Mohon tunggu...
Roviatus Sa'adah
Roviatus Sa'adah Mohon Tunggu... Writer.... -

DATA DIRI: Nama Lengkap : Roviatus Sa'adah Nama Populer : Dhara Tempat & Tanggal Lahir : Bondowoso, 28 September 1990 Agama : Islam DATA PENDIDIKAN: TK: TK PGRI 02 Koncer Tenggarang Bondowoso SDN : SDN Koncer 02 Tenggarang Bondowoso MTs: MTs NURUL HUDA Peleyan Kapongan Situbondo MA: MA NURUL HUDA Peleyan Kapongan Situbondo SARJANA S1: STAI Nurul Huda Peleyan Kapongan Situbondo BIOGRAPHY: Penulis pemula kelahiran Bonsowoso - Jawa Timur. Sekarang berdomisili sebagai warga Sukowono-Jember. Lulusan Fakultas Syari'ah jurusan Akhwalusy Syakhsyiah S1 STAI Nurul Huda Peleyan Kapongan Situbondo. FB: Dhara Jutex Abyzz Twitter : @roviatussaadah Blog: http://libranovel.blogspot.com/Email:roviatussaadah@yahoo.com Saya menulis sejak berusia 14 tahun. Namun mulai serius menulis dan tulisan banyak digemari teman-teman selama kurang lebih 10 tahun. Saat ini banyak sudah tulisan yang saya genggam. Tidak sedikit yang sudah membaca tulisan saya mengatakan bagus bahkan ada yang mengaku sampai menangis. Namun, tulisan saya masih belum dilirik penerbit manapun. Hingga sampai saat ini saya terus dan tetap menulis meski G.A.L.A.U selalu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Aku Tunggu Kamu di Pelaminan Kedua

24 April 2015   21:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:42 1367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

4 tahun adalah waktu yang tidak bisa dibilang singkat jika hanya untuk mengetahui sifat dan karakter masing-masing. 4 tahun lamanya menjalin kasih, akhirnya Mas Damar melamarku kemudian kita menikah setelah usia pertunangan kita genap 2 tahun. Aku bahagia menjadi istrinya, karena selain pengertian, Mas Damar sangat setia menjaga cintaku di hatinya. Aku pun juga sangat mencintainya dan berjanji untuk selalu menjaga ketulusan cintanya di hatiku. Hari ini, Minggu 02 April 2015, usia pernikahanku genap 8 tahun, dan itu artinya sudah 8 tahun lamanya juga aku telah menikah, namun selama 8 tahun ini aku masih belum menjadi seorang istri karena suamiku belum pernah menggauliku. sampai saat ini aku masih perawan. Entah apa alasan suamiku dengan semua ini, padahal hubungan kami setiap hari baik-baik saja, belum pernah Mas Damar membentakku, dia tidak akan makan tanpa aku, tidak akan berlibur kemana pun jika aku tidak ikut bersamanya, dia juga tidak akan mandi jika bukan aku yang menyiapkan segalanya. Dan juga, Mas Damar tidak akan berangkat kerja sebelum ia mencium keningku. kelakuannya padaku sangat manis dan romantis, tapi entah kenapa ia tetap membiarkan aku dahaga di malamku. Hingga pada suatu kesempatan, ketika Mas Damar sudah membungkus tubuhnya dengan selimut, ku buang rasa maluku, aku beranikan diri bertanya tentang rasa heranku selama ini. "Aku mencintaimu lebih dari pada diriku sendiri. apa kamu sudah mulai ragu?" Mas Damar membalikkan tubuhnya menghadapku. Aku hanya menggeleng tanpa menatapnya. "Terus, kenapa kamu bertanya seperti itu sayang?" Mas Damar membelai rambutku, aku rasakan kehangatan dari jari-jari tangannya. "Jika Mas Damar mencintaiku, kenapa sampai saat ini Mas belum menggauliku?" tanyaku sambil beralih menatapnya, Mas Damar langsung menyingkirkan tangannya yang membelai rambutku. Kemudian tidur telentang. Aku tetap pada posisiku. "Kenapa Mas Damar diam?" desakku yang langsung membuat Mas Damar beranjak bangun dan masuk ke kamar mandi.

Aku rasakan sesuatu mengalir hangat di pipiku. Aku menangis. Aku sendiripun tidak bisa menggambarkan bagaimana perasaanku saat itu. Aku galau. Tiap kali pembicaraanku beralih kearah itu, Mas Damar langsung pergi menghindariku. Aku tidak tahu kenapa. Lama sekali aku mendengar suara air jatuh ke lantai, mungkin Mas Damar sedang mandi atau sedang berwudhu', namun tiba-tiba pintu kamar mandi yang tertutup rapat kini terbuka, dan tampaklah sosok Mas Damar dengan wajah lebih bersinar. Hingga jelas sekali wajah tampannya. "Jangan menangis..." Mas Damar menghampiriku kemudian mengusap air mataku dengan tangannya yang basah. "Mas mengerti perasaanmu, jika Mas yang ada di posisimu, pasti Mas akan menanyakan hal yang serupa. Tapi maafkan Mas sayang..... Mas belum bisa menjawabnya sekarang, karena Mas takut jawaban itu akan menyakitimu. Sekarang tidurlah!!...." Mas Damar menyelimuti tubuhku, mencium keningku kemudian melangkah keluar kamar, entah kemana tujuannya. Hatiku semakin pilu mendengar ucapannya, Mas Damar tidak bisa menjawab pertanyaan dan keherananku sekarang karena takut menyakiti hatiku? apa maksudnya. Aku semakin heran dan tidak mengerti. Air mata yang terus saja mengalir membasahi selimut jingga, membuat mataku sembab hingga sedikit demi sedikit mataku mulai berat untuk aku buka. Aku mengantuk. Kemudian tertidur di bawah selimut jingga milik Mas Damar dengan air mata yang masih terus berlinang.

Pagi harinya, ketika aku menemani suamiku sarapan, aku bersikap seperti tidak pernah terjadi sesuatu apapun semalam. Aku rasa Mas Damar juga, karena ia tetap tersenyum memandangku. Mas Damar memang tipe suami yang baik, dan kebaikannya itu sulit aku tebak maksudnya. "Mas berangkat ya sayang..." Mas Damar kembali mencium keningku. Aku hanya mengangguk dengan sebait senyum di bibirku. Walau hatiku terasa sakit, aku tidak mau melepas suamiku pergi dengan wajah jutek. Karena aku sangat mencintainya. Cinta yang terdalam, dan aku tidak ingin terjadi sesuatu padanya. "Hati-hati Mas" Ucapku ketika Mas Damar sudah duduk di belakang kemudi. Lambaian tanganku mengantar kepergian Mas Damar, setelah Mas Damar menghilang dari pandangan mataku, aku kembali masuk rumah, membereskan meja makan, cuci piring, ngepel dapur dan terakhir aku mandi kemudian shalat dhuha. Dalam sujudku, aku adukan semua perkara hati pada Sang Maha Pembaca Hati manusia, Allah SWT. Hanya Allah yang Maha Tahu pada tiap-tiap rahasia yang tersimpan dalam dada seseorang.

***

"Aku minta cerai Mas....." Ucapku yang langsung menghentikan langkah Mas Damar. "Apa kamu bilang? Minta cerai?" Ucap Mas Damar terperangah. "Iya Mas, aku minta cerai, sekarang juga" Ucapku dengan linangan air mata. "Sayang.... Jangan main-main, sekali aku berkata, maka jatuh talakku, kita bukan suami istri lagi" Mas Damar menghampiriku dan berusaha meraih pundakku, tapi aku cepat menepis tangannya. "Aku sudah tidak tahan Mas..." Tangisku yang sejak tadi aku tahan akhirnya meledak. Aku biarkan saja Mas Damar berdiri mematung dihadapanku. Aku melihat ada genangan air di matanya yang hampir jatuh. "Kenapa Hann? Kenapa kamu ingin bercerai denganku?" Suara Mas Damar semakin membuat air mataku tumpah semakin deras. "Aku sangat mencintaimu Hann, aku tidak tahu harus hidup bagaimana jika kamu tidak mendampingiku?" Mas Damar memelukku. "Aku tidak peduli....." Teriakku mendorong tubuh suamiku, hingga pelukannya terlepas. "Apa kamu mencintai laki-laki lain?" Pertanyaan Mas Damar kali ini menghentikan aliran air mataku, aku diam menatap tajam kearahnya. Hati ini terasa teriris mendengar pertanyaannya. Dia lontarkan pertanyaan itu seakan tanpa bersalah, seakan-akan aku adalah wanita murahan yang mudah sekali jatuh cinta. "Kenapa diam? Jadi benar, hatimu mencintai laki-laki lain?" Mata elangnya menatapku dengan tatapan yang aku benci. "Mas pikir, apa arti pernikahan kita selama 8 tahun ini? Aku sangat mencintaimu Mas... Mas Damar adalah laki-laki pertama dan terakhir yang aku cintai, mana mungkin ada yang lain jika hatiku telah aku berikan seutuhnya untukmu Mas...." Ucapku sedikit berteriak. "Terus kenapa kamu ingin bercerai Hann?" Suara Mas Damar mulai melemah. "Karena aku tidak kuat Mas, aku tidak sanggup lagi hidup berumah tangga denganmu Mas" Jawabku memalingkan wajah, aku benar-benar tidak mampu memandang wajah suami yang sangat aku cintai ini, aku benar-benar tidak bisa menyakitinya.

"Mas tidak mengerti dengan maumu Hann..."Mas Damar menghenyakkan tubuhnya ke sofa. "Aku hanya ingin Mas menceraikan aku, itu saja, tidak lebih. Aku bahkan tidak akan menuntut nafkah mut'ah....." Aku pergi dari hadapan suamiku dengan air mata yang tumpah membanjiri pipiku, kra bajuku basah terkena tetesan-tetesan bening. Aku tahu saat ini Yang Maha Kuasa melaknatku karena ucapanku yang kasar dan tidak pantas pada Mas Damar yang saat ini masih sah sebagai suamiku. Aku menangis sejadi-jadinya. “Maafkan aku Mas... Aku benar-benar tidak bermaksud menyakitimu, maafkan aku....” Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku, senyum Mas Damar tiba-tiba melintas di mataku “Aku telah menghancurkan senyumnya dengan keegoisanku, tapi aku sudah tidak sanggup lagi untuk hidup bersamanya”. Ucapku dalam hati. Air mataku masih saja terus merembes membanjiri pipiku membuat kra bajuku yang basah semakin basah.

***

Aku melempar surat gugatan cerai kehadapan Mas Damar. “Apa ini?” tanya Mas Damar berdiri di hadapanku. “Surat gugatan cerai, minggu depan kita sidang. Aku harap Mas Damar datang tepat waktu”. Jawabku kemudian berlalu dari hadapannya. Aku yakin saat ini Mas Damar menangis dengan datangnya surat gugatan cerai itu. Walau sebenarnya hatiku masih sangat mencintainya, tapi aku benar-benar tidak bisa bertahan untuk tetap menjadi istrinya. Aku benar-benar sudah tidak kuat. Aku menangis. “Hanna, ibu sungguh tidak mengerti dengan maumu, kamu sendiri yang ingin agar suamimu menceraikanmu, tapi kenapa justru kamu menangis?” Suara ibuku begitu lembut, namun tetap saja tidak mampu menghentikan tangisanku, aku tetap menangis meski ibu membelai-belai kepalaku. “Aku bahkan juga tidak mengerti dengan hatiku sendiri bu...” Ucapku yang masih dengan posisi tengkurap. “Jika kamu belum yakin dengan keputusanmu, batalkan saja perceraian kalian. Ibu hanya tidak ingin kalian terluka dan sedih berkepanjangan”. Suara ibu agak parau.

Memang, setelah kejadian pertengkaranku dengan Mas Damar waktu itu, aku langsung pulang ke rumah ibuku tanpa membawa barang-barangku kecuali bantal buaya warna coklat, karena dari kecil sampai saat ini aku tidak bisa tidur tanpa bantalku itu. Apalagi saat kondisiku seperti sekarang, hanya bantal buaya kesayanganku ini yang bisa sedikit menghilangkan laraku. “Hann, setiap pernikahan memang selalu ada jalan yang berliku, walaupun sudah dengan sangat hati-hati membina rumah tangga untuk jadi sempurna pasti ada yang namanya kesalahpahaman dan sakit hati, karena hal seperti itu adalah bumbu kehidupan. Ibu dan ayahmu juga sering mengalami hal seperti itu, jika turuti hawa nafsu, memang ingin marah jika sedikit saja suami kamu mulai acuh, tapi mungkin dia seperti itu karena lelah dan banyak yang dipikirkan di otaknya, sebagai istri kamu harus memahaminya”. Aku merasa ada yang tergenang dalam bola mata ibuku. “Pesan almarhum ayahmu, supaya ibu menjagamu dengan baik, tidak hanya semasa kamu kanak-kanak, tapi meski saat ini statusmu bukan hanya seorang anak, ibumu ini merasa masih memegang amanat almarhum ayahmu, dan ibu juga ikut bersedih jika akhirnya pernikahanmu hancur. Cobalah kalian bicara baik-baik, selesaikan masalah ini dengan hati tenang dan pikiran dingin, ibu yakin kalian sudah sama-sama dewasa, jadi pasti bisa menyelesaikannya tanpa harus ada jalan perceraian.” Lanjut ibuku yang mulai ikut menangis.

“Ya sudah, ibu mau goreng telur kesukaanmu, dari kemaren kamu pulang kamu belum makan apa-apa kan... nanti kalau sakit ya masalahnya tambah runyam...” kemudian ibuku beranjak keluar dari kamarku. Aku kembali merenungkan nasihat ibu tadi, tidak ada yang salah dengan nasihat itu, jika teringat ibu dan almarhum ayahku, aku tidak ingin mengambil jalan pintas ini, tapi ketika ingtanku beralih ke Mas Damar dan sakit hatiku sebagai istrinya yang sah, aku jadi ingin cepat-cepat bercerai darinya. “Astaghfirullah....”

1 minggu kemudian;

Nomor urut perkara selanjutnya adalah nomor urut perkaraku. Namun, sampai detik ini Mas Damar yang masih sah sebagai suamiku belum juga datang. Aku mengerti mengapa dia belum datang atau lebih tepatnya dia tidak akan datang, mungkin keinginannya sama dengan hati kecilku, tidak ingin bercerai. Namun, mau bagaimana lagi, rumah tanggaku sepertinya memang harus disudahi sampai disini dan dengan jalan pintas, cerai. Karena aku khawatir sebentar lagi aku akan dipanggil masuk ke ruang sidang, aku terpaksa meraih ponselku dan menekan nomor Mas Damar, aku harus menelfonnya dan memintanya segera datang ke Pengadilan sebelum nomor urutku benar-benar dipanggil. Namun, beberapa kali coba aku hubungi, beberapa kali pula hanya suara operator yang menyambutku. HP Mas Damar tidak aktif. Aku sendiri tidak mengerti nomornya sengaja di off kan atau tidak.

7 menit sudah usahaku menghubunginya namun tetap tidak ada jawaban. Tetap suara lembut operator itu yang menjawabku. Sehingga ketika nomor urut perkaraku benar-benar dipanggil, aku masuk. Sendirian. Ruangan ber_AC itu sama sekali tidak membuatku merasa dingin, aku gemetar, ini adalah pertama kalinya aku masuk ruang sidang. Di depanku tiga orang hakim duduk seperti raja dengan singgasana mewah, ada alat yang berbunyi tok tok tokketika perkara diputuskan, aku menyebut benda itu palu karena memang persis seperti palu hanya saja yang ada di depan hakim terbuat dari kayu. Belum lama aku diruang sidang, hakim ketua mengatakan bahwa perkara tidak bisa dilanjutkan karena pihak yang digugat tidak datang pada hari pertama sidang dan itu jelas bukan aturan sidangnya sehingga sidangku ditunda sampai tanggal 10 April. Ada rasa tenang karena hari ini aku belum sah bercerai, tapi juga ada rasa marah karena Mas Damar tidak datang ke persidangan.

“Mas, kenapa tidak hadir ke persidangan? Sengaja ya?” Tanyaku ketika sampai di ruang kerjanya. Aku perhatikan sekitar ruangan, begitu berantakan. Ada barang dimana-mana, karena memang akulah yang selalu merapikan semua milik Mas Damar, termasuk ruang kerjanya ini. “Aku tidak ingin menceraikanmu....” Jawab Mas Damar tenang. Tangannya tetap pada keyboard Toshiba dihadapannya, entah apa yang dilakukannya. “Pokoknya aku tidak mau tahu, Mas harus datang memenuhi relaas”. Ucapku kemudian berlalu. Air mataku tumpah bersamaan dengan ketika tanganku menutup pintu. Aku benar-benar dikuasai hawa nafsu setan saat ini hingga aku tidak bisa mengontrol sikapku pada laki-laki yang masih sah sebagai suamiku.

Akhirnya, Mas Damar benar-benar mendapatkan relaas itu, karena semalam dia menelfon dan berjanji akan datang pada sidang selanjutnya. Bukannya senang, aku malah menangis ketika Mas Damar menutup telfonnya. “Hann, aku masih sangat mencintaimu dan sebenarnya aku tidak ingin menceraikanmu, tapi aku berjanji, aku akan datang pada persidangan selanjutnya, aku menghormati keinginan kerasmu untuk bercerai denganku. Mungkin itu yang akan membuatmu bahagia, meskipun ini murni bukan yang aku inginkan tapi aku tetap akan melakukannya untukmu, aku ingin kamu bahagia, bahkan di hari perceraian kita”. Kata-kata terakhir Mas Damar saat menelfon tadi membuat hatiku ngilu, aku menangis sejadi-jadinya, semua ini terasa menyesakkan di dadaku. Aku lempar tubuhku ke kasur, aku benamkan wajahku pada bantal buaya coklatku, bagaimanapun juga, akulah yang menginginkan perceraian ini.

***

Hari-hari berlalu begitu cepat hingga saat ini jika saja alarm Hpku tidak berbunyi mengingatkan hari persidanganku selanjutnya, aku tidak akan tahu kalau hari ini sudah tanggal 10 April. “Ini benar suami saudara?”. Tanya hakim anggota sebelah kiri, aku hanya mengangguk sambil menggigit bibirku. Getir. “Saudara Hanna, anda ingin tetap bercerai?” Pertanyaan selanjutnya membuatku bungkam. Aku ingin menangis. “Kenapa ingin bercerai? Apakah tidak bisa berdamai lagi? Mencoba bicarakan baik-baik permasalahan kalian. Karena jika masalahnya masih bisa di tempuh dengan jalan perdamaian, maka perceraian ini tidak boleh dilakukan. Bagaimana saudara Hanna?” hakim ketua mulai ikut bertanya. Dan inilah saatnya aku menjawab apa adanya, kegetiran yang 8 tahun ini aku rasakan seorang diri. “Kita menikah sudah 8 tahun yang mulia pak hakim, selama itu pula saya belum menjadi seorang istri yang sempurna karena suami saya belum menggauli saya....” Jawabku pelan, air mataku tumpah begitu saja membuat pertanyaan selanjutnya beralih pada suamiku yang sebentar lagi akan menjadi mantan suamiku.

“Saya tidak ingin mendholimi istri saya pak hakim... karena saya AIDS”. Bagai petir menyambar yang memecahkan kepalaku ketika telinga ini mendengar dengan jelas alasan kenapa dia belum menyentuhku. Jawaban itu bukan hanya menyakitkan, tapi juga menjijikkan. Selama 8 tahun ini rumah tanggaku terbangun di atas jembatan kebohongan. Aku benar-benar kecewa, bagaimana mungkin sosok suami yang begitu aku hormati begitu rapi menyimpan penyakit kutukan itu. Aku kecewa, aku jijik padanya. Hatiku sakit sekali mendengar jawabannya. Aku jijik memandangnya. Aku tidak ingin sidang perceraian ini ditunda lagi. Aku ingin secepatnya bercerai dengan laki-laki biadab di sampingku ini. Hingga aku langsung berlari keluar dengan tangisku ketika Mas Damar selesai menjatuhkan talaknya di hadapan sidang. Aku juga tidak perlu mampir ke loket untuk membayar biaya perkara, karena hakim setuju dengan pengajuanku bahwa biaya perkara aku bebankan pada mantan suamiku.

“Hann, aku minta maaf.......”. Mas Damar berusaha menghentikan langkahku, tapi aku tidak memedulikannya “Aku jijik padamu Mas....”. Aku tidak menghiraukan ucapan selanjutnya dari mulut bohongnya itu, aku masuk mobil, injak gas kemudian pergi dengan kecepatan yang beda dari biasanya. Aku tidak pedulikan suara jeritan HPku yang menampilkan nomornya, aku terus saja melaju cepat, aku ingin cepat sampai di rumah dan menangis di pangkuan ibuku. Saat ini hanya ibu yang aku punya.

***

3 minggu sudah aku bercerai dengan suamiku, 3 minggu pula aku menyandang gelar seorangjanda kembang. Aku melewati hari-hariku dengan hanya berdiam diri di rumah, sifat ceriaku hilang seketika, aku bukan lagi wanita yang banyak makan, bahkan aku saat ini sering mengabaikan hidangan kesukaanku yang sengaja ibu masak untukku. Semua makanan itu tidak dapat menghiburku, bantal buaya coklatku juga entah ada dimana sekarang. Aku masih terngiang alasan mantan suamiku selama 8 tahun tidak menggauliku. AIDS. Dia AIDS. Dan kabar itu menyebar luas secepat angin. Aku tidak peduli lagi tentang penilaian orang. Yang aku mau hanya diam dan diam di rumah, tanpa melakukan apapun.

“Hann, sampai kapan kamu akan begini?”. Ibuku masuk kamar dengan semangkuk bakso sayur kesukaanku. “Kamu bahkan melupakan kewajibanmu sebagai muslimah. Ibu tahu kamu kecewa, sakit hati, tapi bukan berarti kamu harus seperti ini. Cobalah bangkit dan hidup seperti Hanna yang dulu, ceria dan banyak makan”. Aku melihat segurat kesedihan di wajah ibu, ibuku terlihat lebih tua dari usianya. “Bu, makasih selalu ada buat Hanna, dan maaf karena ibu harus ikut berduka dengan hidup Hanna, Hanna janji akan seperti dulu, tapi bukan saat ini”. Aku raih tangan ibuku, kemudian ku cium penuh hormat. “Bukan salah Damar jika dia punya penyakit terkutuk itu, jika boleh memilih pasti dia akan memilih hidup dan sehat seperti laki-laki lainnya. Jika dia benar-benar membohongimu, pasti kamu akan digaulinya, buktinya tidak kan? Ibu yakin Damar tidak seburuk yang kamu duga, ibu melihat ketulusan di matanya”. Aku diam saja mendengar ucapan ibu selanjutnya. Saat ini aku serba salah. Aku memang masih mencintai mantan suamiku itu, tapi apa mungkin aku hidup dengannya sementara dia benar-benar AIDS.

“Assalamualaikum,” baru saja aku dan ibu membicarakannya, yang dibicarakan tiba-tiba mengucapkan salam sambil membuyikan bel, seperti biasa, detakan jantungku bertambah kecepatan. Setelah 3 minggu, ini adalah pertama kalinya aku mendengar suara Mas Damar. Jika aku tidak ingat alasan perceraianku, aku sudah berlari dengan wajah sumringah menyambutnya. Namun saat ini aku tetap diam saja di kamar ketika ibu berlari kecil sambil menjawab salamnya menuju pintu depan. Entah apa yang terjadi selanjutnya aku tidak bisa menebak, aku juga tidak bisa mendengar percakapan mereka berdua. Aku hanya heran dan merasa aneh ketika ibu kembali datang ke kamarku dan memaksaku menemuinya di ruang tamu. “Dia sudah jauh-jauh datang hanya ingin menemuimu. Hargai dia sebagai tamu jika kamu sangat membencinya”. Kata-kata ibu membuatku terpaksa keluar kamar, menemuinya. “Hann, gimana kabarmu?” suaranya masih sehangat dulu. “Baik”. Jawabku singkat tanpa balik bertanya kabar dia. “Aku datang untuk mengatakan sesuatu yang penting dan mendesak. Aku pikir kamu harus tahu meski akhirnya kamu tidak akan peduli”. Mas Damar beralih duduk di dekatku. Dia memandangku. Pandangannya seperti biasa, tidak berubah.

“Jika tidak sungguh-sungguh ada hal penting, aku akan kembali ke kamar....”. Aku langsung beranjak menuju kamar. “Aku terbebas dari penyakit menjijikkan itu”. Langkah kakiku berhenti seketika, terasa berat untuk lanjut melangkah. “Aku sembuh Hann”. Lanjutnya. Dengan rasa tidak percaya aku menoleh kearahnya. Dia menatapku nanar dengan deraian air mata. Dan baru kali ini aku melihat dia menangis di depan mataku. “Aku sembuh... Aku tidak AIDS lagi, karena memang dari awal aku tidak mengidap penyakit laknat itu.” Kata-kata terakhirnya membuatku terperangah. ‘tidak pernah mengidap penyakit laknat’. Tapi aku masih ingat pengakuannya di ruang sidang. “Jika kamu tidak keberatan, aku mohon dengarkan ceritaku, sekali ini saja. Dan setelah ini aku janji kamu tidak akan pernah lagi melihatku”. Entah perasaan apa, tiba-tiba aku duduk berhadapan dengannya tanpa ada lagi perasaan jijik seperti waktu itu. Dia menatapku lama, lamaaaaaaa sekali. Tatapan yang tidak berubah seperti 8 tahun yang lalu.

“Mungkin yang akan aku katakan akan terasa mustahil, terasa tidak mungkin, dan pasti kamu tidak akan percaya”. Matanya tetap menatapku. Tanpa berkedip.

“Ada seseorang yang sengaja memvonis aku dengan penyakit itu”.

“Apa?”

“Ya, orang itu adalah Faisal. Kamu ingat dia kan?”

“Faisal? Maksudmu Faisal ketua DEMA di kampus kita dulu?”

Damar menganggukkan kepalanya sebagai jawaban dari keheranan dan ketidak percayaanku. “Tapi kenapa? Dengan alasan apa?” Aku benar-benar terperangah dengan semua ini, terkejut, dan sepenuhnya tidak percaya. Faisal?. “Aku sudah mengatakan sebelumnya padamu kan, pasti kamu tidak akan percaya. Karena awalnya aku juga begitu, buat aku Faisal adalah senior yang dihormati semua mahasiswa di kampus, dia tidak akan berbuat sekeji itu. Tapi ada satu alasan yang memaksaku untuk percaya bahwa memang Faisal yang melakukannya”. Mas Damar mengatakan dengan begitu yakin, tapi aku semakin heran dan tidak percaya bahwa memang Faisal pelakunya.

“Ya, tapi dengan alasan apa?”

“Kamu!!??”

“Aku?”

“Ya, kamu alasannya kenapa Faisal melakukan itu padaku”

“Apa maksudmu? Kenapa aku yang menjadi alasannya?”

“Karena dia mencintaimu....”

“Hah???”

Semakin terperangah aku mendengar alasannya. Faisal yang melakukannya karena dia mencintaiku? Bagaimana mungkin. Aku sungguh tidak percaya. “Hann, mungkin karena 8 tahun ini kamu hidup dalam kebohonganku, pasti saat ini, kamu juga tidak mempercayaiku, tapi demi Allah Hann kali ini aku berkata jujur, kamu bisa crosscheck ini jika masih belum percaya. Dalam surat keterangan sehat itu aku dinyatakan sehat dan bebas AIDS”. Mas Damar menyerahkan amplop putih panjang yang sejak tadi dipegangnya. Aku menerimanya dan berharap saat ini benar-benar bukan suatu kebohongan. Karena entah kenapa tiba-tiba ada harapan yang terselip di dasar hatiku. “Aku berharap kamu percaya padaku kali ini”. Ucap Mas Damar sebelum akhirnya pamit pulang dengan mobilnya yang agak berdebu. Aku diam termenung di halaman depan. Aku berfikir, tidak ada salahnya crosscheck ke rumah sakit, hingga ketika aku utarakan maksud pamitanku pada ibu, ibu kelihatan senang sekali. Saat itu juga, aku berangkat ke rumah sakit dengan hati berdebar-debar.

“Kalau tidak salah, kamu Hanna istri Damar kan?” Dokter langsung mengenaliku begitu aku masuk dan duduk di kursi yang biasa pasien tempati. “Iya dok, lebih tepatnyamantan istri”. Jawabku pelan. Dokter itu tertawa lepas mendengar jawabanku, aku menjadi heran dan risih. “Maaf, maaf, aku tidak bermaksud melecehkanmu, aku mendengar kabar pernikahanmu, itu yang membuatku tertawa. Sebelum dia menikah denganmu, aku ini dokter pribadinya. Tapi setelah menikah, satu kalipun dia tidak pernah datang padaku, aku pikir karena ada dokter baru, tapi ternyata karena kabar bohong itu. Dia sudah cerita padamu kan?” Ada sedikit harapan di hatiku mendengar penjelasan dokter Hadi. “Aku sendiri yang memeriksanya, dan dia benar-benar bersih. Meskipun ini sudah tidak ada hubungannya denganmu lagi, tapi aku pikir kamu berhak tahu kebenarannya”. Lanjut dokter Hadi membuat lega hatiku. Setelah aku memastikan bahwa mantan suamiku itu memang benar-benar bersih dari AIDS, aku langsung menuju ke rumahnya dengan taxi, ke rumah kita dulu.

“Mas...”. ucapku begitu Mas Damar membuka pintu ketika aku menekan bel. “Hanna...” balasnya. Jelas sekali keterkejutan di wajahnya. “Maafkan aku Mas...” Aku langsung berhambur ke pelukan mantan suamiku tanpa bisa di tahan lagi.. “Maafkan aku Mas, jika saja aku mau menunggu dan bersabar, mungkin pernikahan kita tidak akan sampai seperti ini. Ini salahku.” Aku menangis dalam pelukannya. “Tidak ada yang bisa menyalahkanmu Hann, keputusanmu waktu itu sangat tepat, karena jika kita tidak bercerai maka aku tidak akan pernah berusaha mencari kebenarannya tentang penyakit kotor itu. Berkat keputusanmu, akhirnya aku tahu kalau sebenarnya aku tidak mengidap AIDS dan semua itu hanya kabar bohong agar supaya kamu minta cerai dan Faisal bisa mendekatimu”. Aku melepaskan diri dari pelukannya. “Faisal?” Ulangku. Mas Damar mengangguk. “Karena perceraian kita akhirnya aku tahu kalau diam-diam Faisal masih mengharapkanmu, itulah mengapa dia sengaja mengatakan pada dokter sewaannya untuk memvonis bahwa aku AIDS, sehingga aku tidak akan menyentuhmu. Dan aku benar-benar percaya selama 8 tahun ini. Aku begitu bodoh”. Mas Damar kembali memelukku. Ada kebahagiaan yang berdesir. “Hann, maukah kamu menjadi istriku lagi? Menjadi istri seutuhnya?” Mas Damar bertanya sambil menatap mataku. Aku merasakan ketulusannya yang masih seperti dulu. Aku mengangguk bahagia.

Aku tunggu kamu di pelaminan kedua” ucapnya kemudian mencium keningku. Aku semakin erat memeluknya. Mantan suami yang masih sangat aku cintai.

***

Nafkah Mut'ah adalah nafkah / pemberian dari bekas suami kepada istrinya yang dijatuhi Talak berupa uang atau benda lainnya.

Relaas: Surat panggilan dari Pngadilan Agama karena tidak menghadiri sidang.

Periksa kembali

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun