Mohon tunggu...
Roy Soselisa
Roy Soselisa Mohon Tunggu... Guru - Sinau inggih punika Ndedonga

Sinau inggih punika Ndedonga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dirgahayu Kota Pahlawan: Dolly Saiki, Suroboyo Saiki

31 Mei 2018   22:08 Diperbarui: 18 Juni 2018   22:08 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada akhir bulan lalu (29/4/2018), kami terlibat untuk memanajemeni salah satu bagian dari perlombaan lari yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Surabaya di eks lokalisasi prostitusi yang pernah dijuluki sebagai kawasan merah terbesar se-Asia Tenggara, sebuah kawasan yang dikenal dengan sebutan Dolly. 

Sejak penutupannya pada bulan Juni 2014 yang lalu hingga saat ini, Pemerintah Kota Surabaya terus melakukan upaya yang keras untuk mengangkat kawasan Dolly (dan sekitarnya: Jarak, Putat, dll.) ke arah yang lebih baik melalui program-program yang komprehensif pada segala aspek, salah satunya yaitu melalui program perlombaan lari dengan menempuh rute melewati gang-gang sempit yang tersebar di kawasan Dolly (dan sekitarnya: Jarak, Putat, dll.).

Dalam kesempatan tersebut, saya tak menyia-nyiakan momen yang ada. Seusai bertugas membantu pelaksanaan perlombaan, saya pun memberanikan diri untuk menapak tilas dua wisma terbesar yang berada di kawasan Dolly dan sekitarnya--keberanian yang tak mungkin bisa saya miliki apabila kawasan Dolly masih bergeliat. 

Dengan dipandu oleh dua tokoh pemuda setempat yang lahir dan tumbuh besar di kawasan Dolly (saya kenal dengan mereka satu jam sebelumnya saat sedang bertugas bersama), saya menjelajah setiap sudut dari dua wisma terbesar yang sudah dibeli oleh Pemerintah Kota Surabaya menjelang ditutupnya kawasan Dolly dan sekitarnya pada empat tahun yang lalu seharga Rp 9 Miliar.

Tapak tilas kami awali dengan memasuki salah satu wisma terbesar yang memiliki bangunan setinggi enam lantai dan memiliki lift di dalamnya--untuk saat ini lift sudah tak difungsikan. Kesan untuk wisma yang pertama ini terbilang biasa saja, karena banyak bagian wisma yang telah dirombak oleh Pemerintah Kota Surabaya untuk digunakan sebagai pusat kegiatan warga, selain hanya bar-bar mungil (gerai untuk menyajikan minuman beralkohol) yang masih tampak utuh jejak interiornya. Saat mendengar cerita dari pemandu tentang wisma yang pertama ini, saya lebih banyak meraba rupa dan suasana wisma saat dahulu masih bergeliat.

Namun, setelah kami berpindah ke salah satu wisma terbesar lainnya--dahulu sebelum ditutup dimiliki oleh pengelola yang sama--yang letaknya bersebelahan (hanya dipisahkan oleh dua rumah warga), tapak tilas pun terasa nyata seperti ada dalam setiap keadaan yang tersajikan melalui cerita dari pemandu--meski suasananya kini lebih terasa seperti masuk ke dalam rumah hantu, bukan rumah hiburan--karena setiap sudut yang ada sama sekali belum berubah, selain interiornya sudah banyak yang hilang dan termakan usia.

Pada wisma yang kedua inilah, saya menjumpai banyak hal yang tak pernah saya dengar sebelumnya, di antaranya puluhan kamar yang tersedia untuk melayani para tamu berhidung belang, tak ubahnya seperti sebuah losmen dengan banyak kamar yang berjajar sesuai dengan tarifnya masing-masing. Bagian yang unik dari (mayoritas) setiap kamar yang ada yaitu terdapat tempat tidur yang terbuat dari beton, menurut cerita dari pemandu supaya tak perlu berulang kali mengganti tempat tidur, itu sebabnya dibuat yang permanen dari beton--selain karena kuat dan tahan lama, yang terpenting tak menimbulkan suara berisik saat digunakan beraksi. 

Bagian lain yang tak kalah penting untuk diketahui (setelah ditunjukan oleh pemandu) yaitu terdapat salah satu ruangan yang dikhususkan untuk mempersembahkan "sesuatu" dengan tujuan tertentu kepada kuasa yang tak tampak oleh mata, kuasa yang secara periodik juga akan meminta persembahan jiwa--menurut cerita pemandu, ruangan khusus semacam itu banyak dijumpai pada wisma lain yang tersebar di kawasan Dolly dan sekitarnya.

Berbagai cerita dari dua tokoh pemuda setempat terus diperdengarkan, saya pun terus menggali cerita berdasarkan rasa ingin tahu yang menyeruak dalam dada, terutama yang terkait dengan kehidupan sosial para Pekerja Seks Komersial (PSK) kala itu. Hingga kami tiba pada salah satu kamar yang di dalamnya (terlihat di antara reruntuhan atap kamar) dijumpai beberapa poster berukuran besar yang tertempel pada tembok dan menampilkan beberapa foto dari seorang perempuan yang (mungkin) merupakan penghuni kamar tersebut. 

Dari banyak poster dengan objek (perempuan) yang sama, hanya satu poster yang sangat menarik perhatian saya, poster ini menampilkan pose seorang perempuan yang sedang memeluk seorang balita dan keduanya tampak tersenyum bahagia, saya pun segera menggali cerita di balik foto tersebut kepada pemandu, dan cerita mulai mengalir lebih banyak lagi.

Dari cerita yang lebih banyak itu, pada akhirnya bisa mengantarkan saya untuk bisa melihat lebih jauh lagi tentang gambar diri seorang Pekerja Seks Komersial (PSK) dari sudut pandang yang tak pernah saya miliki sebelumnya--melalui cerita itu pula saya dapat memiliki sudut pandang dari Seorang Guru yang pada dua ribu tahun yang lalu pernah membela seorang perempuan yang telah berulang kali kedapatan berzinah, serta menyelamatkannya dari penghakiman massa yang akan merajam dengan batu sampai mati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun