Mohon tunggu...
Roy Soselisa
Roy Soselisa Mohon Tunggu... Guru - Sinau inggih punika Ndedonga

Sinau inggih punika Ndedonga

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Kebijakan Olahraga Disabilitas yang Terlihat, tetapi Tidak Terlihat

10 April 2016   08:35 Diperbarui: 10 April 2016   21:52 2174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 18 Tahun 2007 Tentang Pendanaan Keolahragaan:

Pasal 5
(1) Sumber pendanaan keolahragaan dari Pemerintah berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
(2) Sumber pendanaan keolahragaan dari pemerintah daerah berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Itulah produk perundang-undangan (dasar hukum) yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk meregulasi pembinaan dan pengembangan olahraga disabilitas di Indonesia. Saat membaca kalimat demi kalimat yang tersaji di dalam perundang-undangan (dasar hukum) tersebut, mungkin terkesan sangat luar biasa bentuk kepedulian pemerintah bagi kaum disabilitas, karena telah mengatur kelangsungan hidup kaum disabilitas dalam bidang olahraga. Bahkan bila dicermati lebih lanjut, bukan hanya mencermati pasal-pasal yang membahas tentang olahraga disabilitas, melainkan mencermati pasal-pasal dalam perundang-undangan secara keseluruhan, akan dijumpai bahwa makna dari kalimat demi kalimat di dalamnya tidak (jauh) berbeda dengan pasal-pasal yang meregulasi pembinaan dan pengembangan olahraga non-disabilitas.

Serupa tapi tak sama, mungkin ungkapan itu yang tepat untuk menggambarkan pasal-pasal yang meregulasi pembinaan dan pengembangan olahraga disabilitas dengan olahraga non-disabilitas. Serupa karena kalimat demi kalimat telah sama-sama disusun dengan sangat luar biasa, namun tak sama luar biasanya untuk realisasi dari kalimat-kalimat yang telah disusun itu. Realita yang sebenarnya adalah telah terjadi diskriminasi dan marginalisasi terhadap pembinaan dan pengembangan olahraga disabilitas.

Produk perundang-undangan boleh saja menuliskan seolah-olah regulasi pembinaan dan pengembangan olahraga disabilitas dengan olahraga non-disabilitas berjalan beriringan, namun sejak produk perundang-undangan tersebut digulirkan, hingga saat ini dalam perjalanan yang ada menunjukan bahwa sebenarnya pernah terjadi ketimpangan—kondisi yang ditulis merupakan cerminan keadaan yang dialami oleh penulis sebagai pengurus organisasi olahraga disabilitas di Kota Surabaya dan Provinsi Jawa Timur, kurang lebih untuk kondisi yang terjadi dalam kepengurusan pada tataran pusat juga mengalami hal yang seperti demikian, penulis tidak mengetahui kondisi secara pasti yang terjadi dalam kepengurusan pada tataran pusat, dan penulis tidak mewakili kepengurusan pada tataran pusat dalam mengemukakan opini tersebut. Sebagai contoh sederhana bentuk ketimpangan tersebut adalah organisasi olahraga disabilitas—dalam hal ini yang dimaksudkan adalah Badan Pembina Olahraga Cacat, yang pada 26 Juli 2010 telah berubah nama menjadi National Paralympic Committee—yang berfungsi untuk mengatur kegiatan pembinaan dan pengembangan olahraga disabilitas seperti yang dimaksudkan dalam perundang-undangan, kedudukannya hanya sebagai anggota Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).

Yang lebih menyedihkan, kedudukannya sebagai anggota KONI bukan sebagai induk organisasi cabang olahraga yang selalu menjadi prioritas, melainkan hanya sebagai induk organisasi olahraga fungsional—organisasi yang berisikan kumpulan orang dengan profesi tertentu dan memiliki kepentingan yang sama yaitu menggemari olahraga—yang sejajar dengan kedudukan (dikutip dari https://goo.gl/luzqVV): 1) Seksi Wartawan Olahraga Persatuan Wartawan Indonesia (SIWO PWI); 2) Badan Pembina Olahraga Mahasiswa Indonesia (Bapomi); 3) Badan Pembina Olahraga Pelajar Seluruh Indonesia (Bapopsi); 4) Persatuan Wanita Olahraga Seluruh Indonesia (Perwosi); 5) Perhimpunan Pembina Kesehatan Olahraga Indonesia (PPKORI); 6) Badan Pembina Olahraga Korps Pegawai Republik Indonesia (Bapor Korpri).

Kedudukan sebagai anggota tentu akan sangat berpengaruh dalam hal pendanaan, mengingat yang dapat menerima pendanaan keolahragaan dari APBN (untuk tingkat pusat) dan APBD (untuk tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota) hanyalah KONI, untuk kemudian dikelola oleh KONI dan disalurkan kepada anggota-anggota yang ada dalam naungannya. Maka dengan menjadi bagian dari induk organisasi olahraga fungsional, harus siap melapangkan dada saat mendapatkan kucuran dana hanya dari remah-remah (sisa-sisa) anggaran, karena kedudukannya tak diprioritaskan seperti anggota yang ada dalam induk organisasi cabang olahraga.

Di situlah letak ketimpangannya, hingga realita yang dijumpai di lapangan adalah terjadi diskriminasi dan marginalisasi bagi pembinaan dan pengembangan olahraga disabilitas, terutama bagi pembinaan dan pengembangan di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Di manakah sebenarnya letak alasan untuk mendikriminasi dan memarginalkan olahraga disabilitas? Seandainya bila ditelaah lebih lanjut, tak perlu terjadi diskriminasi dan marginalisasi seperti itu, karena baik olahraga disabilitas maupun olahraga non-disabilitas, sama-sama memiliki kesempatan untuk (mengukir prestasi) meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui kibaran sang merah putih pada ajang multi event di luar negeri.

Olahraga disabilitas mampu mengibarkan sang merah putih di luar negeri, karena olahraga disabilitas juga memiliki ajang multi event yang penyelenggaraannya menjadi satu rangkaian dengan ajang multi event dalam olahraga non-disabilitas, diantaranya sebagai berikut: 1) Untuk tingkat kawasan Asia Tenggara disebut Asean Para Games yang berlangsung dan diselenggarakan bersamaan dengan penyelenggaraan Sea Games; 2) Untuk tingkat Asia disebut Asian Para Games yang berlangsung dan diselenggarakan bersamaan dengan penyelenggaraan Asian Games; 3) Untuk tingkat dunia disebut Paralympic Games yang berlangsung dan diselenggarakan bersamaan dengan penyelenggaraan Olympic Games. Dari ajang multi event yang dimiliki olahraga disabilitas ini pun dapat ditelaah bahwa National Paralympic Committee Indonesia (NPC Indonesia) bukanlah sekadar olahraga fungsional yang hanya mendapatkan perhatian ala kadarnya, namun harus menjadi prioritas yang utama pula karena menyangkut harkat dan martabat bangsa.

Selain itu, NPC Indonesia (hingga saat ini) membina 13 cabang olahraga, diantaranya adalah Angkat Berat, Atletik, Bola Voli Duduk, Bulu Tangkis, Catur, Goal Ball, Panahan, Renang, Sepak Bola Celebral Palsy, Tenis Kursi Roda, Tenis Meja, Ten Pin Bowling, dan Judo Tunanetra. Dari 13 cabang olahraga yang ada tersebut, masih harus dibagi lagi ke dalam banyak nomor perlombaan dan pertandingan dengan berbagai klasifikasi disabilitas—secara garis besar klasifikasi tersebut yaitu Tunadaksa, Tunanetra, Tunagrahita, Tunarungu Wicara—yang pastinya akan melibatkan banyak komponen pembinaan (pelatih, psikolog, ahli gizi, fisioterapi, dll.) dan paralympian (atlet disabilitas) di dalamnya. Sehingga dibutuhkan pendanaan yang sangat besar untuk membina dan mengembangkannya secara maksimal, harus direncanakan dengan detail dan matang, sedetail dan sematang perencanaan yang telah dilakukan bagi pembinaan dan pengembangan olahraga non-disabilitas.

Atas dasar ketimpangan yang telah dikemukakan—sekali lagi, pernyataan tersebut hanyalah opini penulis sesuai kondisi yang terjadi di Provinsi Jawa Timur dan Kota Surabaya, tidak mewakili NPC Indonesia—tersebut di atas, dan disusul dengan perkembangan organisasi keolahragaan International Olympic Committee (IOC) dan Olympic Council of Asia (OCA) yang menjadikan organisasi olahraga insane disabilitas (paralympian) menjadi organisasi yang mandiri dan berdiri sendiri, maka NPC Indonesia dengan berkoordinasi bersama Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia (Kemenpora RI) pada akhirnya mengundurkan diri dari KONI Pusat. Setelah melalui beberapa surat, dan hingga surat yang terakhir dari NPC Indonesia Nomor: 039.UM.03/NPC-Ina/2015, Perihal: Pengunduran Diri, tertanggal 28 Maret 2015, akhirnya KONI Pusat pun mengeluarkan Keputusan Nomor: 08/RA/2015, tertanggal 31 Maret 2015 tentang Pengunduran Diri Organisasi National Paralympic Committee Indonesia (NPC) Sebagai Anggota KONI. Dengan demikian, National Paralympic Committee Indonesia (NPC Indonesia) secara otomatis kehilangan hak dan kewajibannya sebagai anggota KONI mulai dari tingkat pusat sampai daerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun