksa seperti satelit, roket dan wahana pemancar lainnya.

Selain manfaat di atas, Eligar Sadeh dalam bukunya yang berjudul Space Politics and Policy: An Evolutionary Perspective menjelaskan, bahwa kemajuan teknologi yang dikembangkan dalam industri antariksa dapat diaplikasikan ke berbagai sektor kehidupan, contohnya seperti peringatan bencana alam, pemantauan kebakaran hutan hingga edukasi dan kesehatan. Indonesia sebagai salah satu negara yang rawan bencana karena berada di lintasan cincin api tentu akan sangat terbantu jika mampu menguasai teknologi tersebut.

Salah satu tahapan dalam mencapai kemajuan antariksa adalah dengan membangun terlebih dahulu instalasi khusus untuk semua kegiatan keantariksaan. Secara prinsipil, Kosmodrom sebenarnya bisa dibangun di belahan bumi mana pun. Tetapi terdapat perhitungan teknis dan menyangkut efisiensi sebelum pembangunan tersebut dilakukan.

Dalam hal ini, Biak Numfor dianggap memenuhi persyaratan teknis untuk dibangunnya sebuah Kosmodrom. Lokasi Biak Numfor terletak -1 derajat di lintang selatan. Selain itu posisinya yang berhadapan langsung dengan laut, serta struktur tanahnya yang keras dan berkarang dianggap sebagai lokasi yang sangat strategis untuk berdirinya sebuah kosmodrom.

Mengapa harus tepat atau setidaknya dekat dari ekuator? Agar roket-roket yang nantinya melakukan peluncuran ke orbit tidak lagi membutuhkan manuver yang berlebih dan tentunya hal tersebut akan menghemat bahan bakar secara drastis.

Tepat di atas ekuator, terdapat sebuah orbit dengan ketinggian 36.000 km dengan lebar tak lebih dari 60 km bernama Geo Stationary Orbit (GSO). Orbit ini sejak dulu menjadi rebutan negara-negara karena satelit yang berada di orbit ini akan bergerak seirama dengan rotasi bumi.

Negara-negara lain seperti AS, Rusia, China, India dan Perancis memiliki Kosmodrom tetapi hampir semuanya berada di atas ekuator. Ketika melakukan peluncuran menuju GSO, roket mereka akan menghabiskan bahan bakar yang banyak dan tentu membutuhkan biaya yang besar.

Jika Indonesia mampu membangun Kosmodrom, maka kedepannya secara geopolitik posisi Indonesia akan sangat diperhitungkan. Sebab, negara yang tak memiliki kosmodrom akan menyewa/menumpang kepada negara yang memiliki Kosmodrom untuk misi peluncuran roket mereka. Dan lokasi kosmodrom Indonesia yang berada di ekuator akan menjadi incaran negara-negara.

Berdasarkan analisis perusahaan perbankan AS, Morgan Stanley, disebutkan bahwa industri keantariksaan dapat menghasilkan pendapatan lebih dari US$1 triliun pada tahun 2040. Peluang yang paling signifikan datang disebut dari sektor satelit telekomunikasi. Dan sektor tersebut erat berkaitan dengan Low Earth Orbit (LEO), lokasi yang paling relevan digarap Indonesia selain GSO.

Rencana pembangunan kosmodrom sendiri telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan. Dalam peta Rencana Induk Penyelenggaraan Keantariksaan Tahun 2016-2040, disebutkan bahwa pada periode tahun 2036 -- 2040 teknologi antariksa Indonesia diharapkan sudah memiliki program peluncuran roket pengorbit satelit LEO.

Selain itu, memajukan teknologi antariksa akan sangat membantu suatu negara dalam memperkuat pertahanannya. Era ini kekuatan militer suatu negara tidak lagi diukur berdasarkan jumlah personil militernya, tetapi seberapa jauh penguasaannya terhadap teknologi satelit dan senjata kendali jarak jauh.

Dikutip dari tulisan Yasuo Otani berjudul Dual-Use Concept on Civil and Defense Uses of Outer Space, bahwa pengembangan teknologi antariksa seperti roket, selain digunakan untuk mengirim satelit ke luar angkasa, juga dapat digunakan oleh militer untuk mengirim misil dengan kecepatan tinggi. Begitu pula dengan teknologi satelit penginderaan jauh dapat dialihfungsikan sebagai sistem pengawas perbatasan negara dan pemandu misil.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penguasaan teknologi antariksa selain berpeluang memajukan perekonomian, juga mampu memperkuat pertahanan suatu negara. Indonesia memiliki kondisi geografis yang sangat menguntungkan jika dikelola dengan optimal,. Terlebih lagi, untuk saat ini belum ada kosmodrom ekuator di kawasan Indo-Pasifik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun